1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

240610 Kirgistan Referendum

25 Juni 2010

Wilayah selatan negeri itu diguncang kerusuhan antar etnis, yang bertujuan menggagalkan referendum yang karena itu tetap harus dilaksanakan, kata wakil presiden sementara, Almasbek Atambajev.

https://p.dw.com/p/O3dA
Kamp pengungsi sementara yang dihuni sekitar 400 etnis Kirgis di selatan kota OshFoto: AP

Konflik antar etnis Kirgis dan minoritas Uzbek menyebabkan puluhan ribu warga mengungsi ke Uzbekistan. Dua pekan setelah konflik pecah, banyak yang memutuskan kembali. Atambajev menegaskan, pengungsi yang masih bertahan di Uzbekistan tidak akan diabaikan suaranya. "Kami sudah meminta pada pemerintah Uzbekistan untuk membantu pelaksanaan referendum bagi warga kami yang mengungsi ke negara itu. Kami akan melakukan segalanya agar mereka bisa segera kembali ke Kirgistan."

Atambajew menambahkan, pemerintah sementara juga akan melakukan segalanya agar warga di wilayah konflik, selatan Kirgistan, bisa memberikan suara referendum. Di distrik-distrik yang mayoritas dihuni etnis Uzbek, masih banyak warga yang tidak berani muncul di tempat terbuka. Karena itu akan digunakan tempat pemberian suara (TPS) yang bisa dipindah-pindah.

Tetapi di dalam negeri semakin kencang suara yang menyatakan mustahil menggelar referendum dalam situasi seperti saat ini. Sebagai protes menentang pelaksanaan referendum, akhir pekan lalu Mayor Jendral Omurbek Suvanaliyev mundur dari jabatannya sebagai kepala polisi wilayah Osh, kawasan yang dilanda konflik etnis. Ia menyatakan tidak ingin terlibat dalam apa yang disebutnya 'komedi tak bermoral'.

Jika pun referendum dilaksanakan, apakah hasilnya akan diakui masyarakat internasional? Mengingat situasi keamanan yang masih tegang, referendum akan berlangsung tanpa pemantauan luas Organisasi untuk Keamanan dan Kerjasama Eropa (OSZE). Hanya 36 pemantau, yang memang ditempatkan di Kirgistan, yang akan mengawasi referendum.

Galina Skripkina, anggota Komisi Pemilu mengatakan pada DW, "OSZE mendaftarkan 300 pemantau tambahan tetapi kemudian membatalkannya. Alasan kongkritnya tidak jelas, hanya disebut bahwa tidak mungkin menjamin keamanan para pemantau. Tapi ini hanya menyangkut pemantau jangka pendek yangbertugas di hari berlangsungnya referendum, 27 Juni."

Sementara ini Komisi Pemilu sudah mengakreditasi 108 pemantau internasional dari 26 negara. Masalah lain yang tak kalah problematis adalah belum jelasnya peraturan yang digunakan dalam referendum. Misalnya, masih didiskusikan berapa batas minimal peserta referendum agar hasilnya dapat dinyatakan sah.

Menurut undang-undang, batas minimal partisipasi adalah 50% dari warga yang memiliki hak pilih. Tetapi baru-baru ini pemerintah sementara menyatakan, angka pemilih diperkirakan tidak terlalu tinggi, karena itu batas minimal partisipasi bisa diturunkan menjadi 30% atau bahkan 20%. Jadi, peraturan referendum bisa saja diubah pada saat-saat terakhir. Dan karena itulah para pengkritik ragu referendum akan berlangsung jujur dan adil.

Alexander Tokmakov/Renata Permadi

Editor: Yuniman Farid