1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Kiat Petani Kapverde Mengatasi Kekurangan Air

16 November 2009

Cuaca yang bagi wisatawan mancanegara merupakan daya tarik Kapverden, justru merupakan 'kutukan' bagi penduduk setempat. Pasalnya, angin pasat dan rendahnya curah hujan di Kapverden menyebabkan kemarau panjang.

https://p.dw.com/p/KYFs
Bukit-bukit gundul tanpa pepohonan, pemandangan umum di KapverdeFoto: DW

Dalam perjalanan mobil ke bendungan satu-satunya di Kepulauan Kapverde terlihat semak-semak kering yang miring dihempas angin. Kawasan pegunungan Kapverde kering dan penuh bebatuan. Kapverde dirundung kemarau panjang. Sudah delapan bulan, air di bendungan utama tidak bertambah. Dari bagian atas tembok bendungan yang putih kering di bawah terik matahari, permukaan air terlihat 20 meter di bawahnya. Ketinggian air di bendungan hanya 2,5 meter. Ini adalah yang terendah sejak bendungan dibangun tahun 2005.

Pandangan Victor Baessa menerawang ke cakrawala. Di kejauahan tampak lembah Ribeira Seca, lembah Sungai Kering. Victor adalah ketua dewan kota São Lourenço dos Órgãos yang baru resmi berdiri tahun 2005. Kota Baessa termasuk yang paling parah terkena dampak kekeringan dan kelangkaan air di Kapverde. Victor bercerita, bendungan ini mampu menampung 700.000 meter kubik air. Tapi sejak danau buatan ini dibangun, bendungan maksimal terisi separuhnya.

Curah hujan di Kepulauan Kapverde tiap tahunnya hanya mencapai 230 milimeter. Sebagai perbandingan, rata-rata curah hujan di Indonesia adalah 200 sentimeter. Musim hujan di Kepulauan Kapverde tergolong pendek yaitu tiga bulan antara bulan Agustus sampai Oktober.

Sumber air utama di Kapverde adalah air tanah. Tapi persediaan air tanah sudah hampir terkuras, demikian menurut Institut Nasinal Untuk Sumber Daya Air. Penyebabnya banyak, mulai dari peningkatan jumlah penduduk, naiknya konsumsi air karena pariwisata dan lahan pertanian yang makin luas.

Dalam perjalanan mobil dari bendungan ke lembah di balik tembok tinggi terlihat sejumlah petak dan lahan yang tampak seperti pulau-pulau hijau di tengah lautan bebatuan. Petani terlihat mencangkul dan mengolah tanahnya di bawah terik matahari. Bagi mereka, bendungan Poilão bagai urat nadi yang mengalirkan air kehidupan. Dam ini memasok air tawar bagi para petani yang jika tidak dibendung akan mengalir ke laut atau menguap sama sekali. Hampir separuh dari 500.000 penduduk Kapverde hidup sebagai petani.

Victor Baessa sesekali membunyikan klakson dan melambai pada petani yang bekerja di ladang. Victor menceritakan, para petani Ribeira Seca sudah dua tahun menggunakan air dari bendungan untuk mengairi lahannya. Hasil panennya mereka jual di pasar-pasar setempat. Sebagian membawa hasil buminya ke Praia, ibukota Kapverde yang terletak 25 kilometer di selatan bendungan.

Mobil Victor Baessa berhenti di samping sebuah lahan. Di atas tanah yang kering selang hitam terbentang dari ujung ke ujung, jarak antar selang tersebut sekitar 50 sentimeter. Selang-selang tersebut dilubangi, besar lubangnya sebesar kepala jarum pentul. Dan dari lubang-lubang tersebut menetes air yang membasahi tanah di sekitar tanaman. Tehnik irigasi ini sebenarnya sudah digunakan di Kapverde sejak tahun 90an. Tapi sekarang, tehnik ini mulai menggeser cara menyiram tradisional yaitu dengan membanjiri seluruh lahan dengan air.

Beberapa kilometer dari lahan yang menggunakan tehnik pengairan dengan tetesan air, José Teixeira menunjuk pada konstruksi yang terbuat dari pipa dan kelambu. Tempat ini dipakai untuk menumbuhkan timun dan semangka. Teixeira adalah seorang teknisi INIDA, Institut Nasional Untuk Riset dan Perkembangan Agraris. Institut ini bekerja sama dengan petani sempat. Teixeira dan rekan-rekannya menyediakan lahan dan bibit khusus yang disesuaikan dengan iklim kering di Kepulauan Kapverde. “Dengan tehnik ini kami menghemat 40 sampai 50 persen air. Di sekitar batang tanaman, tanahnya basah. Tapi hanya di sekitar tanamannya. Dengan cara irigasi yang lama, seluruh lahan ini dibanjiri air, kalau untuk tehnik yang baru, kerannya hanya dibuka sedikit. Dengan sistem irigasi lama, tanaman hanya disiram dua minggu sekali. Akibatnya, banyak tumbuhan yang mati karena kurang air."

Tehnik menyiram tanaman yang hanya meneteskan air di sekitar batang tanaman sudah digunakan di Israel di tahun 70an. Dan tehnik yang terbukti efisien ini kini mulai tersebar di Kapverde. Sekitar 25 persen petani di negara kepulauan ini sudah menggunakannya.

Sementara tehnik pengairan dengan selang yang diberi lubang tersebar luas di kawasan lembah, di Serra da Malagueta yang terletak 700 meter di atas permukaan laut digunakan berbagai tehnik lainnya. Domingos Monteiro, petani yang berusia 54 tahun menemukan cara agar tanah menyimpan air lebih efektif. "Saya memakai jaring, seperti yang biasa dipakai untuk lantai kandang ayam. Tiap hari, saat saya memberi makan ayam selalu saja tanah di bawah jaring itu lembab. Saya lalu berpikir, kalau jaring yang tebal ini membuat tanah tetap basah, saya bisa memakainya untuk mengumpulkan air untuk tanah pertanian. Ide ini saya terapkan di lahan saya sendiri, dan sekarang metode ini juga dipakai di taman nasional."

Taman nasional Serra da Malagueta adalah kawasan perlindungan alam di utara Pulau Santiago. Di sini, orang-orang menggunakan tehnik yang unik untuk mengumpulkan air. Jaring yang tipis dipasang pada bingkai kayu. Bingkai kayu tersebut lalu dipasang berdiri. Saat kabut muncul, uap air yang terperangkap dalam jaring berkondensi yang mengalir ke tempat penampungan dari aluminium. Bila langit berawan tebal, maka tehnik ini bisa menghasilkan 700 liter air dalam sehari, kata seorang penjaga Taman Nasional. Berkat tehnik ini, warga setempat tak perlu lagi turun ke lembah untuk mengambil air.

Warga Kapverde selalu menunggu musim hujan. Karena saat musim hujan tiba, kepulauan ini berubah dan pantas menyandang namanya - Cabo Verde atau Semenanjung yang Hijau.

Renate Krieger/Verónica Oliveira/Ziphora Robina

Editor: Yuniman Farid