1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

170709 Freitagsgebet Teheran

17 Juli 2009

Pendukung oposisi kembali memenuhi jalan-jalan di Teheran setelah mendengar khotbah Jumat mantan Presiden Hashemi Rafsanjani yang mengkritik pemerintah Iran.

https://p.dw.com/p/Irw7
Aksi protes di Teheran, Jumat (17/07).Foto: AP

"Kebebasan bagi tahanan politik!" teriak mereka. Dan "turunkan pemerintah penipu". Inilah suara yang terdengar dari video dengan gambar kabur yang lolos dari sensor Iran dan tersebar di internet.

Rekaman video itu menunjukkan massa berdemonstrasi di jalan-jalan Teheran, tampaknya di sekitar mesjid dimana sholat Jumat baru saja usai.

Khotbah Ayatollah Hashemi Rafsanjani menggerakkan oposisi Iran untuk sekali lagi turun ke jalan, Jumat kemarin (17/07). Rafsanjani adalah pengritik tegas dari Presien Mahmud Ahmadinejad.

Saksi mata menyebutkan, ratusan ribu orang, banyak diantaranya mengenakan gelang hijau, kerudung hijau, atau penutup mulut hijau, warna kandidat presiden oposisi Mir Hussein Mussavi.

Jajaran kepemimpinan Iran tampak gugup kembali. Tidak seperti biasanya, khotbah Jumat kali ini tidak disiarkan di televisi, baik langsung seperti khotbah Jumat lalu dari pemimpin spiritual tertinggi Ayatullah Ali Khamenei, ataupun dalam siaran berita. Pengarang Iran yang hidup di eksil Navid Kermani mengamati hal lain.

"Khotbah itu juga tidak diperdengarkan keluar. Biasanya kan khotbah disampaikan dengan pengeras suara, sehingga terdengar di luar. Sekali ini tidak“, kata Kermani.

Di samping itu, akses masuk menuju tempat sholat Jumat di Universitas Teheran, dibatasi. Kantor Berita melaporkan, kawasan dalam radius tiga kilometer diblokade. Jelas bukan kebetulan kata Kermani. Di kampus itu, lebih dari 5000 anggota milisi sukarela bermalam, sehingga mereka bisa memblokade daerah itu. Jurnalis asing tak boleh masuk ke lokasi protes.

Khotbah Jumat yang disampaikan mantan presiden Hashim Rafsanjani juga dicermati Konstantin Kosten, pakar Iran dari Masyarakat Jerman untuk Politik Luar Negeri.

"Pernyataan paling utama adalah bahwa Rafsanjani untuk pertama kalinya meneguhkan hilangnya kepercayaan rakyat, yang belum pernah diteguhkan oleh tokoh-tokoh pemimpin Iran lainnya. Ia menyerukan agar semua kelompok bersatu. Hukum di Republik Islam Iran harus dipatuhi dan dalam kerangka hukum itu, tidak boleh lagi ada sensor pers. Ia juga menyerukan dengan tegas untuk membebaskan para tahanan", kata Kosten.

Pengarang eksil Iran Navid Kermani juga melihat tuntutan pembebasan tahanan sebagai tema pokok khotbah. Namun ia menambahkan, "Secara keseluruhan itu merupakan upaya untuk menjembatani oposisi dan sistem. Artinya, ia mencoba untuk memuaskan kedua pihak.“

Rafsanjani bukan hanya dekat pada oposisi. Ia politisi yang selalu mampu bertahan dalam situasi apapun. Sejak 30 tahun terakhir ia memegang posisi-posisi puncak di Iran. Ia termasuk salah satu orang terkaya di negeri itu.

Karena itulah pengamat Iran Konstantin Kosten menilai, apa yang dilakukan Rafsanjani tidak lagi diperhitungkan. Mungkin saja itu memberi harapan bahwa ia juga bisa menuntut pemilu baru. Tapi itu terlalu berat, Rafsanjani tak akan sanggup melakukannya.

Bahwa mantan presiden tersebut berkhotbah seperti itu, sudah indikasi penting, kata Kermani. "Khotbah itu menunjukkan, sistem berada dalam tekanan. Banyak isyarat dalam hari-hari dan minggu-minggu terakhir bahwa ada yang menggelegak dalam masyarakat. Ada Fatwa Ayatollah yang mengecam rejim, dan banyak sinyal dari Qom, kota suci."

Oposisi di Iran menilai pemilu tanggal 12 JUni lalu tidak adil dan menolak mengakui hasilnya yang menetapkan terpilihnya Ahmadinejad kembali sebagai presiden. Dalam berbagai aksi dan kekerasan yang terjadi kemudian, sedikitnya 21 orang tewas dan ratusan lainnya ditahan.

Matthias von Hein/ Renata Permadi

Editor: Christa Saloh