1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

ketua Parlemen Ditunjuk Sebagai Presiden ad Interim Tunisia

15 Januari 2011

Kepergian Ben Ali ke Arab Saudi meninggalkan Tunisia yang lumpuh oleh kerusuhan berdarah. Kini negara itu juga menghadapi krisis politik baru, setelah Dewan Konstitusi menyanggah klaim jabatan presiden oleh PM Ghannouchi

https://p.dw.com/p/zxwQ
Demonstran di TunisFoto: AP

Kerusuhan berdarah di Tunisia memaksa Presiden Zine al-abidine Ben Ali melarikan diri ke Arab Saudi. Pesawat yang ditumpanginya tiba di Jeddah pada Sabtu pagi (15/1) waktu setempat. Kerajaan Arab Saudi menyambut Ben Ali dan keluarganya dengan tangan terbuka, begitu tulis kantor berita pemerintah SPA.

Menurut laporan harian "Le Monde", sang presiden sebelumnya berupaya mendarat di Paris, namun pemerintah Perancis menolak untuk memberikan suaka politik.

Sebelum meninggalkan negaranya, Ben Ali yang telah memerintah Tunisa selama 23 tahun terakhir, memberlakukan status darurat sipil pada hari Jumat dan mengumumkan pemilihan umum. Sampai saat itu tugas kepresidenan akan diambil alih oleh Perdana Menteri Mohammed Ghannouchi.

"Saya menyerukan kepada semua penduduk untuk menjaga kesatuan dan nasionalisme, agar negara kita mampu menjalani masa-masa yang sulit ini," kata Ghannouchi.

Ia berjanji akan menggulirkan reformasi politik di Tunis dan mengajak perwakilan semua partai dan organisasi masyarakat untuk merembukkan pemerintahan baru.

Namun proses peralihan kekuasaan tersebut menemui hambatan. Dewan Konstitusi Tunisia hari Sabtu (15/1) mengumumkan, menurut undang-undang yang berlaku, bukan Perdana menteri melainkan Ketua Parlemen, Fouad Mbazza, yang berhak mengambil-alih jabatan sebagai presiden ad interim. Belum jelas bagaimana Ghannaouchi akan menyikapi perkembangan tersebut.

Eksodus Wisatawan Asing

Namun demikian, kepergian Ben Ali urung meredakan ketegangan di Tunisia. Pada Sabtu malam (15/1) stasiun kereta di Tunis dibakar massa, demikian menurut keterangan saksi mata. Para perusuh juga berupaya membakar apartemen mewah dan menjarah pusat perbelanjaan bahkan rumah sakit.

Kerusuhan juga dilaporkan terjadi di sejumlah kota besar lain di Tunisia. Kebanyakan demonstran adalah para pemuda yang memrotes tingginya angka pengangguran dan harga bahan bakar. Sejumlah organisasi HAM melaporkan, jumlah korban jiwa akibat bentrokan dengan aparat keamanan dalam beberapa pekan terakhir, mencapai sedikitnya 66 orang.

Situasi di Tunisia memaksa wisatawan asing berbondong-bondong keluar dari negara tersebut. Jumat malam (14/1) gelombang pertama wisatawan Jerman dilaporkan tiba di bandara Düsseldorf dan Berlin. Namun akibat status darurat dan perintah larangan terbang yang diberlakukan pemerintah membuat kepulangan sebagian wisatawan tertunda.

UE dan AS Serukan Solusi Damai

Kementrian Luar Negeri di Jerman dan Perancis sebelumnya mengeluarkan peringatan perjalanan terhadap Tunisia. Kanselir Angela Merkel menyatakan kekhawatirannya dan mendesak solusi damai dari krisis di Tunisia.

"Kami akan menggunakan pengaruh kami untuk mendorong jalan keluar yang damai, agar tidak ada lagi korban jiwa yang berjatuhan," kata Merkel.

Tuntutan senada juga muncul dari Uni Eropa. Utusan Khusus Luar Negeri UE, Catherine Ashton mendesak pihak-pihak yang bertikai agar "menahan diri dan mencegah penggunaan tindak kekerasan." Menurutnya jalan keluar bagi situasi di Tunisia adalah dialog.

Amerika Serikat mengimbau pemerintah Tunisia agar menghormati hak-hak sipil warga untuk mengemukakan pendapatnya dan berdemonstrasi secara damai. Menteri Luar Negeri Hillary Clinton menyerukan agar digelar "pemilu yang bebas dan reformasi politik".

Hiingga kini belum jelas kapan pemilu kepresidenan di Tunisia akan digelar. Menurut Dewan Konstitusi, otoritas hukum tertinggi di Tunisia, pemilihan umum harus digelar dalam waktu 60 hari ke depan.

Rizki Nugraha/afp/dpa/rtr/Ed: Renata Permadi