1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Ketika Mudik Jadi Momen Flexing dan Tampilkan Ilusi Sukses

16 April 2024

Kekuasaan, ketenaran, dan kekayaan. Semua ilusi sukses ini dikejar dan untuk sementara dipamerkan ke sanak keluarga saat mudik ke kampung halaman. Sampai mana batasannya?

https://p.dw.com/p/4eoro
Ilustrasi emas batangan
Ilustrasi emas batanganFoto: Jade Gao/AFP

Mudik, sebuah tradisi yang erat dengan silaturahmi antarkeluarga kala Idulfitri. Namun sayangnya, momen ini sering kali diwarnai oknum-oknum yang gemar flexing alias suka pamer.

Orang-orang bahkan rela menggadaikan harta bendanya saat akan mudik. Ada juga yang rela membeli emas imitasi demi terlihat mewah, memanfaatkan jasa penyewaan iPhone saat Lebaran, bahkan sampai berburu pinjaman online alias pinjol agar terlihat menonjol di kampung halaman.

Tak cuma itu, emas imitasi juga kerap jadi pilihan untuk memeriahkan hari raya. Emas imitasi jadi perhiasan pilihan lantaran harganya yang tak semahal emas asli namun kilaunya sama-sama menyilaukan. Satu gram emas imitasi hanya dihargai Rp25.000.

Sementara data Pegadaian mengungkap bahwa aktivitas beli dan gadai emas meningkat menjelang Lebaran.

"Pembelian emas yang cicilan itu kita sudah bulan ini tumbuhnya sudah 5 persen pertumbuhan bulanannya," kata Direktur Jaringan, Operasi dan Penjualan PT Pegadaian Eka Pebriansyah dikutip dari Antara awal bulan April.

Pada Maret 2024, gadai emas tumbuh 5,5 persen. Pertumbuhan tersebut dipengaruhi oleh pemenuhan kebutuhan masyarakat menjelang perayaan Idulfitri dan mengamankan aset sebelum mudik.

Minat ke pinjol makin tinggi

Bukan cuma minat ke pegadaian, sering kali pinjol dianggap jadi jalan keluar untuk memenuhi ‘kebutuhan' saat Lebaran.

Seiring meningkatnya tren pinjam dana pada platform pinjol jelang Hari Raya Idul Fitri, Direktur Komunikasi Korporat AFPI Andrisyah Tauladan Asosiasi Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) menyebut pinjol tersebut umumnya meningkat lebih dari 10 persen menjelang Lebaran.

Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru! 

Meski proses pinjaman mudah, Andrisyah mengimbau masyarakat untuk bertanggung jawab ketika menggunakan platfom peminjaman dana online, utamanya untuk membayar pinjaman tepat waktu.

"Jangan utamakan keinginan, untuk beli baju Lebaran atau tiba-tiba ingin beli handphone baru, tapi bukan untuk mendukung produktivitas, misalkan kalau untuk ojek online dia butuh handphone baru untuk produktif, kalau hanya untuk gengsi, jangan, bertanggung jawablah dalam meminjam dan membayar," katanya.

Flexing atau pamer, bukan fenomena baru

Pengamat sosial dan sosiolog Universitas Indonesia Devie Rachmawati mengungkapkan bahwa ini bukanlah hal baru. Tiap kali Lebaran, hal yang sama terus terulang.

Dia menjelaskan, ada beberapa alasan mengapa hal ini terus terjadi saban Lebaran.

"Pertama, penyebabnya ini adalah masyarakat Asia secara umum adalah masyarakat komunal yang hierarkis. Hierarkis itu artinya ada orang yang berada di puncak strata sosial. Siapa orang yang ada di puncak strata sosial itu?  Secara sederhana, saya menyebutnya dengan empat K," katanya kepada DW Indonesia, Senin (15/04). Empat K ini antara lain adalah kekuasaan, ketenaran, dan kekayaan. 

Uang rupiah
Bagi-bagi uang baru ketika Lebaran juga dianggap menjadi status simbol baru. Semakin besar pecahan uang yang dibagikan, semakin banyak orang yang berkunjung ke rumah.Foto: Dasril Roszandi/Zuma/IMAGO

"Dari empat K ini, tentu yang paling mudah untuk kelihatan (orang lain) tentu saja yang kayaan terakhir, kekayaan," ujarnya. Anggapan inilah yang kemudian menyebabkan banyak orang ingin dihormati karena 'kekayaan.'

"Nah, orang kaya itu ya direfleksikan tentu dengan mobil apa yang dia pakai, baju, tas, handphone, jam tangan, perhiasan yang dia pakai. Karena kalau Anda bisa menunjukkan kekayaan dari 4K itu yang tadi, maka Anda akan dihormati penghormatan di tengah-tengah masyarakat komunal yang sangat hierarkis ini."

Jakartanian dreams

Hidup di Kota Jakarta juga dinilai sebagai salah satu alasan mengapa memamerkan kekayaan dan kesuksesan alias flexing menjadi ‘kebutuhan.'

"Perlu dipahami bahwa Jakarta itu menjadi matahari ekonomi bagi seluruh masyarakat di Indonesia. Seakan-akan belum menjadi manusia Indonesia yang sempurna kalau Anda belum ada di Jakarta. Nah, ketika kemudian Anda melakukan proses urbanisasi, maka akan muncul harapan bahwa Anda ketika ke kampung halaman, Anda akan tampil sebagai sosok yang sukses," ujar Devie.

Semua metafora yang muncul tentang Jakarta melalui berbagai media telah membangun imajinasi bahwa Jakarta adalah segalanya dan lambang kemewahan. 

Lebaran: Menukar dan Berbagi Uang Baru Di Era 'Cashless'

"Itu kemudian membentuk fantasi bahwa semua orang yang ada di Jakarta pasti sukses. Sehingga hal pertama yang akan mereka lakukan adalah memenuhi harapan itu lewat apa yang ditampilkan."

"Lalu yang kedua, masyarakat timur dalam hal ini, bukan hanya Indonesia tapi juga masyarakat timur lainnya di Cina, di wilayah-wilayah timur. Secara umum Asia, dan sebagainya, itu punya kecenderungan secara kolektif. Masyarakat menekankan kesuksesan itu dari kepemilikan material. Ini yang kemudian ditandai secara statistik, bisa dicek bagaimana penjualan barang-barang mewah itu sangat tinggi di kawasan Asia dibandingkan di negara-negara barat."

Devie menganggap bahwa fenomena pamer kesuksesan saat mudik dibungkus dengan utang-piutang dan lainnya saat ini semakin parah.

"Selama memang, kultur hierarkis itu masih terus ada, kebutuhan untuk orang tahu siapa saya lewat casing-nya ini akan terus terjadi."

"Tapi yang menjadi tantangan adalah ketika Anda mengonsumsi produk-produk tersebut, entah itu untuk tujuan demonstrasi atau dinikmati sendiri, tapi berbasis utang yang Anda tidak mampu menyelesaikannya. Itu masalah." (ae)

C. Andhika S. Detail, humanis, dan tidak ambigu menjadi pedoman saya dalam membuat artikel yang berkualitas.