1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Keterbatasan Negara Dalam Penyelesaian Masalah HAM

7 Desember 2017

Periode pertama rezim Presiden Jokowi hampir selesai, tidak sampai dua tahun lagi, namun penyelesaian masalah pelanggaran HAM masih banyak yang menggantung. Opini Aris Santoso.

https://p.dw.com/p/2oO70
Benny Wenda West-Papua-Aktivist
Foto: Leon Neal/AFP/Getty Images

Penyelesaian kasus pelanggaran HAM merupakan bagian dari visi-misi pasangan Jokowi-JK dalam kampanye Pilpres 2014 lalu, dan termasuk isu unggulan.

Sekarang banyak pihak mulai pesimistis, apakah rezim Jokowi sanggup menyelesaikan masalah HAM, dalam sisa waktu kekuasaannya. Komunitas yang masih gigih menagih janji adalah mereka yang tiap Kamis sore menggelar "Aksi Kamisan” di seberang Istana Merdeka. Sementara sikap elemen masyarakat yang lain, aspirasinya belum terkonsolidasi.

Problem kelembagaan

Lembaga-lembaga negara yang menjadi pemangku kepentingan isu pelanggaran HAM pada dasarnya juga tidak mampu, dan (mungkin) memang tidak bersedia menyelesaikan masalah pelanggaran HAM, seperti Kejaksaan Agung misalnya. Setiap menerima berkas yang diserahkan Komnasham, oleh Kejagung langsung dikembalikan.

Penulis: Aris Santoso
Penulis: Aris Santoso Foto: privat

Sementara Komnasham lebih pada problem kapasitas dan dukungan politik. Kita sudah sering mendengar perwira TNI atau Polri, yang diduga melanggar HAM, mangkir dari panggilan Komnasham. Celakanya, belum ada sanksi yang jelas dari otoritas lebih tinggi, bila ada anggota TNI atau Polri yang tidak memenuhi panggilan Komnasham. Status panggilan itu menjadi tentatif, tidak memiliki kekuatan hukum yang pasti.

Hubungan yang absurd antar lembaga negara tersebut dimanfaatkan dengan baik oleh TNI dan Polri, dengan cara sering mengabaikan panggilan Komnasham. Bagi TNI, soal dugaan pelanggaran HAM yang melibatkan anggotanya, bukanlah urusan mendesak, sehingga karier perwira yang diduga melakukan pelanggaran HAM, tetap lancar. Dan yang lebih penting untuk dipahami, secara politik TNI masih sangat kuat, sehingga bisa menafikan keberadaan lembaga negara lain yang setara.

Posisi Komnasham sejak lama pada posisi dilematis. Seolah lembaga ini dibentuk sekadar memenuhi syarat  konvensi internasional di bidang HAM, kemudian sengaja dibuat inferior. Bisa jadi salah satu sebabnya adalah ketiadaan figur. Belum ada lagi komisioner sekaliber Baharudin Lopa atau Asmara Nababan – keduanya sudah almarhum – yang tetap bisa berkiprah meski dengan ruang terbatas.

Kehendak Jokowi

Pada 22 Juni 2015, Jokowi menandatangani Perpres No 75 tentang Rencana Aksi Nasional HAM (RANHAM) 2015 – 2019. Sayang regulasi ini hanya bagus di judul, karena bila kita telusuri, tidak ada penjelasan bagaimana peta jalan pemerintah tentang penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu.

Komitmen penyelesaian masalah HAM  tidak pernah terucap dari Jokowi sendiri, jadi publik tidak tahu bagaimana sebenarnya kehendak Jokowi. Soal ini selalu didelegasikan pada orang kepercayaanya, yaitu Luhut Binsar Panjaitan, saat masih menjabat Menkopolhukam. Saat menjabat Menkopolhukam, Luhut pernah berjanji akan menyelesaikan 11 pelanggaran HAM di Papua pada akhir Desember 2016, sementara sekarang sudah di penghujung tahun 2017.

Setelah posisi Menkopolhukam diberikan pada Wiranto, prospeknya lebih suram lagi. Mengingat Wiranto sendiri sering dikejar-kejar para pembela HAM, sebagai pihak yang harus bertanggung jawab pada kasus pelanggaran HAM di masa lalu, saat masih menjadi Pangab. Wiranto seolah "mati angin” bila menyentuh soal HAM.

Masalah HAM selalu menjadi mimpi buruk bagi siapa pun yang berkuasa di negeri itu, saya kira itu salah satu sebab mengapa Jokowi selalu bungkam. Bagi para penguasa, isu HAM ibarat palang pintu kereta, yang hanya menghambat saat mobil melaju kencang. Seperti yang dialami Jokowi sekarang, di saat sedang gencar-gencarnya membangun infrastruktur, buat apa pula mengurus masalah HAM, hanya menambah beban yang tidak perlu.

Baca juga:

Fenomena KPLB dan Visi Generasi Baru TNI

Sinyal Bagi Opsi Referendum?

Dialog bagi Papua

Dari sekian banyak kasus HAM, ada dua yang saya amati secara khusus, mengingat dua kasus ini memiliki karakter khas, yakni Papua dan Peristiwa 1965. Kasus pelanggaran HAM di Papua eskalasinya sangat tinggi, bisa jadi tiap hari ada pelanggaran HAM oleh aparat, hanya mungkin tidak terpantau oleh media dan publik. Sementara Peristiwa 1965 adalah beban sejarah bangsa yang tak kunjung selesai.

Masalah HAM di Papua sangat kompleks, karena tumpang tindih dengan isu "kemerdekaan”.Ekspresi masyarakat Papua selama ini selalu ini dihadapi dengan kekerasan oleh aparat, yang justru menambah rumit masalah. Karena tindak kekerasan aparat bisa masuk kategori pelanggaran HAM, dan itu berdampak pada dendam, yang akan menimbulkan konflik-konflik lanjutan.

Salah satu opsi untuk kasus HAM Papua adalah dialog intensif, antara elite di Jakarta dan rakyat Papua. Hanya masalahnya, komunitas atau elemen mana yang representantif dalam membawa aspirasi masyarakat Papua. Bagian ini yang membedakan antara perjuangan rakyat Papua dan rakyat Timor Timur (masa lalu). Di Timtim dulu, antara aktivis kemerdekaan yang tersebar di kota-kota di tanah air, rakyat biasa, birokrat dengan para gerilyawan di belantara, mereka satu derap langkah, aspirasi mereka sama.

Sementara di Papua, para birokrat bisa berbeda aspirasi dengan rakyat biasa. Rakyat biasa menyalurkan aspirasinya melalui kepala suku, yang bisa jadi kepala suku memiliki kepentingan subyektifnya sendiri, karena kedekatan khusus dengan elite politik setempat, dan tentu kompensasi (baca: finansial) ikut bicara.

Tampaknya jalan menuju dialog masih panjang, namun tetap perlu dilakukan. Sambil menunggu delegasi yang representatif, para aparat dan korporasi di Papua hendaknya melakukan moratorium, dengan cara memperlakukan masyarakat Papua dengan lebih manusiawi, mengingat para aparat dan korporasi itu "numpang hidup” di tanah Papua.

Meringankan negara

Penyelesaian pelanggaran HAM terkait tragedi 1965, sebenarnya lebih mudah lagi. Para korban dari segi usia umumnya sudah tua, di atas 70 tahun, tidak ada tuntutan apa-apa dari mereka terhadap pemerintah, bahkan sekadar maaf. Mereka sudah pasrah menjalani hidup, sembari menunggu hari menuju keabadian.

Bedakan antara sikap korban dengan kajian sejarah terkait peristiwa tersebut. Bila kajian kita tidak pernah tahu kapan akan berakhir, sementara bagi korban, peristiwa itu sudah selesai. Kini bola ada di tangan rezim Jokowi, bagaimana harus bersikap terhadap korban 1965, seandainya tidak melakukan tindakan apa-apa, para korban juga tidak mempermasalahkan. Dalam kasus ini, negara sungguh diringankan.

Kepasrahan mereka terlihat ketika terjadi insiden di kantor YLBHI (Jakarta Pusat), di tengah keberingasan ormas vigilante yang mengintimidasi mereka, para korban tetap tenang. Justru beban moral sebenarnya ada di kelompok demonstran, apa lagi yang akan mereka tuntut dari para insan lanjut usia tersebut. Kelompok aksi terlihat begitu bersemangat saat menteror para lansia yang sedang duduk tenang tanpa ekspresi, adakah yang lebih konyol dari itu? 

Penulis: Aris Santoso (ap/vlz), sejak lama dikenal sebagai pengamat militer, khususnya TNI AD. Kini bekerja sebagai editor buku paruh waktu.

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.