1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Kebenaran Mutlak dalam Kesemrawutan

10 Oktober 2016

Frustrasi disalip saat mengantri? Hampir tertabrak meski menyebrang di zebra cross? Andibachtiar Yusuf menyoroti ragam kekacauan tak berujung di tanah air. Ia memimpikan Indonesia yang lebih tertib dan manusiawi.

https://p.dw.com/p/1Jyvy
Passanten Gesellschaft Zensus
Foto: Fotolia/chris-m

“Mungkin karena waktu kecil ajaran berlalu lintas yang kita terima adalah: ‘kalau mau menyebrang tengoklah kanan kiri' dan bukannya ‘hormati pejalan kaki'. Oleh sebab itu zebra cross seolah jadi tak ada gunanya di sini," demikian berulang kali saya berujar, bukan karena bangga tetapi karena kesal. Pasalnya, karena jika ingin menyebrang jalan walau sudah berdiri di atas zebra cross, nyaris tak ada pemakai jalan yang peduli.

Sebaliknya jika saya yang sedang mengemudi kendaraan dan taat aturan dengan berhenti saat ada penyebrang di zebra cross, tak jarang atau seringnya kendaraan lain mengklakson atau bahkan memaki saya....

Lebih jauh lagi di jalanan, banyak pengemudi kendaraan di negeri ini nyaris tak punya sopan santun. Memotong jalur orang sudah biasa, tak mau mengantri... apalagi ini sih sudah umum. Belum lagi meneriaki yang dianggap tak sesuai—padahal dirinya tak kalah brengseknya— hal-hal demikian jadi pengalaman sehari-hari.

Lalu muncul pertanyaanya, inikah gambaran real negeri  ini yang sebenarnya?. Bagaimana kehidupan mulai dari gedung parlemen, kehidupan berpolitik sampai ke hal-hal sehari-hari jadi soal biasa, jika semua itu kacau balau tak karuan. Kalau tertib, itu malah bikin orang tak tenang dan marah-marah.

Belum punya budaya antri

Budaya mengantri baru dimulai ketika sudah ada media sosial menunjukkan penggunanya ngomel-ngomel akibat mengalami situasi tak menyenangkan baginya. Perilaku berubah, sepertinya!... padahal faktanya sama saja. Secara keseluruhan begitu-begitu saja, tak ada perubahan signifikan.

Penulis: Andibachtiar Yusuf
Penulis: Andibachtiar YusufFoto: Andibachtiar Yusuf

Indonesia sudah sejak lama kedatangan orang asing, bahkan juga dijajah asing hingga 350 tahun. Sudah lama juga melakukan berbagai kegiatan berlevel internasional. Saya tak tahu bagaimana kejadiannya jika bangsa kita—kelas sosial apapun—tidak punya akses untuk turut serta, tetapi saya tahu pasti jika bangsa saya sudah turut serta di sana.

Paralel kejadiannya, jika kita ada belahan bumi Utara yang disebut barat, jika ada rombongan bangsa Indonesia hendak pulang langsung ke Jakarta, dijamin antriannya tertib. Tapi cobalah kalau sudah ada di Abu Dhabi, Dubai, Doha, Singapura, Kuala Lumpur dan tempat lain, yang punya akses pesawat langsung Jakarta, situasi antrian jadi kacau balau! Saya bahkan sempat ngedumel keras pada seorang ibu berseragam instansi resmi di Indonesia, yang seenaknya menerobos antrian bersama beberapa rekannya “Gak diajarin ngantri ya bu di negaranya?”

Situasi nyaris serupa lalu terjadi di sebuah hajatan internasional yang terjadi di Bali, yakni saat event Marathon Internasional digelar di sini. Pelari lokal yang lambat bukannya ambil posisi di kiri tetapi malah menguasai lajur kanan. Padahal dalam aturan lalu lintas di Republik ini jelas tertera bahwa yang lambat harus di kiri—padahal dengan alasan apapun, kanan adalah milik mereka dengan kecepatan lebih tinggi agar semuanya terakomodir. Yang kencang bisa mengejar targetnya, yang lebih lamban pun tak perlu diteriaki, dikomentari atau bahkan mungkin ditabraki.

Lomba lari marathon adalah sebuah festival, bukan hanya di Indonesia, tapi di banyak negara pun demikian suasananya. Bedanya mereka biasa hidup dalam norma yang mutlak. Bahwa yang benar dibiarkan dan yang salah harus ditindak. Jadi ketika sebuah kota sesibuk New York—silakan cek daftar kota tersibuk di dunia, lalu bandingkan Jakarta dengan New York—bisa menutup hampir semua wilayahnya demi sebuah acara “lari-larian semata” artinya mental festival tak hanya dimiliki oleh mereka yang berlari di lintasan, tetapi juga disadari dan dimaknai oleh warga kotanya.

Kekacauan tak berujung

Tapi ya itu tadi, Republik kesatuan yang kita cintai ini, realitanya dijalankan dengan norma kekacauan tak berujung. Banjir kritik pada pemimpin karena sebuah wilayah kebanjiran, dijawab dengan hikayat mengapa kawasan itu wajar kebanjiran, ketimbang sama-sama mencari jalan keluar agar wilayah itu tidak kebanjiran lagi. Sembari menganggap bahwa kritik selalu diberikan oleh mereka yang memberi perhatian, bukan sebaliknya!

Kita biasa hidup dalam kewajaran dan keterbiasaan, padahal sebuah kebiasaan bukanlah sesuatu yang mutlak benar. Kritik selalu dianggap sebagai sebuah tindakan ofensif, padahal saya tak akan mengritik seseorang jika saya tidak peduli pada dirinya.

Ukuran kehidupan di negeri ini—atau setidaknya di tempat yang saya pernah lihat di negeri ini—selalu disederhanakan sebagai urusan salah dan benar, padahal sebenarnya tak ada suatupun yang mutak kebenarannya.

Seperti kata Friedrich Nietzsche yang kebetulan kegilaannya adalah idola saya “Tak ada yang namanya kebenaran atau kesalahan mutlak, yang ada kita sudah terbiasa pada suatu norma. Itulah ukuran kebenaran kita, padahal hal itu belum tentu benar,”

Seperti di sini, kekacauan dan ketidaktertiban adalah sebuah kewajaran dan keseharian "normal". Jadi memang mungkin itulah kebenarannya. Jadi terima sajalah….pelari yang “protes” terbuka di halaman Facebook itu pun, atau netizen yang marah  karena saat antri disalip oran, harus menerima kenyataan ini.

 

 

Penulis:

Andibachtiar Yusuf , Filmmaker & Traveller

@andibachtiar

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.