1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
SosialJerman

Kesediaan Belajar Hal Baru Kunci Sukses di Jerman

Marjory Linardy
21 Februari 2022

Kebetulan memang bisa saja terjadi dalam hidup, dan itu juga bisa membawa kesuksesan. Tapi orang tetap harus bersedia membuka diri belajar hal baru jika kesempatan datang, ujar Lingga.

https://p.dw.com/p/47K3p
Mahayekti Hacinthyasakti
Foto: Privat

Mahayekti Hacinthyasakti yang panggilan akrabnya Lingga, lahir di Jakarta dan berprofesi sebagai SAP Consultant pada PricewaterhouseCoopers (PwC) München. Awalnya dia tidak tertarik untuk pergi ke Jerman. Ia mengaku juga tidak punya harapan apapun ketika berangkat ke Jerman pertama kali untuk melaksanakan magang selama satu semester di perusahaan Siemens di kota Erlangen. Program magang itu memang ditawarkan di semester enam di Swiss German University (SGU), di mana Lingga berkuliah, yaitu di jurusan Information Technology (IT).

 “Waktu baru mulai kuliah di SGU mah belum tahu. Orang tadinya mau jadi dokter, “ katanya sambil tertawa. Lingga bercerita, sebenarnya dia diterima untuk berkuliah di jurusan kedokteran hewan, Insitut Pertanian Bogor (IPB). Tetapi dia memutuskan untuk berkuliah di SGU.

Setelah merasakan hidup di Jerman dalam enam bulan magang itu, Lingga ingin kembali lagi ke Jerman. “Kok sepertinya Jerman lebih terstruktur, terus lebih bersih. Udah ada aturannya. Kalau mau ngapain, ya ikut aturannya. Memang harus berjuang, bukannya gampang.”Asal mengikuti peraturan dan norma, pasti ada jalannya, kata Lingga.

Kalau di Indonesia, untuk bisa maju dalam karir lebih rumit. Selain itu, misalnya juga masalah kesehatan. “Memang di Jerman kita pajaknya tinggi, membayar asuransi kesehatan mahal, tapi kalau sakit atau melahirkan, ga perlu pusing-pusing lagi.” Begitu diungkap Lingga yang punya dua anak. Setelah selesai S2 di Jerman, dia memutuskan untuk berkeluarga di Jerman. Karena nantinya, pendidikan anak juga bisa lebih bagus, ujarnya.

Melanjutkan kuliah untuk bisa kembali ke Jerman

Untuk bisa kembali ke Jerman, ia memutuskan untuk berkuliah S2. “Karena kalau untuk mencari kerja sepertinya lulusan S1 saja kurang menjanjikan,” kata Lingga, baik untuk mendapat visa atau untuk mendapat kontrak kerja. “Apalagi ga bisa bahasanya, kan susah.”

Gambar menunjukkan Lingga dengan 12 orang rekan kerja, pria dan perempuan
Bersama rekan kerja di PricewaterhouseCoopers di FrankfurtFoto: Privat

Tapi kuliah S2 butuh biaya juga. “Jadi bagaimana caranya? Ya cari beasiswa.” Yang disasar Lingga adalah beasiswa Deutscher Akademischer Austauschdienst (DAAD). Tapi untuk mendapat beasiswa itu, orang dituntut untuk sudah punya pengalaman kerja terlebih dahulu di Indonesia. Selain itu, jika melamar beasiswa, orang biasanya tidak segera mendapat beasiswa itu, melainkan harus melewati beberapa tahap, antara lain melewati wawancara dan menyerahkan berbagai dokumen. Lingga mengatakan, dia menyerahkan lamaran di awal tahun, dan baru mendapat Zusage (persetujuan) akan diberikan beasiswa, baru di bulan Desember. Jadi dia menggunakan kesempatan itu untuk bekerja setahun.

Dengan berbekal beasiswa DAAD, akhirnya Lingga kembali berangkat ke Jerman tahun 2009. “Nyari jurusannya juga yang penting dapat, “ katanya sambil tertawa. Kali ini untuk berkuliah di jurusan International Management, di sekolah tinggi HfWU Nürtingen-Geislingen. Proses belajar-mengajar berjalan dalam bahasa Inggris dan Jerman. Jika sudah selesai, orang mendapat gelar MBA. Ketika itu, Lingga mengaku, kemampuan bahasa Jermannya masih minim. Dia terus bertahan, walaupun sulit, dan katanya, “Udah mau nangis,” misalnya kalau menghadapi masalah dalam pelajaran Rechnungswesen atau akuntansi dalam bahasa Jerman.

Ternyata kesan pertama ketika datang ke Jerman pertama kali benar. Jadi ketika berkuliah S2 dia berusaha memantapkan berbagai hal yang berkaitan dengan bahasa dan kebudayaan Jerman, yang sebelumnya belum ia ketahui. Kesulitan di kuliah tetap ada. “Kalau dulu kita kan sistem SKS, sistem kebut semalem, kalau mau ujian. Tapi sampai di sini, di kereta, di bus, ngeliat orang belajar. Emang sekarang musim ujian. Kok temen-temen gua pada belajar, sih?” Tapi ternyata memang itulah kebudayaan Jerman, kata Lingga sambil menambahkan, “Kita aja yang ga siap.”

Mendapat keuntungan dari dua jurusan yang tampaknya berbeda

Walaupun jurusan Information Technology (IT) dan International Management tampaknya tidak saling terkait, kedua bidang itu bermanfaat bagi Lingga, yang profesinya sebagai SAP Consultant, atau konsultan SAP. Menurut Lingga, sebagai konsultan, orang tidak bisa hanya mengerti teknik, tapi harus mengerti pula proses bisnis. Jadi misalnya soal keuangan, pengawasan dan manajemen.

Foto menunjukkan Mahayekti dengan seorang anak kecil di pangkuannya
Lingga dengan salah satu anaknyaFoto: Privat

Ia menjelaskan, jurusan International Management yang ia tempuh untuk mendapat S2 juga melibatkan komunikasi, kebudayaan internasional dan manajemen proyek. Ia menambahkan, walaupun IT memang tentang teknik, dalam praktenya orang tidak hanya bekerja dengan mesin belaka. Tapi di SGU, jurusan IT memang teknik belaka. Berbeda dengan di Jerman, tepatnya pada jurusan seperti Wirtschaftsinformatik atau informatika perekonomian. Di jurusan itu, orang juga belajar ekonomi.

Ketika mulai berkuliah di jurusan International Management ia seperti memasuki dunia baru. Ia baru sadar,  “Ternyata kebudayaan orang beda-beda toh!” Sebelum kuliah S2 dia tidak belajar mengenai itu sama sekali. Misalnya, orang Jerman biasanya tidak langsung bersikap terbuka. Jadi jika seorang konsultan asing ingin melaksanakan proyek dengan orang Jerman, bisa timbul konflik. Itu semua dia pelajari ketika berkuliah untuk mendapat gelar S2. Itu sangat berguna bagi profesinya sekarag. Ia bercerita, ia kerap bekerja dengan orang-orang dari India, yang latar belakang kebudayaannya berbeda dengan Indonesia, tapi berbeda lebih jauh lagi dari orang Jerman.

Kenyataan bahwa dia berkuliah dua hal berbeda, tapi ternyata sangat berguna sekarang, boleh dibilang Zufall atau kebetulan yang membawa berkah. Waktu baru mulai kuliah, ia tidak pernah terpikir, nantinya akan bekerja apa. “Ga kebayang,“ kata Lingga, dan menambahkan, ia hanya disuruh orang tua, dan mencari cara untuk bisa lulus dengan nilai bagus, walaupun dengan biaya minimum. “Itulah berkahnya kalau nurut orang tua,” katanya sambil tersenyum.

Tapi dia menarik kesimpulan juga, “Asal mau belajar, pasti ada jalannya. Ia bercerita, dulu ketika kuliah IT, walaupun belajar programming, gua bukan orang yang ‘nerd’ atau jenius, yang mengerti coding. Dulu bisa lulus karena dibantuin pacar, yang sekarang jadi suami, katanya.

Untungnya lagi, pacar Lingga, yang sekarang jadi suaminya, bersedia ikut ke Jerman. “Tapi dia memang pakar IT jadi gampang untuk cari pekerjaan,” tutur Lingga. Sebelum ke Jerman, suaminya sudah berprofesi sebagai konsultan IT. Karena profesi itu dibutuhkan di Jerman, ia segera bisa mendapat pekerjaan.

Foto menunjukkan Lingga dan dua anak kecil di sebelah air terjun
Lingga dengan kedua anaknya ketika berliburFoto: Privat

Merasa sulit berteman dengan orang Jerman

Dengan kebudayaan Jerman, Lingga masih mengalami kesulitan. Terutama, dia merasa tidak bisa berteman dengan orang Jerman. Kalau dengan orang Indonesia, baru bertemu sekalipun, bisa langsung akrab. “Ngomong apa aja. Misalnya: punya anak ga? Punya istri atau suami? Tinggal di mana? Maksudnya cepet klop,” kata Lingga. Ia merasa, bahkan dengan orang Italia atau orang Eropa timur juga lebih mudah. Kalau dengan orang Jerman, walaupun sudah akrab, tapi dia tetap merasa ada jarak.

Dari semua orang Jerman yang dia kenal di Jerman, hanya sedikit yang menjadi teman. Misalnya, orang tua dari teman anaknya, yang bersama-sama sejak TK sampai sekarang di SD. “Paling dua atau tiga keluarga,” tutur Lingga. Itu salah satu hal yang membuat dia merasa kangen dengan rumah. Kalau bertemu orang Indonesia rasanya langsung lebih bersifat kekeluargaan.

Kalau masalah lain di Jerman, seperti soal ketepatan waktu atau peraturan, rasanya bahkan sudah nyaman. Mengemudikan mobil di Jerman yang setirnya di sebelah kiri, bukan kanan, juga bukan masalah bagi Lingga. “Malah kalau nyetir di Indonesia yang setres,” katanya sambil tertawa.

“Culture shock” jika pulang ke Indonesia

Kalau masalah peraturan, dia bahkan merasakan “culture shock” jika pulang ke Indonesia. Dia bercerita, suatu ketika, saat hendak menyeberang jalanan satu arah, dia hanya menengok ke satu arah saja. Tapi tiba-tiba datang motor dari arah berlawanan, dan pengemudinya marah terhadap Lingga. Selain itu, mengingat di Jerman dia tinggal di kawasan yang relatif jarang penduduk di dekat danau bernama Starnberger See, sekitar 30 kilometer dari München, dia bercerita, “Gua kalau pulang ke Jakarta udah kaya orang udik. Gila rame banget!

Sebelum ke Jerman, dia mengira Jerman high end” karena hanya mengenal Jerman sebagai negara otomotif. Tapi kenyataannya, di Jerman tidak demikian. Yang membuat dia dulu syok adalah, di Minggu semua toko di Jerman tutup. Hari-hari yang tanggal merah, juga demikian. Yang menyenangkan, dari Jerman ke negara tetangga sangat dekat. Jika tinggal di bagian selatan, dekat dengan Austria dan Swiss. Di utara dekat dengan Belanda, Belgia, Denmark.

Gambar menunjukkan dua anak sedang berjalan di sebelah lahan terbuka
Jalan menuju sekolah anak-anak yang ditempuh setiap hari Foto: Privat

Berkaitan dengan itu, Lingga bercerita, dia sangat senang berjalan-jalan. Setiap hari libur dan setiap ada waktu, baik sendirian maupun tidak.  Dia bercerita bahwa dia dulu tidak tahu, bahwa Swiss tidak termasuk negara Schengen. Jadi dengan visa Schengen yang ia miliki, ia tidak boleh memasuki wilayah Swiss.

Waktu itu dia diturunkan dari kereta api di stasiun terakhir yang masih termasuk wilayah Jerman. Tapi dia tetap merasa senang, karena bisa berfoto-foto di alam terbuka yang cantik. Dari situ dia menyadari, ternyata Jerman menjaga sekali alamnya.

“Indonesia sebetulnya tidak kalah alamnya,” kata Lingga. Tapi dia merasa, sebagai orang Indonesia, dia tidak tahu tentang daerah-daerah lain Indonesia, misalnya Kalimantan atau Papua. Bahkan dia mengenal orang Jerman yang pernah menyusuri sungai di Kalimantan dengan kapal, dan menginap di kapal itu. “Kok orang Jerman pernah melakukan itu, sementara gua ga pernah,” katanya. Itu salah satu hal yang sangat disayangkan oleh Lingga. Oleh sebab itu, ia dan suaminya juga mendidik kedua anak mereka untuk terus mampu menggunakan Bahasa Indonesia secara aktif.

Ia mengaku tidak menghadapi masalah walaupun bekerja full time sambil mengasuh dua anak yang masih kecil. Dia bercerita, jika anak-anaknya sudah tidur di malam hari, dia bekerja. Dia menggambarkan dirinya sebagai orang yang spontan, bukan seperti orang yang bekerja rutin dari pagi hingga sore, kemudian makan siang di tengah hari. Dia tidak punya jam kerja tetap. Jadi walaupun kerja full time dengan dua anak, masih bisa tertangani. “Tinggal masalah stress management. Tapi seperti kemarin, anak-anak sakit, nah itu yang berat,” tutur Lingga. Tapi situasi seperti itu juga dihadapi para ibu yang bekerja di Indonesia.

Foto menunjukkan Mahayekti di kawasan yang tertutup salju
Lingga ketika berlibur di Oberammergau, negara bagian BayernFoto: Privat

Bahasa Jerman masih jadi tantangan

Di Jerman yang masih dirasakan Lingga sebagai tantangan adalah bahasa dan komunikasi. Yang terutama jadi masalah adalah mengerti makna yang tersirat, jika sedang berbincang-bincang dalam bahasa Jerman. Apalagi jika dalam taraf perundingan dengan CEO dari perusahaan lain. Atau juga situasi di mana dia harus segera memutuskan, apakah menyapa seseorang dengan Sie, yang artinya Anda, atau Du, yang artinya kamu.

Ketika ditanya, pelajaran apa yang paling penting yang dia peroleh dari Jerman, dia menjawab, “Regeln!” yang artinya peraturan. Bagi Lingga, peraturan banyak yang menguntungkan, misalnya demi keamanan. Anak-anaknya yang masih kecil perlu peraturan agar merasa aman. Misalnya, jika mereka keluar rumah hingga ke trotoar, itu masih aman. Tetapi jika sudah ke jalan itu berbahaya. Agar anak-anak ingat, diperlukan peraturan.

Di Jerman, masyarakatnya bisa semaju seperti sekarang, karena sejak kecil peraturan sudah ditanamkan pada anak-anak. Begitu pendapat Lingga. Misalnya, sejak TK anak-anak sudah diajarkan untuk bertanya terlebih dahulu, jika ingin mengambil mainan milik anak lain. Sebaliknya, jika sudah memiliki sebuah mainan, anak-anak jadi cenderung tidak mau berbagi dengan anak lain, dan anak itu mungkin menjadi individualis.  Contoh lain adalah membiasakan diri untuk mengantri. “Jadi orang Jerman itu individualis, tapi tidak egois.” Begitu diutarakan Lingga. (ml/hp)