1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sosial

Kerokan Jadi Andalan Wisata Kesehatan, Cuma Jadi Jargon?

20 November 2019

Menteri Kesehatan kian serius optimalkan wisata kesehatan. Salah satunya, memperkenalkan terapi kerokan dan tanaman herbal kepada wisatawan asing. Pengamat menilai wacana ini perlu kajian matang bukan cuma jargon semata.

https://p.dw.com/p/3TNVt
Deutschland Nana Bali Massage in Bonn
Foto: Nana Bali Massage

Menteri Kesehatan, Terawan Agus Putranto berupaya 'menggenjot' wisata kesehatan dengan mengoptimalkan terapi kesehatan lokal, seperti kerokan dan tanaman purwaceng.

Terawan meminta masyarakat agar tidak menyepelekan terapi kerokan, karena jika sumber dayanya diurus dengan benar, terapi lokal akan mendatangkan keuntungan di sektor pariwisata.   

"Kita harus tanya treatment tradisional. Kita harus membuat keingintahuan yang besar pada orang," kata Terawan dalam peluncuran Katalog Wisata Kesehatan dan Skenario Perjalanan Wisata Kebugaran, pada 19 November 2019 di Jakarta, seperti dikutip dari Tempo.

Lebih lanjut, Terawan menyampaikan setidaknya ada empat jenis wisata yang berpotensi terus dikembangkan, seperti wisata medis, kebugaran dan jamu, serta wisata olahraga. Ia melihat ada potensi keingintahuan wisatawan mancanegara terhadap budaya unik Indonesia.

"Jangan sepelekan kerokan. Kalau ada 100 kamar untuk pelayanan kerokan yang masing-masing berdurasi 25 menit. Setelah itu disediakan jamu," kata Terawan yang mengingatkan akan ada perputaran uang yang banyak dengan kegiatan itu, seperti dikutip dari Tempo.

Baca juga: Genjot Pariwisata, Arab Saudi Rangkul Pasangan Belum Menikah

Harus dikaji secara matang

Setelah sempat muncul dengan jargon wisata halal, kini Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) berkolaborasi dengan Kementerian Kesehatan untuk mengembangkan pariwisata Indonesia, termasuk di sektor wisata kesehatan.

Pegiat pariwisata Indonesia, Taufan Rahmadi menilai, wacana ini harus benar-benar dikaji secara matang.

“Jangan sampai nanti cuma jadi jargon-jargon saja. Tetapi kita harus liat posisi kita di ASEAN misalnya, seberapa kuat kah wisata kesehatan kita dibanding Malaysia, Singapura? Yang orang ketika ke sana untuk memang berobat, dengan fasilitas serba lengkap. Apa kita sudah sampai fasilitas kita menyamai mereka?” ujar Taufan kepada DW Indonesia. 

Meski tidak menyalahkan ide wisata medis, Taufan mengimbau agar sebaiknya kementerian fokus lebih dulu pada tujuan mengoptimalkan 10 destinasi pariwisata prioritas, yang sejak tahun 2014 telah dicanangkan dan dikenal dengan 10 Bali Baru.

10 destinasi pariwisata prioritas itu misalnya Danau Toba, Tanjung Kelayang, Tanjung Lesung, Kepulauan Seribu, Bromo, dan lainnya.

“Jikalau ada daerah-daerah tertentu yang memang menonjol dari sisi pelayanan kesehatannya, silakan saja menjadi bagian yang memperkaya layanan di destinasi itu,” ujar Taufan.

Taufan juga menambahkan bahwa daya tarik wisata Indonesia, hampir 45 persennya datang dari sisi alam (nature).

“Wisatawan datang ke Indonesia itu pertama dikarenakan alasan alamnya. Kedua bicara budayanya. Nah sisanya itu lain-lain ada MICE, bisnis seperti itu,” jelas Taufan.  MICE adalah Meeting Incentives Conferences Exhibitions.

Indonesien Bali Pura Sad Kahyangan Lempuyang Luhur | Tourist aus Deutschland
Pura Sad Kahyangan Lempuyang Luhur, di Karangasem, BaliFoto: picture-alliance/NurPhoto/D. Roszandi

Pria yang juga pernah menjadi anggota tim percepatan 10 destinasi pariwisata prioritas Kemenpar ini juga menambahkan bahwa bila dibandingkan dengan Malaysia dan Singapura, fasilitas kesehatan Indonesia masih kalah. Oleh karenanya, Taufan menilai wisata medis perlu pengkajian khusus.

“Tentu kalau bicara pariwisata, selain amenitas, bicara juga soal SDM-nya. Ada enggak standar sertifikasi kita yang benar-benar menjadi jaminan? Karena bicara kesehatan, bicara tentang keselamatan jiwa. Jangan sampai nanti kita ini tidak punya standar sertifikasi yang jelas terhadap para pelaku, para expert di bidang kesehatan kita, sehingga menyebabkan mereka yang datang itu terjadi hal-hal yang tidak diinginkan,” jelas Taufan kepada DW Indonesia.

Taufan mengatakan banyak negara yang berhasil memperkenalkan ciri khas negaranya dan terbukti menarik wisatawan. Contohnya, Brasil yang sukses menjadi destinasi favorit baru ketika berbicara tentang bedah plastik. 

“Itu nomor satu di dunia misalnya. Ini hal-hal yang perlu dikaji lagi, jangan ikut-ikutan menciptakan sebuah layanan wisata tapi kita tidak melihat dari segala aspek,” terangnya.

Lantas dengan wacana wisata medis yang mengedepankan budaya lokal Indonesia, Taufan menilai hal itu menjadi strategi keunikan Indonesia. Semakin asli dan otentik, maka akan memberi daya tarik tersendiri untuk Indonesia. Namun yang perlu diingat adalah bagaimana mengkaji seluruh aspek pendukungnya.

“Lalu, lihat lagi ketika di destinasi itu memang sudah ada potensi untuk berikan layanan kesehatan, lihat lagi bagaimana akses ke sana? Bagaimana travel agent, pelaku industri pariwisata, aware terhadap paket-paket ini. Mau atau tidak menjual? Lalu lihat lagi, bagaimana guarantee yang bisa diberikan kepada wisatawan yang mendapatkan layanan health service di destinasi itu,” imbuhnya.

Jadi, Taufan meminta sebelum diluncurkan, sebaiknya pemerintah benar-benar memetakan kekuatan wisata Indonesia terlebih dahulu.

“Saya prefer, Menteri Kesehatan itu berpikirnya seperti ini, destinasi prioritas ada berapa rumah sakit berstandar internasional yang ada di destinasi prioritas? Kedua, ada berapa dokter yang memang tersertifikasi mampu untuk melayani wisatawan luar negeri misalnya, yang kebetulan jatuh sakit di sebuah destinasi,” terangnya.

Ketiga, ia menambahkan bagaimana pemerintah meyakinkan wisawatan agar cepat mendapat pertolongan pertama saat kecelakaan. 

Serius optimalkan wisata medis

Konsep wisata kesehatan hasil kolaborasi Kemenparekraf dan Kemenkes sejatinya telah dikembangkan sejak tahun 2017.

Menurut perusahaan riset Reportlinker, yang berbasis di Lyon, Prancis, pemerintah Indonesia menargetkan wisata kesehatan mampu mendatangkan keuntungan sekiar 143 miliar rupiah pada tahun 2025 mendatang. Harapannya wisata kesehatan dapat menyumbang devisa lebih banyak dibandingkan jenis wisata lainnya.

Menparekraf, Wishnutama Kusubandio mengakui setiap negara punya strategi pariwisatanya masing-masing. Indonesia punya budaya yang beragam yang bisa menjadi keunikan tersendiri untuk mengembangkan sektor pariwisata.

“Karena ini suatu hal yang baru, kita harus melihat dan mempelajari yang ada sebelumnya, berapa potensi dan berapa yang kita bisa tingkatkan dan berapa yang kita bisa pelajari dari negara-negara yang lebih menerapkan strategi sama," ujar Wishnutama, seperti dilansir dari Kompas.

Kaya tanaman herbal

Selain kerokan, ada juga tanaman herbal purwaceng yang diyakini mampu meningkatkan kejantanan pria. Tanaman tradisional ini juga disebut-sebut akan menjadi promosi wisata kesehatan yang menarik pelancong, khususnya dari luar negeri.

Purwaceng adalah salah satu tanaman yang terkenal berasal dari Dieng. Selain untuk meningkatkan kejantanan pria, tanaman ini juga diklaim salah satu afrodisiak atau pembangkit gairah.

Selain itu ada jamu, yang dikenal sebagai ramuan herbal tradisional khas Indonesia secara turun temurun.

(pkp/ts)