1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Keputusan Disebut Cacat Hukum, PM Inggris Kembali ke London

25 September 2019

PM Inggris Boris Johnson yang sedang menghadiri KTT Iklim di New York bergegas kembali ke London, setelah Mahkamah Agung Inggris menyatakan langkahnya meliburkan parlemen "tidak sah secara hukum".

https://p.dw.com/p/3QDLT
Trum und Johnson Treffen am Rander der UN Vollversammlung 2019
Foto: Reuters/J. Ernst

Boris Johnson menikmati penampilannya di New York, karena terus mendapat pujian dari Presiden AS Donald Trump. Namun Perdana Menteri Inggris itu terpaksa mengakhiri tugasnya lebih cepat di markas PBB karena harus segera kembali ke London. Pasalnya di negerinya dia menghadapi persoalan besar yang mencoreng citranya sebagai politisi.

Mahkamah Agung Inggris hari Selasa (24/9) membuat putusan yang segera menghebohkan panggung politik negara itu. Ke-11 hakim di Mahkamah memutuskan bahwa langkah Boris Johnson meliburkan parlemen selama berminggu-minggu, hanya untuk memaksakan politiknya, adalah langkah yang "tidak sah secara hukum" dan oleh karena itu "tidak berarti sama sekali". Artinya, keputusan itu dianggap tidak ada.

Parlemen Inggris akan berkumpul lagi hari Rabu ini (25/9) di gedung parlemen dan kembali bersidang. Keputusan itu merupakan pukulan berat bagi Boris Johnson, yang sekarang bahkan dituduh telah berbohong kepada Ratu Elizabeth, ketika dia mengajukan permohonan untuk meliburkan parlemen, yang kemudian disetujui Ratu Inggris itu.

Supreme Court, London
Mahkamah Inggris Supreme Court di LondonFoto: picture-alliance/AP Photo/M. Dunham

Memerintah tanpa mayoritas

Boris Johnson bertekad membawa Inggris keluar dari Uni Eropa pada 31 Oktober dengan segala cara, kalau perlu tanpa kesepakatan dengan Uni Eropa. Tetapi rencana itu ditentang mayoritas anggota parlemen, yang kemudian memutuskan UU yang menetapkan "tidak ada Brexit tanpa kesepakatan dengan Uni Eropa". Untuk itu, Boris Johnson diminta mengajukan permohonan penangguhan ke Uni Eropa, agar batas waktu 31 Oktober diperpanjang lagi:

Karena tidak setuju dengan UU itu, Johnson memutuskan meliburkan parlemen selama lima minggu, dengan maksud melumpuhkan parlemen menjelang batas waktu 31 Oktober. Untuk itu, dia menghadap Ratu Inggris dan akhirnya mendapat persetujuan. Banyak kalangan di parlemen lalu menuduh Boris Johnson bersikap tidak demokratis, karena menggunakan cara-cara yang "licik".

Boris Johnson bahkan memecat sekitar 20-an anggota parlemen dari fraksi partainya sendiri, yang menentang politiknya, dan menuntut pemilihan umum baru. Di parlemen pemerintahannya sudah kehilangan mayoritas. Namun oposisi menentang pemilu baru sebelum proses Brexit selesai, karena khawatir Johnson akan menggunakan fakta-fakta bohong dan isu-isu populis yang membangkitkan kebencian soal Brexit.

Tapi langkah Boris Johnson tersebut, sekarang digagalkan Mahkamah Agung  yang menetapkan bahwa keputusan meliburkan parlemen "dianggap tidak ada" karena cacat hukum, dan parlemen berhak bekerja lagi seperti kalau "keputusan itu tidak pernah ada". Jadi parlemen Inggris akan mulai bersidang lagi hari Rabu siang (25/9).

Kelanjutan Brexit belum jelas

Masih belum jelas bagaimana kelanjutan krisis politik di Inggris dan proses Brexit. PM Boris Johnson juga menolak seruan agar dia mengundurkan diri. Sedangkan pihak oposisi terbesar, Partai Buruh, juga terpecah soal Brexit. Hingga kini, Partai Buruh menolak mengajukan mosi tidak percaya terhadap Boris Johnson, karena itu berarti harus segera melaksanakan pemilu baru.

Boris Johnson berulang kali mengatakan, dia akan mencoba mencapai kesepakatan dengan Uni Eropa sampai batas waktu 31 Oktober. Namun banyak pengamat meragukan keseriusannya. Dia dianggap hanya berusaha mengulur-ulur waktu, sehingga batas waktu 31 Oktober lewat dan Inggris berpisah dari Uni Eropa tanpa kesepakatan, seperti yang dia inginkan.

Para negosiator Uni Eropa menyatakan, hingga kini pemerintahan Boris Johnson belum mengajukan usul apa-apa. Perbedaan pandangan terbesar antara Inggris dan Uni Eropa adalah soal perbatasan antara Irlandia, yang anggota Uni Eropa, dan Irlandia Utara, yang merupakan bagian dari Inggris.

Pada masa pemerintahan PM sebelumnya, Theresa May, masalah itu sudah diatur adalam Kesepakatan Brexit. Namun kesepakatan tersebut tidak mendapat dukungan mayoritas di parlemen, sehingga akhirnya Theresa May mengundurkan diri dan digantikan oleh Boris Johnson.

Sebelum penangguhan, parlemen telah mengesahkan undang-undang yang mengharuskan Johnson untuk meminta Uni Eropa untuk mengundurkan kembali batas waktu 31 Oktober, jika tidak ada kesepakatan Brexit yang disetujui pada 19 Oktober. Ditanya oleh wartawan pada hari Selasa bagaimana ia berencana untuk mengatasi hambatan itu, Johnson mengabaikan pertanyaan dan bersikeras Brexit akan berlangsung pada 31 Oktober, apa pun yang terjadi. hp/as (rtr, afp, ap)