1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Kenapa Ulama Islam Serukan Boikot Haji?

5 Juli 2019

Sejak tahun lalu sejumlah ulama Islam mengimbau kaum muslim agar memboikot Haji, terutama untuk yang sudah melakukannya. Berbeda dengan seruan sebelumnya, fatwa kali ini lebih bernuansa politik. Apa pasal?

https://p.dw.com/p/3LcaF
Saudi-Arabien Hadsch in Mekka
Foto: picture-alliance/AP Photo/D. Yasin

Saban tahun dua juta kaum muslim berbondong-bondong menyambangi Mekkah dan Madinah buat menunaikan ibadah Haji. Namun eskalasi konflik di semenanjung Arab dan tindak-tanduk penguasa baru Riyadh mendorong sebagian ulama menerbitkan fatwa boikot terhadap Arab Saudi.

Seruan itu kembali menggema April silam saat Mufti Besar Libya, Sadiq al-Ghariani, mengatakan kaum muslim yang menunaikan ibadah haji untuk kedua kalinya akan cendrung "mendapat dosa ketimbang pahala."

Baca juga: Pembunuhan Jamal Khashoggi: PBB Temukan Indikasi Kuat Keterlibatan Putra Mahkota MBS

Penyebabnya adalah operasi militer yang dibiayai Arab Saudi di Yaman, Libya, Sudan, Tunisia dan Aljazair. Menurutnya mereka yang berhaji untuk kesekian kali justru membantu "Arab Saudi melakukan tindak kejahatan terhadap saudara muslim yang lain," katanya seperti dilansir Al-Araby.

Saat ini keuntungan dari Haji mencakup 20% dari semua pemasukan Arab Saudi yang bukan berasal dari sektor minyak dan gas. Sejak era Raja Salman bin Abdulaziz al-Saud, pemerintah Riyadh berniat mereformasi struktur ekonomi dengan lebih banyak mengandalkan sektor non-migas.

Namun tindak tanduk putra mahkota Arab Saudi, Mohammed bin Salman, memicu ragam kontroversi, mulai dari perang di Yaman yang banyak menyisakan korban jiwa di kalangan penduduk sipil dan pembunuhan berencana terhadap wartawan AS, Jammal Khashoggi.

Di tahun keempat perang di Yaman sejauh ini telah menimbulkan hampir 70.000 korban jiwa dan 14 juta penduduk terancam wabah kelaparan, menurut organisasi HAM Human Rights Watch. Tingginya angka korban jiwa disebabkan oleh serangan udara aliansi militer pimpinan Arab Saudi yang seringkali menimpa warga sipil.

PBB memperkirakan, jika berlanjut maka perang di Yaman berpotensi menyebabkan 230.000 kematian pada 2020, dengan rincian 102.000 tewas dalam pertempuran, sementara 130.000 meninggal dunia akibat dampak tak langsung berupa kelaparan dan penyakit.

Hal ini pula yang menggerakkan Majelis Ulama Tunisia mendesak Mufti Besar Othman Battikh agar mengeluarkan fatwa boikot Haji. Kepada harian al-Bawaba, ulama senior Tunisia Fadhel Ashour tahun lalu mengatakan uang yang diterima Arab Saudi selama musim haji "tidak digunakan untuk membantu fakir miskin di dunia."

"Melainkan digunakan untuk membunuh dan mengusir penduduk di Yaman."

Ancaman boikot dari Tunisia sedemikian nyata, sampai-sampai Menteri Urusan Islam, Dakwah dan Fatwa Arab Saudi, Syeikh Abdullatif al-Syeikh mengundang Battikh untuk membahas hubungan kedua negara di Jeddah, awal Juli lalu. Dalam pertemuan itu keduanya menegaskan kedekatan Tunisia dan Arab Saudi, serta peran Riyadh dalam menyebarkan ideologi damai ke seluruh dunia Islam.

Baca juga:Organisasi HAM: Hampir Semua Anak Terancam Perang di Yaman 

Berbeda dengan seruan boikot Haji sebelumnya yang kebanyakan digerakkan oleh perpecahan ideologi antara Syiah dan Sunni, kali ini fatwa anti-Haji lebih banyak bersinggungan dengan kondisi politik di Timur Tengah yang memanas sejak suksesi monarki di Riyadh.

Ketika Arab Saudi memboikot Qatar 2017 lalu, salah satu ulama Ikhwanul Muslimin yang kini menetap di Doha, Yusuf Qaradawi, menulis bahwa "muslim yang memberi makan fakir miskin, merawat kaum yang sakit dan memberikan rumah bagi tuna wisma lebih disukai Allah ketimbang mereka yang menghabiskan uang untuk Haji dan Umrah setiap tahun."

"Allah tidak membutuhkan Haji," imbuhnya kepada Al-Arabiya. Pernyataan Qaradawi diberikan saat Arab Saudi dituduh melarang jemaah Haji asal Qatar memasuki Mekkah dan Madinah.

rzn/ap (alArabiya, alAraby, alBawaba, Foreign Policy)