1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Kenapa Pemerintah Pusat Harus Angkat Kaki dari Jakarta

31 Agustus 2019

Tahukah Anda, sejak zaman kolonial Belanda, Jakarta—dulu Batavia—sebagai pusat pemerintahan sudah akan dipindahkan. Simak opini Zaky Yamani.

https://p.dw.com/p/3Okfk
Bildergalerie Tourismus in Indonesien Monas
Foto: A. Berry/AFP/Getty Images

Pada 1920-an, Bandung jadi pilihannya. Karenanya, di era itu Bandung mengalami perkembangan pesat dalam hal pertumbuhan bangunan-bangunan besar, perumahan-perumahan, dan pusat-pusat militer, demi kepentingan itu. Namun hal itu tak jadi terwujud, salah satunya karena perkembangan politik global yang berujung pada Perang Dunia II, di mana Jepang melakukan invasi besar-besaran di wilayah Asia Timur dan Tenggara, termasuk Hindia Belanda.

Lalu pada 1950-an, Presiden Soekarno juga sudah mencanangkan pemindahan ibu kota ke Palangkaraya. Dan sekali lagi rencana itu tak pernah terwujud, karena berbagai alasan.

Pertanyaannya, kenapa dari sejak zaman penjajahan sampai Indonesia merdeka, wacana memindahkan ibu kota dari Jakarta ke tempat lain tidak pernah mati, padahal saat wacana itu bergulir, Jakarta belum sepadat dan serumithari ini?

Ibu kota baru
Penulis: Zaky YamaniFoto: DW/A.Purwaningsih

Jawabannya, tentu bukan saja karena Jakarta terlalu padat

Tapi karena Jakarta secara alamiah mewujud jadi tempat bisnis dan perdagangan, dan demi "kesehatan” pemerintahan, pusat pemerintahan harus mengambil jarak secara geografis dari para pebisnis.

Pebisnis dan pemerintah pusat yang berada di ruang yang sama, akan melahirkan lobi-lobi dan intervensi yang tidak sehat bagi kedua belah pihak. Lobi dan intervensi yang tidak sehat itulah yang kita sebut sebagai korupsi—di mana pebisnis meminta dilancarkan urusan bisnisnya dengan memangkas semua aturan hukum yang ada, dan pejabat atau politisi yang memberikan kemudahan akan mendapatkan banyak uang dan akses.

Apa akibat dari semua itu? Banyak kekacauan, seperti yang kita lihat di Jakarta hari ini. Pembangunan Jakarta yang seperti itu, tidak mungkin terjadi tanpa intervensi dan lobi tak sehat antara pebisnis dan orang-orang di pemerintah (pusat, sebagai penguasa nyata Jakarta). Pasti banyak aturan yang dilanggar demi kelancaran bisnis, dan potretnya bisa kita lihat dari berapa banyak pejabat pemerintah pusat dan pengusaha yang ditangkap karena kasus-kasus korupsi. Begitu kacaunya, sampai-sampai muncul ide nyeleneh di beberapa orang: demi kebaikan seluruh rakyatIndonesia lebih baik kita memerdekakan Jakarta dari Indonesia.

Lalu apakah jika pemerintah pusat angkat kaki dari Jakarta, keribetan Jakarta akan selesai?

Tentu tidak serta merta. Tapi setidaknya pemerintah daerah Jakarta akan lebih leluasa dalam menata wilayahnya sendiri, tanpa campur tangan orang-orang pusat.

Saya membaca banyak kekhawatiran tentang pemindahan ibu kota, dilihat dari semua aspek: politik, ekonomi, dan lingkungan hidup. Banyak kekhawatiran pemindahan ibu kota ke Kalimantan Timur malah akan membuat wilayah itu rusak secara sosial, ekonomi, budaya, dan lingkungan hidup. Saya pikir memang akan begitu, jika pemerintah pusat tidak menegaskan, bahwa yang pindah adalah pusat pemerintahan, bukan pusat bisnis, perdagangan, jasa, dan semua aspek bisnis lainnya.

Di sini pentingnya penegasan dan sosialisasi, bahwa pemindahan ibu kota, jangan sampai diiringi dengan pemindahan pusat bisnis. Jika yang dipindahkan semata pusat pemerintahan, dampak sosial, budaya dan lingkungan hidup tidak akan terlalu besar. Karena di mana pun di planet ini, yang membuat rusak manusia dan alam adalah bisnis yang tak terkontrol—seperti Jakarta saat ini.

Jarak secara fisik antara bisnis dan pemerintahan, tentu tidak akan menghilangkan begitu saja lobi dan intervensi tak sehat antara pebisnis dan orang-orang pemerintah pusat—terima kasih pada kecanggihan teknologi komunikasi dan informasi. Tapi setidaknya, hal itu jadi lebih sulit dilakukan, karena bagaimana pun pertemuan fisik tetap penting dalam lobi apa pun. Jarak geografis membuat pertemuan fisik lebih sulit dilakukan.

Untuk mendukung hal itu, harus ada yang mengawasi pemerintah pusat, salah satunya adalah pers. Perusahaan-perusahaan media wajib memiliki kantor perwakilan di ibu kota baru, untuk terus memantau kekuasaan. Begitu pula organisasi-organisasi masyarakat sipil juga wajib memiliki kantor perwakilan di ibu kota baru, sebagai pemantau dan penekan jika pemerintahan melenceng dari aturan.

Jadi awal baru

Saya pikir, pemindahan itu bisa jadi awal baru yang segar dalam hal kekuasaan dan pengawasan atas kekuasaan.

Dengan pemindahan itu pula, pemerintah pusat bisa lebih fokus dengan urusan dan kewenangannya seperti diatur dalam UU No. 32 tahun 2004: mengatur jalannya politik luar negeri, mengatur urusan moneter dan fiskal nasional, mengatur urusan pertahanan dan keamanan nasional, mengatur urusan kehakiman, dan menjamin kebebasan beragama demi menjaga kemajemukan Indonesia. Pada poin terakhir itu, Indonesia memang membutuhkan ibu kota yang letaknya berada di tengah sebagai simbol keberpihakan pemerintah pusat kepada semua pihak di barat, tengah, dan timur Indonesia. Karena, diakui atau tidak, sejak zaman kolonial sampai hari ini Indonesia terlalu lama melihat ke arah barat.

Lalu bagaimana dengan Jakarta setelah pemerintah pusat angkat kaki? Saya yakin Jakarta akan baik-baik saja, dan pemerintah daerahnya akan punya keleluasaan lebih dalam menata kembali kota itu agar lebih baik. Gedung-gedung bekas kantor pemerintah pusat bisa dialihfungsikan jadi tempat-tempat aktivitas kebudayaan, dan mungkin juga bisa jadi tempat bisnis. Populasi Jakarta pun mungkin bisa lebih terkontrol karena segala sesuatu tak harus diselesaikan di kota itu.

Zaky Yamani

Jurnalis dan novelis

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis

*Bagi komentar Anda dalam kolom di bawah ini.