1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Kemerdekaan Indonesia: Untuk Siapa?

Soe Tjen Marching17 Agustus 2015

Indonesia jadi sorotan, antara lain soal Genosida 1965. Penyebab "huru-hara" ini: Joshua Oppenheimer dengan filmnya The Act of Killing. Oleh: Soe Tjen Marching.

https://p.dw.com/p/1GFPh
Unruhen in Indonesien 1965
Foto: Carol Goldstein/Keystone/Getty Images

Menjelang 70 tahun Indonesia merdeka, Indonesia makin ramai diperbincangkan dunia. Salah satu tema yang paling santer saat ini: Genosida 1965. Dan siapa penyebab huru-hara ini? Siapa lagi bila bukan sutradara yang telah menyabet berbagai penghargaan internasional, Joshua Oppenheimer. Film pertamanya, Jagal (The Act of Killing), telah membuat dunia terperangah: sebegitukah manusia Indonesia?

Dalam film itu, kita bisa bertemu Anwar Congo, seorang pahlawan nasional yang telah membunuh ribuan orang dengan berbagai cara, termasuk menyiksa mereka secara perlahan-lahan dengan cara mengerikan, menggorok leher atau mencekik mangsanya.

Dalam film itu juga, kita bisa menyaksikan para pembunuh massal begitu membanggakan kekejian mereka membunuh dan menyiksa orang-orang yang dituduh komunis. Salah seorang dari mereka bahkan berkata dengan santainya tentang pemerkosaannya terhadap perempuan-perempuan muda: “Yang enak itu yang umurnya 14 dan 15 tahun. Masih ranum!”

Soe Tjen Marching
Soe Tjen MarchingFoto: Soe Tjen Marching

Apa yang bisa menjelaskan sikap yang “menjijikkan” seperti ini? Para jagal ini mengatakan bahwa mereka melakukannya untuk membela Negara. Jadi, mereka yakin bahwa kebrutalan mereka telah “diijinkan”.

Dukungan pemerintah baik secara formal ataupun diam-diam memang dapat membenarkan tindakan ekstrim dan bahkan kejam. Inilah yang sering membuat banyak orang lain menutup mata juga.

Percobaan Milgram yang dilakukan di Universitas Yale pada awal tahun 1960, menunjukkan berapa banyak orang yang bersedia untuk melukai dan membahayakan orang lain, jika hal ini diridoi oleh otoritas. Sebagian besar orang bersedia untuk melakukan tindakan tidak manusiawi, hanya karena mereka merasa bahwa mereka bisa lolos dari perbuatan tersebut, terutama jika dikombinasikan dengan janji akan imbalan.

Hukum dapat menjadi tempat yang aman untuk bersembunyi dari tanggung jawab atas kejahatan terbesar di dunia. Ini bukan sesuatu yang baru dalam sejarah dan perayaan kekejaman bukanlah karakter unik orang di Indonesia saja. Bagaimana dengan arogansi pemerintah kolonial Belanda yang membual akan penaklukan mereka atas Nusantara?

Bagaimana dengan pembantaian suku Aborigin di Australia - sekitar 20.000 dari mereka dibunuh di abad ke-18 dan ke-19. Penghabisan brutal orang kulit hitam sampai awal abad ke-20 sempat menjadi hiburan umum di berbagai tempat di Amerika Serikat. Pada 27 Februari 1901, misalnya, koran Chicago Record menggambarkan bagaimana anak-anak mengumpulkan oleh-oleh kecil dari pembantaian dari "Negro" di Terre Haute, Indiana. Jari-jari kaki korban dipotong untuk dibawa pulang. Dengan persetujuan dari mereka yang berkuasa, semua jenis tindakan brutal dapat diubah menjadi sesuatu yang tidak bersalah, bahkan menjadi bagian dari permainan anak-anak.

Demokrasi adalah sistem yang mengutamakan kedaulatan rakyat. Namun, sebagian besar warganegara di dunia masih memerlukan anggukan dari yang berwenang dalam bertindak atau mengambil keputusan. Oleh karena itu, jangan pernah mengabaikan peran dan tanggung jawab pemerintah serta para pejabat dalam menerapkan kemanusiaan.

Sayangnya, sejauh ini, kebanyakan pejabat tinggi Indonesia dan aparat keamanannya tidak bergeming dalam menghadapi berbagai pembunuhan massal di Negeri ini, termasuk genosida di Aceh, Papua, Timor Leste dan yang terjadi pada 1965.

Sekarang, mari kita bandingkan dengan kasus lain yang juga sempat menjadi berita menghebohkan pada saat yang hampir bersamaan dengan peluncuran film pertama Oppenheimer. Pada tahun 2013, seorang lelaki dari Sleman, Danang Sulistyo, berkoar di Facebook tentang “act of killing” (tindakan pembunuhan) yang dilakukannya. Hal ini segera menimbulkan protes keras dari para netizen. Bahkan lelaki ini sempat di-bully beberapa orang.

Pada awal Maret 2014, dia dilaporkan ke polisi dan yang berwajib segera mengusut kasus ini serta menyatakan bahwa memang hukum telah dilanggar. Apa yang dilakukan oleh “jagal” dari Sleman ini, sehingga begitu banyak orang mencacinya? Ia telah menjagal sembilan ekor kucing!

Lalu, bagaimana masyarakat Indonesia bereaksi begitu berbeda, bila para jagal menggembar-gemborkan tentang pembunuhan terhadap manusia? Mengapa aparat tidak melakukan investigasi sama sekali?

Yang lebih mengecewakan, masih banyak manusia Indonesia yang tidak peduli dengan pelurusan sejarah, bahkan ketika sadar bahwa mereka telah dicuci otak dengan sejarah yang diselewengkan. Namun, Adi Rukun, yang kakaknya dibunuh dengan sadis pada akhir tahun 1965, dengan beraninya menghadapi orang-orang yang terlibat dalam pembunuhan tersebut.

Dia sama sekali tidak mempunyai maksud membalas dendam, tapi hanya ingin mencari kebenaran tentang apa yang terjadi pada akhir tahun 1965 itu, serta mendapat pengakuan dari para pembunuh massal tersebut bahwa apa yang diperbuat mereka adalah salah. Tapi, tak satupun para pembunuh ini mengakui kesalahan mereka, jadi jangan impikan mereka akan minta maaf. Di depan Adi, mereka justru membanggakan diri sebagai manusia berjasa.

Dan sebelum film Senyap (The Look of Silence) beredar, Adi Rukun berserta keluarganya harus pindah dari rumahnya di Medan, karena kekuatiran bahwa nyawanya terancam. Sekarang, dia harus bersembunyi. Adi telah sadar akan risiko ini, sejak ia terlibat dalam pembuatan film tersebut. Tapi ia tetap melanjutkannya, karena dia ingin mengetahui apa yang sebenarnya terjadi ketika itu dan mengungkap kebenaran ini kepada dunia.

Namun, pihak aparat tak berbuat apapun untuk menjaga keselamatan Adi, sedangkan para jagal masih bebas berkeliaran. Baru-baru ini, Temu Nasional Korban '65, yang rencananya diadakan pada pertengahan Agustus, dibatalkan, karena panitia mendapat ancaman pembunuhan. Apa yang dilakukan oleh aparat oleh penindasan-penindasan seperti ini?

Pembukaan UUD 1945 menyatakan: "Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan."

Bukankah perjuangan Kemerdekaan bangsa kita sebenarnya dilandaskan pada keyakinan bahwa manusia mempunyai hak yang sama? Karena itulah, penindasan dalam bentuk apapun harus dilawan? Lalu, apa artinya perayaan Kemerdekaan, bila korban dari berbagai kekerasan massa masih ditindas? Bukankah ini justru mengingkari sumpah dari UUD 1945 itu sendiri?

Dalam artikelnya "Als Ik Eens Nederlander Was" ("Seandainya Saya Seorang Belanda"), Ki Hajar Dewantara mengecam rencana pemerintah kolonial Belanda untuk merayakan Kemerdekaan mereka dari Perancis. Perayaan itu rencananya akan diadakan dengan gegap gempita di beberapa daerah jajahan mereka, termasuk di Jawa.

Demikian Ki Hajar Dewantara menulis: “Seandainya saya seorang Belanda, saya tidak akan merayakan Kemerdekaan di sebuah Negara yang kemerdekaan rakyatnya telah dirampas.”

Sekarang, ijinkan saya berkata: seandainya saya adalah Anda, saya tidak akan merayakan Kemerdekaan di sebuah Negara, tanpa mengakui bahwa kemerdekaan dari jutaan warganegaranya telah dirampas.

(Versi bahasa Inggris artikel ini telah dimuat di The Jakarta Globe).

*Soe Tjen Marching, saat ini sedang menulis tentang memoir para korban 1965 dan keluarganya. Ikuti twitternya di @soetjenmarching.