1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sosial

Kementerian Agama Harusnya Dihapus Saja

Nadya Karima Melati
3 Agustus 2019

Apakah kementerian agama hanya mengurusi agama Islam? Bukankah salah satu mandat mereka adalah kerukunan umat beragama? Lalu mengapa perpecahan berlandaskan agama terus terjadi? Simak opini Nadya Karima Melati.

https://p.dw.com/p/3Lkme
Halbmond auf dem Minarett einer Moschee
Foto: picture-alliance/dpa/B. Roessler

Sinta sudah sebulan sibuk sekali bolak-balik ke Kantor Urusan Agama (KUA) di sebuah kelurahan di Jawa Barat. Sinta hendak menikah dengan pria Katolik asal Jerman dan membutuhkan surat keterangan belum pernah menikah dari KUA setempat. Namun surat tersebut urung diberikan, walau Sinta sudah dua-tiga kali pergi ke sana. Hanya ceramah panjang bertele-tele "tidak baik menikah berbeda agama dan seumur hidup adalah zina jika menikah beda agama", kata kepala kantor yang berpeci dan menggunakan baju koko.

Sinta tidak sendirian, ada Randy dari Medan yang juga kesulitan mendapat surat keterangan lajang dari KUA untuk menikahi pacarnya yang beda agama. KUA adalah lembaga diskriminatif, karena walaupun namanya kantor urusan agama, toh yang diurusi hanya agama Islam. Bagi lima agama lain seperti Katolik, Protestan, Hindu, Buddha dan Konghucu semua tumpah ruah ke kantor catatan sipil. Bagaimana dengan penghayat kepercayaan? Mereka sama sekali tidak diberikan ruang untuk administrasi kepercayaannya. KUA berada di bawah mandat kementerian agama, begitu juga pelaksanaan haji dan pendidikan Islami.

Kementerian agama yang berisi hanya agama Islam dan yang lain cuma sebagai pelengkap cuma ada di negara Indonesia dan tidak ada di negara lainnya. Kementerian ini lebih sering menjadi penghambat birokrasi daripada memberikan layanan. Banyak pelayanan yang harusnya diberikan kementerian ini sudah dilakukan oleh lembaga agama lain non-negara mulai dari pencetak pendakwah sampai mengurus keluarga sakinah.

Indonesien, Nadya Karima Melati, Bloggerin
Penulis: Nadya Karima Melati.Foto: Nadya Karima Melati

Lembaga suci gemar Korupsi

Bukan rahasia umum bahwa kementerian agama dan kementerian pemuda dan olahraga adalah lembaga paling banyak tingkat korupsinya. Dua kementerian ini perlu dibanding sebab walaupun sama-sama korup, kementerian agama jauh lebih banyak makan anggaran.

Bayangkan, pada rancangan APBN 2019, Kementerian ini mendapat jatah belanja terbesar ke-empat setelah kementerian pertahanan, pekerjaan umum dan Polri. Uang belanja sebanyak  63 triliun dalam RAPBN 2019 digelontorkan, tahun sebelumnya, 2018, kementerian ini menerima Rp 62,2 triliun.

Tentu semua APBN dihasilkan dari uang pajak rakyat dan rakyat tidak semua beragama Islam, untuk apa uang sebanyak itu? Padahal biaya haji dan umroh juga ditabung sendiri oleh para calon jamaah?

Belum lagi kasus korupsi kementerian yang tidak pernah absen setiap tahunnya. Setidaknya beberapa kasus korupsi besar selalu melibatkan kementerian ini mulai dari jual beli jabatan hingga korupsi kitab suci!

Pada tahun 2006, Said Agil Husein Al Munawar, Menteri Agama era Megawati terjerat kasus korupsi penyalahgunaan dana abadi dan Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH)  sebesar 719 miliar rupiah.

Pada tahun 2011-2012 terjadi kasus korupsi pengadaan Al-Quran dan perlengkapan laboratorium Madrasah yang menjerat dua anggota DPR Fahd A.Raqif dan Zulkarnaen Djabar serta petugas Kemenag sendiri, Ahmad Jauhari, yang telah merugikan negara sekitar 27 miliar rupiah.

Masih membekas pula kasus korupsi besar menteri agama Suryadharma Ali terkait dana operasional menteri dan lagi-lagi, BPIH. Terakhir yang paling hangat adalah kasus jual beli jabatan tahun 2019 yang diduga melibatkan menteri agama, Lukman Hakim Syaifuddin dalam operasi tangkap tangan KPK.

Selain hobi korupsi, kementerian agama juga tidak berpengaruh banyak dalam mewujudkan persatuan dan kerukunan umat beragama di Indonesia. Selama lembaga ini masih berdiri, maka pengakuan hak minoritas akan sulit diwujudkan, karena lembaga ini memberi makan ego mayoritas yang selalu ingin dilayani.

Walaupun namanya kementerian agama, toh isinya kebanyakan hanya mengurusi agama Islam, agama Islam yang diurusi juga sangat sempit, hanya Islam Sunni yang diakomodasi oleh dua organisasi masyarakat besar: NU dan Muhamadiyah dan organisasi lain sisanya.

Sementara tugas-tugas pelayanan yang harusnya dilakukan oleh kementerian ini seperti mencetak pendakwah, memberi pendidikan Islam, mengajarkan kerukunan antar-amat beragama sudah diambil alih oleh lembaga lain seperti NU, Muhammadiyah, Persis, dan Salafi/Wahabbi. Kementerian ini hanya sekadar bekerja sama dengan kerja-kerja yang sudah ada, dengan anggaran besar yang rentan dikorupsi.

Berlomba-lomba jadi Kementerian Agama

Ke mana kementerian agama ketika isu rasisme dan diskriminatif pemilihan gubernur Jakarta 2016 lalu? Bukankah salah satu mandat mereka adalah kerukunan umat beragama? Lalu mengapa perpecahan dan stigma berlandaskan suku dan agama terus terjadi?

Kenapa mereka hendak menerbitkan kartu nikah hanya untuk orang muslim padahal penghayat kepercayaan sudah bertahun-tahun berjuang supaya pernikahan mereka diakui oleh negara? Kenapa kementerian agama lebih sering hilang ketika kita membutuhkan untuk melakukan kerja-kerja yang harusnya mereka lakukan?

Ada banyak yang harus kita tanyakan dan kritik dari lembaga agama yang dibiayai pajak negara, tapi urung kita lakukan karena hasil ego mayoritas agama Islam yang dipupuk selama ini telah melindungi mereka dari serangan kritik.

Kini, agama Islam semakin di atas angin dan semena-mena karena arus Islam reaksioner merambah menyusupi lembaga negara lain. Di tahun 2018 saja Badan Intelijen Negara mengakui bahwa setidaknya 41 masjid di kementerian, lembaga negara dan BUMN telah terpapar paham radikalisme. Radikalisme kemudian hanya mengurangi sedikit tensinya menjadi Islam reaksioner. Beberapa lembaga negara telah menunjukan pengaruh Islam reaksioner dalam kerja-kerjanya seperti Kementerian Ristek dan Perguruan Tinggi (Kemenristekdikti) dan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN).

Kemenristek ketika diminta pertanggungjawaban dalam kasus #NamaBaikKampus malah menyatakan bahwa kampus adalah "penggerak moral". Alih-alih mengurus riset dan kemampuan berpikir kritis, Kemenristekdikti mengambil tugas Kemenag untuk mengurusi moral. Begitu pula BKKBN yang sempat diprotes oleh warganet sebab akun instagramnya telah berubah menjadi akun dakwah Islam dan tidak melihat entitas agama lain sebagai bagian dari warga negara Indonesia yang membayar pajak untuk gaji mereka. Semua tugas-tugas kementerian agama sudah diambil alih oleh lembaga lain dan semua lembaga berlomba-lomba untuk menjadi kementerian agama.

Saya rasa sudah saatnya kementerian agama dihapuskan dan apabila Indonesia hendak menjadi negara yang melayani warganya, kementerian keagamaan tidak diperlukan karena: penuh korupsi sehingga membuat jurang diskriminasi semakin lebar, hanya melayani kaum mayoritas, dan di samping itu mereka tidak melakukan kebaruan teologi, rajin mengembangbiakkan ego kelompok Islam reaksioner dan menyebarkan arus Islam konservatif.

@Nadyazura adalah essais dan pengamat masalah sosial.

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.

*Bagaimana  komentar Anda atas opini di atas? Silakan tulis dalam kolom komentar di bawah ini.