1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Kesehatan

Kemenkes Atur Tarif Maksimal Rapid Test Rp 150 Ribu

Detik News
8 Juli 2020

Harga yang bervariasi menjadi dasar Kementerian Kesehatan RI mengatur tarif maksimal pelayanan rapid test mandiri menjadi Rp 150 ribu. Namun, waketum IDi peringatkan RS akan kesulitan menutupi biaya komponen lainnya.

https://p.dw.com/p/3ewFk
Pemeriksanaan tes cepat di Jakarta
Foto: picture-alliance/Photoshot/V. Sanovri

Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dalam Surat Edaran Kementerian Kesehatan RI nomor HK.02.02/I/2875/2020 mengatur tarif maksimal layanan rapid test atau tes cepat menjadi Rp 150.000. Hal ini disebut untuk mempermudah masyarakat yang membutuhkan.

"Harga yang bervariasi untuk pemeriksaan rapid test menimbulkan kebingungan di masyarakat. Untuk itu diperlukan peran serta pemerintah dalam masalah pemeriksaan rapid test antibodi agar masyarakat tidak merasa dimanfaatkan untuk mencari keuntungan," tulis surat edaran yang diterima detikcom dan ditulis pada Rabu (08/07).

Wakil Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI), dr. Slamet Budiarto, berkomentar bahwa harga Rp 150.000 tidak cukup untuk menutup seluruh beban biaya pelayanan. Alasannya karena harga tersebut impas dengan harga alat rapid test, sementara masih ada komponen lain dalam pelayanan, seperti bahan habis pakai atau alat kesehatan, alat pelindung diri (APD), hingga jasa medis.

Ini artinya bila Kemenkes menetapkan tarif maksimal rapid test Rp 150.000, fasilitas kesehatan seperti pihak rumah sakit (RS) yang harus menutupi kekurangan biaya untuk komponen lainnya. Hal ini disebut Slamet berpotensi mengacaukan pelayanan.

"Harusnya yang dilakukan oleh Kemenkes adalah mengatur harga maksimal (alat -red) rapid test-nya, bukan tarif pelayanan. Sekarang harga dasar rapid test Rp 150-200 ribu tergantung dari buatan mana. Ada buatan Cina, Eropa, Korea, Amerika," kata Slamet pada detikcom, Rabu (08/07).

"Ada sebagian kecil oknum RS yang membuat tarif mahal, tapi sebagian besar RS tarifnya rasional," lanjutnya.

Slamet menyebut sebaiknya rapid test memang tidak usah digunakan sebagai syarat wajib untuk misalnya bepergian dalam negeri, cukup surat keterangan sehat tidak memiliki gejala penyakit. Karena hal ini salah satu yang membuat rapid test kerap dituduh jadi dibisniskan.

Vaksin corona buatan RI diprediksi tersedia pertengahan tahun 2021

Sementara itu, anggota tim komunikasi Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19, dr. Reisa Broto Asmoro mengungkap vaksin corona buatan RI akan diproduksi massal dan diprediksi bakal tersedia pertengahan tahun 2021 mendatang.

"Ketua Konsorsium Riset dan Inovasi COVID-19 Kementerian Riset dan Teknologi Prof. Ali Gufron Mukti memprediksi vaksin lokal akan diproduksi massal dan akan tersedia bagi masyarakat Indonesia pertengahan 2021," tutur Reisa lewat siaran BNPB, Selasa (07/07).

Selain itu, Reisa juga menyebut terdapat kelompok rentan yang akan diprioritaskan pemberiannya jika riset vaksin corona rampung dilakukan.

Sejauh ini vaksin sudah melewati delapan dari 15 tahap yang dibutuhkan. Tiga institusi yang dipercaya untuk mengembangkan vaksin COVID-19 di Indonesia adalah Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, PT Bio Farma, dan PT Kalbe Farma.

"Kita patut optimis bahwa Indonesia dapat menghasilkan vaksin COVID-19 sendiri dalam waktu secepatnya. Dari 15 tahapan yang harus dipenuhi, saat ini calon vaksin asal Indonesia telah berhasil melalui delapan tahapan," kata Reisa. (Ed: rap/pkp)

 

Baca selengkapnya di: DetikNews

Kemenkes Atur Tarif Rapid Test Rp 150.000, IDI Ingatkan RS Bakal Nombok

Selangkah Lagi Indonesia Punya Vaksin Corona Sendiri