1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
KonflikAsia

Kematian Siswi Sekolah di Iran Picu Kemarahan Publik

Shabnam von Hein
20 Oktober 2022

Pasukan keamanan Iran kembali menggerebek sekolah-sekolah dan menargetkan para pelajar untuk mengakhiri protes massal anti-rezim yang bergejolak di negaranya.

https://p.dw.com/p/4IRMa
Protes Iran, aksi mengecam rezim pemerintah oleh para siswi sekolah di Iran
Para siswi berada di garis terdepan putaran terakhir atas protes anti-rezim yang mengancam IranFoto: SalamPix/abaca/picture alliance

Asra Panahi, 16 tahun, merupakan seorang siswi SMA dari kota Ardabil di barat laut Iran. Protes Iran yang semakin meluas dan semakin sengit itu, meledakkan amarah warga di kota tersebut, menyusul laporan bahwa remaja dari etnis minoritas Azeri itu ditemukan meninggal pada hari Jumat (14/10) setelah dia diduga tewas dipukuli oleh pasukan keamanan Iran.

Sedangkan pihak berwenang membantah laporan tersebut, dan mengatakan bahwa Panahi meninggal karena komplikasi jantung kronis dan pasukan keamanan Iran tidak pernah memukulnya.

Namun, kematian Panahi ini semakin memicu kemarahan publik, di mana protes warga juga masih memanas usai kematian Jina Mahsa Amini yang berusia 22 tahun, tewas setelah dia ditangkap oleh polisi moral Iran di Teheran karena dianggap melanggar aturan berpakaian ketat negara Republik Islam tersebut.

Akibatnya, negara Timur Tengah itu harus menghadapi protes massal anti-rezim di seluruh negeri dalam beberapa pekan terakhir.

Asra Panahi
Pihak berwenang Iran mengatakan Asra Panahi meninggal karena komplikasi jantung kronis dan polisi tidak memukulnyaFoto: iranpressnews.com

Tragedi kematian Panahi

Dilaporkan bahwa Panahi meninggal dunia setelah petugas keamanan Iran menggerebek SMA Khusus Perempuan Shahed di Ardabil pada 13 Oktober lalu dan memerintahkan sekelompok gadis itu untuk menyanyikan lagu pro-rezim yang memuji negara Republik Islam tersebut.

Ketika beberapa siswi itu menolak untuk berpartisipasi, mereka dipukuli dengan kejam, yang kemudian menyebabkan beberapa dari siswi-siswi itu harus dibawa ke rumah sakit. Salah satunya adalah Panahi. Hingga pada hari Jumat (14/10), Panahi dilaporkan telah meninggal dunia di rumah sakit akibat luka yang dideritanya usai insiden yang terjadi di sekolah, sehari sebelum kematiannya.

Meskipun akses ketat penggunaan internet masih diberlakukan di Iran, berita kematian Panahi itu menyebar dengan cepat melalui jaringan media sosial.

Kantor berita yang dekat dengan Korps Pengawal Revolusi Iran, seperti Tasnim, mengutip paman Panahi yang mengatakan bahwa siswi SMA itu meninggal karena komplikasi jantung.

Namun, tak lama kemudian sebuah tangkapan layar muncul di internet dan menunjukkan bahwa Panahi merupakan seorang atlet yang cukup kompetitif. Pada usia 12 tahun, Panahi berhasil menjadi juara ketiga dalam kompetisi renang regional di provinsinya. Sayangnya, informasi tersebut telah dihapus dari situs web federasi renang setelah berita kematian Panahi ini terkuak.

"Kenyataannya itu dia bunuh diri," kata Wali Kota Ardebil dikutip dari portal berita Entekhab. "Dia menelan pil, karena dia punya masalah keluarga."

Gadis-gadis sekolah menengah Iran bergabung dengan protes anti-pemerintah.
Setidaknya 23 anak di bawah umur telah terbunuh akibat penyalahgunaan kekuatan selama protes Iran berlangsungFoto: SalamPix/abaca/picture alliance

Tiga siswi lainnya juga tewas akibat dipukul polisi

Mantan pemain sepak bola nasional Ali Daei mengecam otoritas Iran melalui Instagram dan mengatakan: "Kalian tidak mengatakan yang sebenarnya." Banyak warga Iran juga berbagi pandangan yang sama dengannya. Daei sendiri ikut serta dalam bermain di Bundesliga Jerman untuk Arminia Bielefeld, Bayern München, dan Hertha Berlin, yang juga berasal dari Ardebil. "Saya tahu apa yang terjadi di kota saya," kata pria berusia 53 tahun itu.

Ini bukan pertama kalinya pihak berwenang Iran berusaha menyangkal tanggung jawab atas kematian siswi-siswi tersebut dalam beberapa minggu terakhir.

"Kami memiliki informasi yang menunjukkan bahwa setidaknya tiga siswi lagi tewas akibat pukulan keras di kepala mereka," jelas seorang pakar Iran di organisasi HAM Internasional Amnesty Raha Bahreini kepada tim DW.

Menurut pengawas hak asasi, setidaknya 23 anak di bawah umur telah terbunuh akibat penyalahgunaan kekuatan yang tidak sah selama protes Iran berlangsung antara 20 hingga 30 September lalu.

Di antara mereka yang tewas, 20 diantaranya merupakan anak laki-laki berusia antara 11 hingga 17 tahun dan tiga anak perempuan, salah satunya berusia 17 tahun dan dua lainnya berusia 16 tahun, tambah Bahreini.

"Sebagian besar anak laki-laki itu tewas karena pasukan keamanan menembak mereka secara tidak sah dengan peluru tajam dan sering kali dalam jarak yang begitu dekat. Tiga gadis lainnya, yakni Setareh Tajik, Sarina Esmailzadeh, dan Nika Shahkarami, semuanya menderita pukulan fatal di kepalanya."

Keluarga dari korban tindak kekerasan itu, bagaimanapun, telah diancam untuk mengatakan bahwa anak-anak mereka meninggal hanya karena sakit atau bunuh diri, kata Bahreini.

Ibu dari Nika Shahkarami membenarkan hal itu. Menurut pemerintah Iran, Shahkarami ditemukan tewas pada 21 September lalu, setelah jatuh dari atap sebuah gedung. Keluarganya secara terpaksa mengonfirmasi kematian Shahkarami di televisi milik pemerintah.

Namun, ibu korban,dalam sebuah video yang dia kirimkan ke media berbahasa Persia di luar negeri, menolak penjelasan resmi pemerintah Iran atas kematian putrinya itu dan mengatakan bahwa Shahkarami tewas dibunuh oleh pasukan keamanan Iran dalam sebuah protes.

"Pasukan keamanan Iran melakukan segala cara yang mereka bisa untuk membebaskan diri mereka sendiri," kata Nasrin, ibu kandung Shahkarami, dalam video tersebut.

Menentang rezim Islam

Para siswi-siswi di Iran ini telah berada di garis terdepan dalam aksi protes anti-rezim pemerintah Iran, yang kini mengancam dan menghadirkan tantangan besar bagi pendirian ulama Islam di negara itu.

Para pelajar di Iran telah mengorganisir beberapa aksi protes di sekolah-sekolah, bahkan membuat aksi melepas kerudung mereka dan meneriakkan slogan-slogan anti-rezim pemerintah. Banyak gambar dan video demonstrasi mereka yang akhirnya viral di internet.

Untuk menghentikan protes tersebut, pasukan keamanan Iran telah menggerebek banyak sekolah sejak beberapa pekan lalu. Pengelola sekolah juga sering melaporkan bahwa ‘petugas preman berpakaian' terus bermunculan secara tiba-tiba, memaksa masuk ke ruang kelas dan secara paksa menangkap siswi-siswi tersebut.

Dalam beberapa kasus, pasukan keamanan Iran juga sering menggunakan gas air mata di sekolah-sekolah. Dalam sebuah pernyataan yang dirilis pada hari Minggu (16/10), Persatuan Guru Iran mengutuk serangan "brutal dan tidak manusiawi" di sekolah-sekolah dan membenarkan berita penangkapan dan kematian para siswi-siswinya akibat tindak kekerasan.

(kp/ha)