1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Kelaparan Adalah Masalah Politik

31 Oktober 2011

Sebenarnya tersedia lebih dari cukup makanan untuk memberi makan penduduk dunia. Tetapi sistem ekonomi global yang menguntungkan negara industri menciptakan kelaparan di negara berkembang, dikatakan Ute Schaeffer.

https://p.dw.com/p/132CC
Seorang anak penderita kelaparan di EthiopiaFoto: picture-alliance/dpa

Dunia tanpa kelapararan. Tujuh miliar manusia, kenyang dan cukup gizi. Tentu saja ini mungkin. Bumi kita menghasilkan cukup bahan makanan. Kelaparan bukan sebuah bencana alam. Kelaparan memang dibiarkan secara politis. Karena ada yang lebih penting. Misalnya suara para konsumen dan petani di Eropa. Karena jika kita memang serius dengan seruan-seruan solidaritas, kita seharusnya menghentikan subsidi dan merevolusi sistem perdagangan. Artinya, harga makanan di negara-negara industri akan naik.

Ute Schaeffer
Ute Schaeffer, kepala redaksi Deutsche WelleFoto: DW

Suara mereka yang lapar hampir tidak didengar. Mereka tidak punya lobi. Kelaparan sering muncul –ini yang ganjil- justru di kawasan tempat produksi makanan, yaitu daerah pedesaan. Banyak orang di sini hidup dari pertanian kecil. Mereka tidak punya wakil di institusi ekonomi internasional. Jika sedang dibahas perjanjian ekonomi atau arus perdagangan global, mereka tidak punya suara. Walaupun jumlah mereka banyak. Setengah dari penduduk bumi hidup secara langsung maupun tidak langsung dari produksi bahan pangan. Mayoritas penduduk ini hidup di negara berkembang dan harus membayar mahal untuk sistem ekonomi negara industri. Akibatnya: satu miliar manusia kelaparan atau kurang gizi.

Yang Beruntung dari Kelaparan

Banyak berita tentang bencana kemanusiaan akibat kelaparan. Tapi siapa yang memberitakan tentang pihak-pihak yang menarik keuntungan dari situasi ini? Harus dikatakan dengan tegas: ada pihak-pihak yang beruntung dari sistem yang menyebabkan kelaparan.

Pertama, kita, para konsumen di negara industri. Pengeluaran kita untuk makanan lebih sedikit dibanding 20 tahun lalu. Kita senang membeli roti untuk satu Euro dan susu untuk 70 sen. Subsidi yang tinggi menjamin kehidupan nyaman dan dukungan politik. Para petani di negara berkembang hanya bisa memimpikan situasi seperti ini.

Pihak lain yang beruntung adalah perusahaan pertanian besar, yang membanjiri pasar dengan bibit dan bahan pupuk kimia. Yang beruntung adalah para elit di negara industri. Mereka berpolitik untuk para kliennya dan para pemilih di ibukota. Di ibukota ditetapkan, berapa bantuan pembangunan yang mengalir ke kawasan pedesaan. Investasi di kawasan pedesaan dan sektor pertanian sering dianggap kuno.

Edeka Supermarkt
Swalayan di Jerman - warga Jerman belanjakan 20 persen pendapatan mereka untuk bahan makananFoto: picture-alliance/ZB

Justru negara-negara yang hidup 80 persen dari pertanian merasa yakin bisa mengabaikan sektor ini. Atau lebih drastis: Sebuah negara yang punya lahan pertanian besar dan subur seperti Mosambik sebenarnya bisa menjadi eksportir beras dan jagung. Tapi mereka malah tergantung pada impor. Karena elit politiknya tidak tertarik pada masalah pertanian.

Di sini masih harus dilakukan kerja keras untuk meyakinkan mereka. Dalam setiap pertemuan bilateral dan konferensi internasional. Negara industri hanya bisa melakukan ini, kalau negara berkembang melihat manfaatnya. Yaitu peluang ekspor yang lebih tinggi, akses ke pasar Eropa dan harga yang adil untuk hasil-hasil pertanian di pasaran dunia.

Hentikan Kebohongan

Yang juga beruntung adalah para spekulan di pasar bahan makanan. Bahan pokok dijadikan obyek spekulasi. Pada paruh pertama tahun 2010 harga bahan makanan naik 30 persen. Ini pasar yang menarik bagi para investor dan spekulan. Sementara penduduk miskin di Haiti, India dan Afrika menderita karena tidak sanggup lagi membayar harga tinggi.

Weizen Getreide
Ladang gandum - pangan kini menjadi barang yang dispekulasikanFoto: picture alliance/dpa

Jadi, mari hentikan kebohongan. Kelaparan hanya sebagian saja disebabkan oleh perang dan bencana alam. Kelaparan jarang menjadi masalah penduduk miskin di perkotaan. Kelaparan adalah hasil kebijakan politik yang sengaja mengisolasi sebagian penduduk. Kebutuhan dan kesulitan mereka diabaikan dan tidak menjadi perhatian politik di negara-negara maju.

Negara-negara Afrika selama puluhan tahun mengalami ketergantungan dan eksploitasi oleh kekuasaan kolonial. Tahun 1980-an, Dana Moneter Internasional IMF dan Bank Dunia menuntut pembenahan radikal berupa liberalisasi, deregulasi dan privatisasi. Itu yang menjadi tujuan utama. Sekalipun negara-negara Afrika belum siap. Mereka tidak punya infrastruktur, pendidikan masih terbelakang, sektor ekonomi tidak berfungsi, tidak ada investor domestik. Politik IMF dan Bank Dunia merupakan bencana bagi sektor pertanian, pendidikan dan pelayanan kesehatan.

Keamanan Dunia Terancam

Masyarakat internasional tidak peduli dengan bencana kelaparan yang terjadi di abad ke-21. Ini sebuah kesalahan besar, tidak hanya dari sudut pandang moral. Kekuatan dan potensi gerakan politik masyarakat miskin dan penduduk yang kelaparan jangan dianggap enteng. Ketika harga bahan makanan melonjak tahun 2008, aksi protes massal terjadi di berbagai negara, dari Kamerun sampai Mesir. 10 tahun mendatang, program-program bantuan dan perbaikan situasi akan menelan biaya miliaran. Kelaparan mengancam stabilitas politik, berawal dari kawasan miskin, kemudian menjalar ke Eropa.

Siapa yang memahami saling ketergantungan ini harus menarik kesimpulan: Yang diperlukan adalah perubahan politik secara radikal. Bukan sekedar reparasi atau bantuan darurat. Bukan pula janji-janji tidak jelas yang sering dikumandangkan di berbagai pertemuan puncak. Ini tidak akan menghentikan erosi sosial dan ekonomi yang terjadi akibat kelaparan dan kemiskinan.

Symbolbild Hunger in der Welt
Bumi sebenarnya memiliki cukup bahan pangan untuk seluruh penghuninyaFoto: DW

Para petani di negara-negara miskin sangat tergantung pada aturan dagang dan harga yang adil di negara-negara maju. Sedangkan mayarakat di negara maju juga tergantung pada stabilitas politik dan ekonomi di negara-negara miskin yang bertumbuh dengan cepat. Kita di negara maju harus menyampingkan kepentingan-kepentingan jangka pendek, agar kelaparan bisa ditanggulangi.

Hampir 40 tahun lalu, menteri luar negeri Amerika Serikat saat itu, Kissinger,  menjanjikan di sebuah konferensi pangan dunia: Dalam satu dekade tidak ada lagi seorang anak yang harus pergi tidur dengan perut lapar. Tujuan ini sekarang makin jauh dari kenyataan. Ini benar-benar menyedihkan.

Ute Schaeffer                                                                                                                          Editor: Hendra Pasuhuk