1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

060110 Universitäten Irak Gewalt

11 Januari 2010

Sejak invasi Amerika Serikat, tindak kekerasan dan serangan pembunuhan tak kunjung reda di Irak. Tindak kekerasan tidak hanya terjadi di jalan-jalan, melainkan juga di kampus universitas.

https://p.dw.com/p/LQUJ
Gambar simbol: Mahasiswa di IrakFoto: AP/DW

Beberapa pekan yang lalu, Perdana Menteri Irak Nuri al Maliki mengambil tindakan yang drastis, setelah seorang anggota perhimpunan mahasiswa memukul seorang guru besar di Universitas Mustansiriya di Bagdad. Gara-gara kasus tersebut, Universitas Mustansiriya ditutup selama sepekan. Tapi kasus yang serupa tidak hanya terjadi di universitas tersebut. Tindak kekerasan terhadap mahasiswa dan tenaga pengajar dipergunakan dalam berbagai cara, mulai dengan melakukan imtimidasi, ancaman pembunuhan sampai serangan bom.

Dengan kenyataan itu, belum lama berselang sekitar 30 orang tenaga pengajar di perguruan tinggi menyampaikan tuntutan kepada Kementerian Pendidikan. Mereka antara lain menuntut perlindungan yang efektif terhadap para tenaga pengajar dalam menghadapi ancaman dan aksi tindak kekerasan. Disamping itu, mereka juga menuntut pelaku kejahatan di kalangan perguruan tinggi di masa lalu diseret ke pengadilan.

Menurut keterangan Kementerian Pendidikan di Bagdad, antara tahun 2003 dan 2008, sekitar 259 orang dosen terbunuh. Badan PBB untuk Irak UNAMI juga mengungkapkan angka statisk yang menyedihkan. Antara tahun 2003 dan 2007, tercatat sekiar 100 mahasiswa yang terbunuh.

Dengan terus berlanjutnya tindak kekerasan politik secara sistematis di perguruan tinggi di Irak, membuat banyak tenaga terdidik dan intelektual Irak yang hengkang ke luar negeri. Menurut sebuah laporan badan pendidikan dan kebudayaan PBB UNESCO, teror dan aksi tindak kekerasan terhadap tenaga pengajar di perguruan tinggi merupakan salah satu dari masalah yang mendesak yang dihadapi perguruan tinggi di Irak. Yang juga sangat mencemaskan dan mendesak diperhatikan adalah kemampuan tenaga akademisi. Pada tahun 70-an dan 80-an, sistem pendidikan tinggi di Irak menjadi teladan dikawasan Timur Tengah. Pada awal tahun 90-an ketika diterapkannya embargo, setelah pecahnya Perang Teluk, kemudian bangkrutnya negara dan mengalirnya tenaga terdidik ke luar negeri, mengawali masa suram pendidikan tinggi di Irak.

Dalam hal ini yang terutama terkena dampaknya adalah pendidikan ilmu pengetahuan alam. Waktu itu Irak lebih memprioritaskan perkembangan industri dan proyek militer. Kerjasama dan pertukaran akademis dengan luar negeri terhenti. Akibatnya antara lain, buku-buku yang dimiliki perpustakaan di perguruan tinggi sama sekali usang, termasuk rencana kurikulum perguruan tinggi.

Masa depan pergururuan tinggi di Irak menunjukkan kesuraman. Fatih Abdaljabbar, seorang sosiolog dan Direkur Pusat Kajian Irak di Beirut, tidak memperkirakan bahwa situasi politik di Irak dalam waktu dekat akan menunjukkan hal yang positif. Meskipun demikian tidak berarti, bahwa sistem pendidikan tinggi di Irak terus dibiarkan ambruk. Harus diambil langkah atau usaha lain secepatnya untuk membenahinya. Falih Abdaljabbar mengusulkan mengirimkan 30 ribu mahasiswa Irak setiap tahun untuk belajar di luar negeri. Bila kelak selesai mengikuti pendidikan di luar negeri, mereka akan menguasai perkembangan baru dan dapat memordernisir kurikulum dan sistem pendidikan tinggi di Irak.

Mona Naggar/Asril Ridwan

Editor: Yuniman Farid