1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
KonflikAfrika

Kekerasan di Sudan dan Dilema Negara Barat

Kersten Knipp
28 April 2023

Negara-negara di Barat terlibat secara intens dalam proses reformasi di Sudan. Namun, ketika eskalasi kekerasan terjadi, banyak yang mempertanyakan kesalahan negara Barat dan sekutunya dalam menangani situasi ini.

https://p.dw.com/p/4QdYZ
Suasana di Khartoum, Sudah
Suasana di Khartoum, Sudan. Warga kehilangan harapan akibat konflik berkelanjutanFoto: Marwan Ali/AP Photo/picture alliance

Sudan dilanda konflik sengit yang menimbulkan korban jiwa. Ribuan orang terpaksa meninggalkan negara itu. Prospek rekonsiliasi, demokrasi, dan supremasi hukum di Sudan seakan-akan semakin sulit dijangkau. Harapan akan masa depan yang damai di negara itu tampaknya pupus.

Semua karena pertempuran antara Jenderal Abdel Fattah al-Burhan dan Mohammed Hamdan Dagalo atau biasa dikenal Hemedti. Banyak orang di Sudan merasa kecewa dengan peran yang diambil negara-negara Barat dalam konflik tersebut.

Aktivis Hamid Khalafalla mencuit bahwa dia terbangun oleh suara pertempuran, meskipun seharusnya ada gencatan senjata di Sudan. Ia mempertanyakan mengapa jenderal Sudan harus mematuhi gencatan senjata, bila Amerika Serikat masih terus tunduk pada jenderal tersebut, jika ia tidak mematuhinya? Dia juga mengeluhkan bahwa kudeta militer 18 bulan lalu hampir tidak mendapatkan sanksi.

Khalafalla juga menyoroti betapa negara-negara Barat dengan cepat akan meninggalkan negara itu akibat gelombang kekerasan terbaru. Dia mengacu pada evakuasi baru-baru ini dan sebagai konsekuensinya mereka akan kehilangan pengaruhnya.

Konflik di Sudan buatan sendiri

Marina Peter, Pendiri dan Kepala Forum Sudan dan Sudan Selatan, mengatakan bahwa konflik ini pada dasarnya adalah konflik rumah tangga. Dalam beberapa hari mendatang, LSM yang dipimpinnya juga berencana untuk meninggalkan negara itu. Dia mengatakan konflik tersebut adalah hasil dari masalah yang tidak terselesaikan selama beberapa dekade terakhir, termasuk perebutan sumber daya, serta pemimpin politik dan militer negara yang haus kekuasaan. Dia juga menilai dinamika di dalam Sudan akan sulit dipengaruhi dari luar.

Meski begitu, Peter mengaku bahwa negara-negara Barat melakukan kesalahan setelah tahun 2019. Itu adalah masa ketika mantan Kepala Negara Sudan Omar al-Bashir digulingkan.

Warga Sudan mengantre bahan makanan dari WFP di perbatasan Sudan dan Chad
Sejak kekerasan bergolak, ribuan warga Sudan mencoba menyelamatkan diri ke perbatasanFoto: MAHAMAT RAMADANE/REUTERS

"Kesalahan yang paling parah adalah tidak mengizinkan sebagian besar penduduk untuk berpartisipasi dalam diskusi dan negosiasi,” ungkap Peter kepada DW. Pakar Sudan kelahiran Jerman itu mengatakan terlalu banyak ketergantungan pada militer. "Aktivis Sudan dan pakar asing berulang kali memperingatkan bahwa militer, terutama Hemedti, tidak dapat dipercaya dan mengandalkan mereka akan membuat solusi jangka panjang menjadi tidak mungkin."

Barat terlalu bergantung pada kekuatan lama?

Advokat demokrasi Ahmed Esam dari organisasi Sudan Uprising Germany sepakat akan hal ini. Dia tidak ingin melimpahkan tanggung jawab penuh kepada negara-negara Barat atas kegagalan di Sudan, tetapi aktivis yang berbasis di Jerman itu yakin bahwa Barat membuat kesalahan yang signifikan. "Fakta bahwa mereka tidak mengakui ideologi Barat saat melakukan perlawanan di jalanan atau mendukung tuntutan mereka untuk reformasi adalah masalah. Komite perlawanan diabaikan. Sebaliknya, negara-negara Barat terlalu bergantung pada kekuatan lama."

Wartawan Azza Ahmed Abdel Aziz berpendapat bahwa negara-negara Barat mungkin terlalu cepat memercayai kedua orang kuat yang sekarang berjuang untuk menguasai Sudan. "Keduanya mengaitkan bahwa upaya mereka untuk mengamankan kekuasaan, dalam bahasa yang dimaksudkan untuk memperjelas bahwa mereka bertindak demi demokrasi dan dengan maksud untuk beralih ke pemerintahan sipil sepenuhnya," tulis jurnalis Middle East Eye itu.

Suasana di Bandara Kairo pasca evakuasi dari Sudan.
Suasana di Bandara Kairo, setelah sejumlah negara mengevakuasi warganya akibat eskalasi konflik di SudanFoto: - /AFP

Namun, Abdel Fattah al-Burhan dan Hemedti sendiri lah yang menggulingkan pemerintahan sipil pada tahun 2021, saat mereka melakukan kudeta terhadap mantan Perdana Menteri Sudan Abdallah Hamdok.

Dapat dipahami, sejak saat itu al-Burhan dan Hemedti menghadapi banyak hal lain yang perlu dikhawatirkan, selain mengakhiri proses reformasi yang berkembang pesat. Adbel Aziz mengatakan mereka berdua memiliki satu prioritas: mengamankan kekuatan pribadi mereka sendiri. Itu juga mengapa kedua musuh itu membangun ikatan yang kuat dengan Moskow.

Proses evakuasi WNI di Pelabuhan Sudan
Proses evakuasi WNI dari SudanFoto: MOFA RI

Para ahli sepakat bahwa pengaruh Rusia di Sudan meningkat pesat dan dapat terus berlanjut. Rusia terutama tertarik untuk mendapatkan pengaruh dan kekuatan ekonomi dan mendukung demokrasi yang masih muda bukanlah hal yang paling penting. Itulah alasan lain mengapa para politisi Barat dengan hati-hati mempertimbangkan sejauh mana mereka mampu menempatkan militer Sudan di bawah tekanan politik, karena saingan internasional lainnya telah menjalin hubungan yang kuat dengan mereka.

Pemerintah Sudan 'sama sekali tidak dipimpin sipil'

Sejumlah media juga mengkritik pendekatan Barat terhadap Sudan dalam beberapa tahun terakhir. Analisis publikasi berita terkenal menyatakan bahwa Amerika Serikat terlalu percaya pada kata-kata kedua jenderal itu, kata-kata yang tampaknya dibuat khusus untuk telinga Barat. Itulah salah satu alasan mengapa AS bersikeras menyebut transisi di Sudan sebagai "dipimpin sipil." Salah satu majalah khusus untuk kebijakan luar negeri mengatakan bahwa itu adalah deskripsi yang menyesatkan dan bahwa transisi tersebut "sama sekali tidak dipimpin oleh warga sipil".

Selain itu, aktivis Ahmed Esam mengatakan negara-negara Barat lebih menyukai distribusi kekuasaan antara warga sipil dan militer di Sudan. "Negara-negara Barat melihat militer Sudan sebagai unit terpisah dan bukan sebagai institusi yang pada akhirnya hanya dapat menerima legitimasi dari masyarakat. Barat cenderung menganggap militer sebagai partai politik dan itu adalah sebuah kesalahan."

Kemampuan Barat di Sudan terbatas?

Marina Peter dari Forum Sudan dan Sudan Selatan juga mengatakan kepada DW bahwa Barat sejak awal harusnya menjatuhkan sanksi terhadap para jendera. Negara-negara Barat lebih memberi tekanan pada Sudan dengan membekukan bantuan pembangunan ke negara itu untuk jangka waktu yang lama. "Tapi kemudian uang datang dari negara lain, sehingga upaya itu tidak berhasil," kata Peter menjelaskan.

Kondisi ini membuat para pengikut al-Bashir berpikir bahwa kemampuan Barat sangat terbatas dalam mengambil tindakan. "Negara-negara Barat pasti bekerja sama dengan al-Bashir, sebagian karena takut akan lebih banyak migrasi," kata Peter.

Dalam beberapa hari terakhir, negara-negara Barat harus terlibat dalam pembicaraan dengan para jenderal oposisi. Tanpa persetujuan mereka, Barat tidak dapat mengevakuasi warganya dari Sudan. Ini menghadirkan dilema politik nyata yang klasik: negara-negara Barat harus bersusah payah mengakui bahwa mereka salah terkait sekutu penting. Pada saat yang sama, karena saat ini situasi di Sudan mengerikan, Barat tidak lagi dapat menghindarinya. (ts/ha)

Artikel ini diadaptasi dari laporan Bahasa Jerman.