1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Kekerasan Agama dan Ironi “Islam Ekstrim”

31 Oktober 2016

Aksi-aksi “kekerasan berbasis agama” tidak hanya mengancam kemajemukan bangsa, atau berlawanan dengan HAM. Melainkan juga membahayakan keutuhan bangsa dan Pancasila. Demikian pandangan Sumanto al Qurtuby.

https://p.dw.com/p/2Rv6K
Indonesien FPI Proteste
Foto: Adek Berry/AFP/Getty Images

"The most fanatical and cruelest political struggles are those that have been colored, inspired, and legitimized by religion,” demikian tulis Hans Kung, Presiden Stiftung Weltethos (Foundation for a Global Ethic), sebuah lembaga internasional yang bertujuan untuk membangun dialog antaragama dan perdamaian global antarperadaban, dalam Christianity and the World Religion (1986: 442).

Komentar Hans Kung tentang fenomena agama sebagai sumber malapetaka paling kejam dalam sejarah kemanusiaan ini mungkin saja terlalu berlebihan. Karena faktanya—seperti yang pernah dipaparkan dengan baik oleh Karen Armstrong—banyak kekerasan, kekejaman, dan tragedi kemanusiaan mengerikan dalam bentangan sejarah umat manusia yang disebabkan oleh faktor-faktor diluar agama seperti politik kekuasaan, rasisme, etnosentrisme, kolonialisme, sekularisme, ateisme, komunisme, kapitalisme, dlsb.

Tetapi Hans Kung yang juga dosen Ecumenical Theology di Universitas Tubingen, Jerman, ini jelas tidak sedang berkhayal atau berilusi ketika menyatakan agama sebagai faktor mendasar-fundamental dalam berbagai kasus kekerasan lokal, regional, nasional, dan internasional.

Penulis:  Sumanto al Qurtuby
Penulis: Sumanto al QurtubyFoto: S. al Qurtuby

Kita harus akui secara jujur dan penuh penyesalan bahwa agama memang menjadi elemen signifikan dalam berbagai kasus kekerasan domestik, terorisme global, dan kerusuhan kolektif di berbagai belahan dunia dewasa ini. Deretan kasusnya cukup panjang, seperti di Irlandia Utara (Protestan v Katolik), Mesir (Sunni v Koptik), Iran (Syi'ah v Baha'i), India (Hindu v Islam), Sri Lanka (Buddha v Hindu), Thailand (Buddha v Islam), Sudan (Islam v Kristen dan agama-agama suku), Afganistan (Sunni Pasthun v Islam Salafi), dan masih banyak lagi termasuk di Indonesia.

Mark Juergensmeyer, dalam Terror in the Mind of God: The Global Rise of Religious Violence, telah mendokumentasikan data-data terorisme global dan kekerasan yang diwarnai, diinspirasi, dan dilegitimasi oleh berbagai agama.

Mulai dari penghinaan hingga kekerasan fisik

Agama bisa menjadi mesin pembunuh yang mematikan atau medium pengrusak yang kejam, karena ia memuat teks, ajaran, doktrin, diskursus, slogan, jargon, dan simbol-simbol yang mampu mengilhami, mendorong, dan menggerakkan para penganut agama yang hiperfanatik untuk melakukan aneka tindakan kejahatan kemanusiaan yang brutal.

Memang dalam setiap melakukan aksi-aksi terorisme dan bentuk-bentuk kekerasan lain, kelompok teroris dan para pelaku tindakan kriminal atas nama agama ini (seperti aktivis Islamic State of Iraq and Syria-ISIS, Al-Qaedah, Al-Nusra, Taliban, Boko Haram, dlsb) juga tidak henti-hentinya mengutip ayat-ayat tertentu, melafalkan dalil-dalil tertentu, mengibarkan simbol-simbol keagamaan tertentu, meneriakkan jargon-jargon keagamaan tertentu, dan memekikkan kalimat-kalimat keagamaan tertentu. Kelompok radikal agama ini selalu mengeksploitasi wacana, ajaran, dan simbol-simbol keagamaan (keislaman) untuk kemudian dijadikan sebagai "legitimasi teologis” guna menggerus dan melibas individu dan kelompok agama lain yang mereka anggap sesat dan kafir.

Ironisnya, para pelaku kriminalitas itu sendiri menganggap perbuatan jahat yang mereka lakukan sebagai "perbuatan mulia” yang berpahala dengan ganjaran surga. Itulah yang diyakini para komplotan teroris-jihadis yang tergabung dalam berbagai sindikat terorisme internasional yang tersebar di berbagai negara. Meskipun telah melakukan kejahatan kemanusiaan, mereka tidak merasa berdosa sedikitpun bahkan dengan percaya diri mereka menganggap perbuatan terorisme dan kekerasan itu sudah sesuai dengan "perintah agama” dan "amanat Tuhan”.

Penting untuk dicatat bahwa mereka tidak hanya melakukan "kekerasan fisik” seperti pengeboman, kerusuhan, pengrusakan, pembakaran, pengusiran, penjarahan dlsb. Tetapi juga "kekerasan kultural” berupa penghinaan, pelecehan, dan stigmatisasi menyesatkan lain yang menggunakan doktrin, diskursus, ajaran, teks, dan simbol-simbol keagamaan sebagai dasar legitimasi dan justifikasi tindakan kekerasan yang mereka lakukan.

Dalam konteks ini, maka ulama atau ormas-ormas keislaman yang rajin mengeluarkan "fatwa-fatwa sesat” atas kelompok keagamaan atau sekte tertentu sebetulnya juga telah melakukan tindakan "kekerasan agama” karena mereka telah memproduksi fatwa-fatwa kebencian (dan kesesatan) yang kemudian dijadikan sebagai dasar kelompok "Islam ekstrim” untuk melakukan tindakan kekerasan fisik.  

Mempraktikkan wajah keislaman yang dewasa

Menyaksikan merebaknya realitas "kekerasan agama” dan praktik keberagamaan yang tidak peka terhadap kemajemukan ini, membuat tugas dan beban yang ditanggung pemerintah pada umumnya dan kaum moderat agama khususnya semakin bertambah berat. Ke depan, umat beragama di bumi pertiwi Indonesia, lebih khusus lagi kaum Muslim, harus semakin memperbanyak "amalan wirid” keislaman yang mencerahkan, mencerdaskan, dan menyejukkan.

Islam yang agung ini hanya akan dihargai keagungannya oleh umat, agama dan bangsa lain jika kaum Muslim mempraktikkan wajah keislaman yang dewasa, cerdas, ramah, santun, damai, dan demokratik. Percayalah bahwa perilaku (sebagian) umat Islam yang sangar, kasar, arogan, sinis, dan kejam seperti dipraktikkan kaum teroris dan kelompok "Islam ekstrim” hanya akan memperburuk citra agama dan umat Islam itu sendiri.

Alih-alih ingin menegakkan Islam sebagai agama yang "unggul dan tidak ada yang lebih unggul darinya” (ya'lu wa la yu'la alaih) seperti yang selama ini didengungkan oleh kaum Muslim militan-konservatif, citra agama "rahmatan lil alamin” (rahmat bagi seluruh alam) ini justru melorot akibat aneka ragam perilaku "uncivil” dan biadab sejumlah kelompok "Islam ekstrim” dan kaum radikal agama tadi.

Pekik takbir "Allahu Akbar” (Tuhan Maha Besar) yang mereka kumandangkan dalam setiap tindakan intoleransi serta aksi kekerasan dan pengrusakan adalah sebuah pemandangan paradoks dan ironi keagamaan sekaligus bentuk "pengkambinghitaman” terhadap Allah yang Maha Besar itu. Bagaimana tidak, Allah Yang Maha Agung itu didengungkan oleh tangan-tangan kotor dan mulut-mulut kasar kaum "Islam ekstrim” untuk melakukan tindakan kejahatan kemanusiaan?

Membahayakan keutuhan bernegara

Apapun alasannya, tindakan kekerasan agama itu baik dalam bentuk terorisme, pengusiran, pengrusakan, penjarahan, serta aneka ragam aksi intoleran harus dihentikan dan dilenyapkan dari muka bumi. Aksi-aksi "kekerasan berbasis agama” ini tidak hanya mengancam eksistensi minoritas agama, mengancam kemajemukan bangsa, atau berlawanan dengan hak-hak dasar manusia, melainkan juga membahayakan keutuhan bangsa dan negara itu sendiri. Sebab para pelaku tindakan kekerasan ini mempunyai semangat militan untuk menyeragamkan pemikiran dan praktik keagamaan masyarakat yang beraneka ragam ini.

Selain itu, mereka juga membawa bendera ideologi keagamaan tertentu yang berpotensi mengancam eksistensi Pancasila sebagai dasar negara sekaligus "common ground” berbagai kelompok masyarakat di bumi pertiwi ini.

Untuk itulah, semua elemen masyarakat, pemerintah, dan aparatus negara harus bahu-membahu bekerja sama menghentikan tindakan anarkis-radikal dan terorisme yang dilakukan kelompok militan agama. Aparat hukum juga harus bertindak tegas terhadap kelompok radikal agama ini yang memang sudah jelas-jelas telah melanggar hak-hak asasi manusia (khususnya hak-hak untuk berekspresi dan menyatakan keyakinan), melawan hukum, meresahkan masyarakat, serta mengganggu ketertiban umum dan kenyamanan publik.

Hanya dengan sikap dan tindakan tegas inilah, Indonesia yang didirikan oleh berbagai komponen bangsa ini akan dihargai martabatnya baik di dalam negeri maupun di tingkat internasional sebagai negara demokrasi yang memiliki komitmen penuh terhadap pluralisme umat manusia dan perlindungan terhadap hak-hak kaum minoritas.

Penulis:  Sumanto al Qurtuby 

Dosen Antropologi Budaya di King Fahd University of Petroleum and Minerals, Arab Saudi, dan penulis buku Religious Violence and Conciliaion in Indonesia: Christians and Muslims in the Moluccas (London & New York: Routledge, 2016)