1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Kriminalitas

Kekacauan Terjadi di Pompa Bensin AS Karena Aksi Peretasan

13 Mei 2021

Serangan siber terhadap pengelola jaringan pemasokan bensin terbesar AS Colonial Pipeline menyebabkan kekacauan besar. Pompa bensin diserbu pengendara mobil dan truk yang panik.

https://p.dw.com/p/3tLYM
Foto ilustrasi antrean di pompa bensin AS
Foto ilustrasi antrean di pompa bensin ASFoto: Matt Hamilton/Chattanooga Times Free Press/AP/picture alliance

Colonial Pipeline, pemasok bensin utama di pantai timur AS terpaksa menghentikan operasi selama beberapa hari, setelah jaringan komputer mereka diserang peretas profesional. Perusahaan itu adalah pengelola jaringan pipa bensin terbesar di AS, dan memenuhi permintaan 45 persen konsumen di pantai timur. Sekalipun sudah mulai beroperasi lagi, namun pemasokan bensin hanya bisa dilakukan secara bertahap.

Pengendara truk Jonathan King mengatakan, dia khawatir tidak bisa memenuhi rute pengiriman barang dan bisa kehilangan pekerjaannya. "Saya sudah mencoba ke banyak pompa bensin", katanya sambil menunggu di antrian panjang, "tapi semuanya penuh. Ini sangat menyusahkan kami".

Serangan peretasan ke Colonial Pipeline memang memicu kepanikan konsumen, yang ramai-ramai menyerbu pompa bensin. Hari Rabu malam (12/5) perusahaan itu mulai lagi beroperasi, namun mereka mengatakan perlu beberapa hari sampai penyaluran bensin bisa normal lagi.

Di media sosial tersebar gambar-gambar tentang percekcokan di pompa bensin antara pelanggan yang menunggu di antrean. Pemerintah federal AS sejak hari Selasa (11/5) mengimbau warga agar tidak menimbun bensin. "Beberapa hari ke depan situasi memang masih sulit", kata Menteri Eenergi Jennifer Granholm di Washington. Tapi dia memastikan bahwa ada cukup pasokan bensin di Amerika Serikat. Masalahnya, bensin itu harus dibawa ke tempat-tempat pengisian bensin.

Foto pompa bensin di Richmond, Virginia, 11 Mei 2121
Harga bensin di pantai timur AS sempat naik ke harga tertinggi sejak 1984 setelah serangan peretasanFoto: Steve Helber/AP/picture alliance

Situasi darurat karena peretasan penyalur bensin

Terhentinya pemasokan bensin memaksa negara bagian North Carolina dan Virginia mendeklarasikan situasi darurat dan meminta bantuan pemerintahan federal untuk menjamin suplai bensin. Tetapi hal itu malah memicu kepanikan publik yang lebih luas.

Warga Virginia Mary Goldburg, 60 tahun, mengatakan dia perlu mobilnya untuk bekerja dan mengunjungi cucunya. Apalagi setahun ini dia tidak bisa mengunjungi mereka karena penerapan pembatasan pandemi.

"Saya tidak mendapat bayaran, sampai pelanggan saya mendapat produk yang saya jual", kata Mary sambil mengisi tangki bensinnya. Pria di sampingnya mengatakan, dia tidak punya pilihan lain selain menunggu antrian, karena dia bekerja sebagai sopir taksi online Uber.

Restoran dan bar juga berjuang mendapatkan bahan bakar. Apalagi mereka ingin beroperasi terus untuk menebus kerugian setelah mengalami lockdown cukup lama.

"Di semua kawasan ini, penduduk dan pekerja akan terdampak dengan kenaikan harga bensin dan harga makanan  karena kelangkaan bahan bakar. Padahal anggaran mereka sudah minim karena adanya pandemi, kata Robert McNab, profesor ekonomi di Old Dominion University di Virginia. Harga bensin memang sempat naik ke harga tertinggi sejak 1984.

Peretasan jadi metode pemerasan baru

Latar belakang peretasan jaringan komputer Colonial Pipeline masih belum jelas. Perusahaan itu tidak memberikan banyak informasi, dan hanya mengatakan mereka menjadi korban peretasan, tapi masalahnya sekarang sudah selesai.

Media AS memberitakan, Colonial Pipeline jadi target serangan kelompok peretas Dark Side yang biasa melakukan pemerasan. Kalangan pengamat menduga, Colonial Pipeline akhirnya membayar "uang tebusan" agar sistem komputernya bisa normal lagi. Pemerintah AS hanya mengatakan, serangan terhadap Colonial Pipeline untuk saat ini sedang diselidiki sebagai "tindakan kriminal" .

Tahun lalu, pemerintah lokal kota Tillamook di negara bagian Oregon juga jadi korban peretasan dan pemerasan. Mereka terpaksa membayar 300 ribu dolar kepada peretas untuk memulihkan lagi sistem komputerya.

"Kami tidak punya telepon lagi, tidak ada internet, tidak ada jaringan komputer", kata Bill Baertlein, mantan anggota dewan pemerintahan lokal. Ketika itu otoritas lokal memeriksa gangguan yang terjadi pada jaringan komputer mereka. "Tapi kita akhirnya memutuskan untuk membayar (uang tebusan) karena kami kemungkinan besar tidak bisa memperbaikinya sendiri".

Bill Baertlein mengatakan, dia akhirnya melakukan negosiasi dengan pelaku peretasan, yang "kelihatannya berasal dari Rusia". Secara keseluruhan, pemerintah daerah Tillamook menghabiskan dana 525 ribu dolar untuk "menyelesaikan situasi", katanya. Tapi itu masih jauh lebih sedikit daripada kerugian jauh di atas 1 juta dolar, yang akan diderita jika jaringan komputer tidak berfungsi dan harus diganti dengan yang baru, tambahnya.

Hanya empat bulan setelah kasus Tillamook, Universitas Utah juga mengalami peretasan yang melumpuhkan jaringan komputer mereka. Universitas akhirnya membayar "uang tebusan" hampir 460 ribu dolar AS untuk memulihkan data-data mereka.

hp/as (afp, ap)