1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sosial

Kaum "Militan Moderat" Perangi Radikalisme Agama

12 Juni 2017

Maraknya intoleransi dan radikalisme agama memaksa Nahdlatul Ulama turun gunung memerangi pengaruh kaum ultra konservatif Islam. HTI yang menyuarakan sistem kekhalifahan adalah sasaran pertama.

https://p.dw.com/p/2eVNM
Indonesien Protest gegen Basuki Tjahaja Purnama in Jakarta
Foto: Getty Images/AFP/G. Chai Hin

Berjubah bak tentara dan hanya dipersenjatai keyakinan sendiri: Barisan Ansor kini menempatkan diri di garda terdepan dalam perang melawan intoleransi dan radikalisme agama.

Belum lama ini seratusan anggota GP Ansor dan Banser menggeruduk sebuah hotel di Semarang yang dijadikan lokasi pertemuan Hizb Tahrir. Mereka mengepung gedung dan memaksa penyelenggara acara membubarkan "Forum Khilafah" tersebut.

Pluralisme di Indonesia yang sedang tergerus gelombang radikalisme agama antara lain berharap pada Nahdlatul Ulama. Organisasi Islam terbesar di Indonesia itu sejak hampir satu abad mewakili wajah Islam yang moderat dan inklusif.

"Buyut saya ulama, bersama umat Kristen dan yang lain, turut membangun republik ini," kata salah seorang komandan Banser, Alfa Isnaini.

"Kita harus mempertahankan warisan ini," tukasnya. Banser yang kini beranggotakan dua juta orang termasuk kaum "militan moderat" yang gerah terhadap geliat kelompok radikal.

NU mengklaim aktif memerangi geliat radikalisme menyusul kebijakan setengah hati pemerintah yang dinilai gagal memberangus pengaruh kelompok ultra konservatif. "Siapapun yang tidak setuju terhadap NKRI, atau menyuarakan kekhalifahan, mereka akan berhadapan dengan kami," kata Isnaini.

Sementara Banser bergerak di pengadilan jalanan, Ansor meniti jalur dialog untuk membangun konsensus di antara umat Muslim terkait penerapan hukum Islam di era kekinian. Greg Fealy, Pemerhati Islam di Australian National University, "terkesan" oleh perjuangan NU.

Namun ia mewanti-wanti terhadap "kepentingan politik praktis yang bakal menjadi tintangan terbesar, terutama di Indonesia"

Namun Sekretaris Jendral NU Yahya Cholil Staquf meyakini perang melawan radikalisme agama tidak bisa menunggu konsensus politik. "Kita harus memerangi mereka sebelum mereka menimbulkan kerusakan lagi," ujarnya kepada AFP. "Kami akan memerangi ini hingga akhir."

rzn/hp (afp,rtr)