Silakan kunjungi versi beta situs DW. Feedback Anda akan membantu kami untuk terus memperbaiki situs DW versi baru ini.
Meski dalam proses pembuatannya bersinggungan dengan babi, pemerintah sebut vaksin AstraZeneca tetap bisa digunakan karena kedaruratan. Ketersediaan vaksin yang suci dan halal sangat terbatas dan tidak mencukupi.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa mengenai vaksin AstraZeneca. Vaksin Corona yang berasal dari Inggris tersebut dalam proses pembuatannya disebut bersinggungan dengan babi.
Kendati demikian, MUI menyatakan vaksin ini tetap diperbolehkan penggunaannya bagi umat Muslim karena dalam kondisi darurat.
Menanggapi, juru bicara vaksinasi Kemenkes dr Siti Nadia Tarmizi, mengatakan dalam proses pengembangan vaksin AstraZeneca, memang ada tripsin namun hanya sampai dalam pembibitan virus.
"Jadi kita tahu bahwa vaksin AstraZeneca bersentuhan dalam prosesnya dengan babi sehingga vaksin ini dikatakan haram," ujarnya dalam dialog dengan KBR, Selasa (23/3/2021).
"Tapi kita tahu setidaknya dalam pembuatan vaksin itu ada 3 hal yang harus kita lihat pertama yakni penyiapan inang pembibitan vaksin. Inang pembibitan vaksin ini yang menggunakan materi berasal dari babi," sambungnya.
Pada saat pembibitan vaksin, ada unsur enzim tripsin untuk pembibitan vaksin. Namun setelah calon virus ditanam dan tumbuh, virusnya dipisahkan oleh tripsin. Sehingga saat diolah menjadi vaksin, tak ada lagi bahan yang bersinggungan dengan babi.
Nadia menjelaskan walau dalam prosesnya bersinggungan, vaksin AstraZeneca tetap bisa digunakan karena kedaruratan. Ketersediaan vaksin yang suci dan halal sangat terbatas dan tidak mencukupi.
"Pemerintah tidak memiliki keleluasaan untuk memilih jenis vaksin. Kita ingin sekali mendapatkan vaksin yang jenisnya suci dan halal, tetapi jumlahnya tidak mencukupi, jadi untuk menurunkan angka kesakitan maka MUI sudah mengatakan vaksin AstraZeneca dibolehkan," pungkasnya.
Belakangan, pihak AstraZeneca membantah vaksin Corona mereka mengandung babi. Disusul pernyataan vaksin yang sudah digunakan di sejumlah negara muslim seperti Arab Saudi hingga Kuwait.
"Kami menghargai yang disampaikan oleh MUI. Penting untuk dicatat bahwa vaksin COVID-19 AstraZeneca merupakan vaksin vektor virus yang tidak mengandung produk berasal dari hewan," jelas AstraZeneca Indonesia dalam keterangan tertulis yang diterima detikcom Minggu (21/3/2021).
Hal tersebut sudah dikonfirmasi Badan Otoritas Produk Obat dan Kesehatan Inggris. Ditegaskan, semua tahapan produksi vaksin AstraZeneca tidak ada satupun yang memanfaatkan produk turunan babi.
"Semua tahapan proses produksinya, vaksin vektor virus ini tidak menggunakan dan bersentuhan dengan produk turunan babi atau produk hewani lainnya," lanjut AstraZeneca.
"Vaksin ini telah disetujui di lebih dari 70 negara termasuk Arab Saudi,UEA, Kuwait, Bahrain, Oman, Mesir, Aljazair, dan Maroko dan banyak Dewan Islam di seluruh dunia telah menyatakan sikap bahwa vaksin diperbolehkan untuk para muslim," pungkasnya.
Sebelumnya Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah mengeluarkan fatwa penggunaan vaksin AstraZeneca pada Selasa (16/3/2021). Sebanyak 1,1 juta vaksin asal Inggris itu telah tiba di Indonesia.
Menurut Ketua Komisi Fatwa MUI, Prof Hasanuddin, fatwa vaksin AstraZeneca tetap bisa digunakan karena kondisi darurat dan ketersediaan vaksin yang halal masih terbatas.
"Iya sudah difatwakan kemarin hari Selasa (haram). Haram tapi boleh digunakan dalam kondisi darurat seperti sekarang ini. Karena belum ada vaksin lain yang halal, vaksin Sinovac yang halal kan nggak mencukupi," jelas Prof Hasanuddin pada detikcom, Jumat (19/3/2021).
Ditegaskan oleh Ketua MUI, Asrorun Niam, dalam jumpa pers virtual yang digelar pada Jumat (19/3/2021), vaksin AstraZeneca dapat digunakan dengan 5 alasan.
Berikut 5 alasan MUI mengizinkan penggunaan vaksin AstraZeneca:
(Ed: gtp/)
Baca artikel selengkapnya di: DetikNews
Kemenkes Bicara Tripsin Babi dalam Pembuatan Vaksin AstraZeneca
Tanggapi MUI, AstraZeneca Tegaskan Vaksin Coronanya Tak Mengandung Babi
5 Alasan MUI Bolehkan Vaksin AstraZeneca, Salah Satunya Terkait Risiko Fatal