1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Persamaan Hak

Karantina Cuatkan Angka Kekerasan Domestik di Timur Tengah

Maram Shahatit
8 April 2020

Ketika negara Arab memberlakukan larangan keluar rumah akibat wabah corona, kasus kekerasan dalam rumah tangga meningkat drastis. Korban tidak punya pilihan selain menerima dijadikan sasaran kekerasan di rumah sendiri.

https://p.dw.com/p/3adoi
Aktivis perempuan di Lebanon memrotes maraknya tindak kekerasan dalam rumah tangga
Aktivis perempuan di Lebanon Foto: AFP/Abaad/P. Baz

Kekerasan dalam rumah tangga sudah menjadi bagian dari hidup Laila. Perempuan di usia 50-an tahun itu mengaku telah menikah sejak lebih dari 30 tahun dan sejak awal sudah terbiasa mengalami tindak penganiayaan oleh suami sendiri.
Kekerasan fisik, kata dia, “sama lazimnya seperti udara yang saya hirup. Saya tidak pernah mengalami hal lain.”

Laila minta agar namanya diubah. Dia tidak ingin jati dirinya terungkap di negeri sendiri lantaran takut oleh tindakan suami atau lingkungan sosial. 

“Setiap kali dia memukul saya, saya melarikan diri ke rumah orangtua,” kisahnya. “Tapi supaya tidak membuat skandal, saya selalu kembali ke rumah suami.”

Pada hari-hari tertentu, Laila pulang ke rumah dan mendapati anak-anaknya, tujuh anak perempuan dan seorang laki-laki, dengan luka lebam di wajah, lengan atau punggung. 

Satu-satunya kelegaan dalam berumah tangga, kisah Laila, adalah ketika sang suami melakukan perjalanan dinas ke luar kota. Pada saat seperti itu, dia berusaha mencari kebahagiaan kecil dengan anak-anaknya.

“Kalau suami saya pergi, rasanya sudah seperti pesta buat saya dan anak-anak.”

Namun kini larangan berpergian yang diberlakukan di banyak negara Timur Tengah, merebut kebahagiaan terakhir milik ibu dan tujuh anaknya itu.

Karantina Cuatkan Angka Kekerasan Domestik

Fenomena Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) adalah bagian dari keseharian bagi banyak perempuan di Timur Tengah dan Afrika Utara. Di Yaman, Maroko atau Mesir misalnya, setidaknya seperempat semua perempuan berstatus menikah mengaku pernah dianiaya secara fisik oleh suami, menurut studi Princeton University tahun lalu.

Pemberlakuan larangan berpergian dan keluar rumah seperti di ibukota Tunisia ikut mencuatkan angka kasus kekerasan terhadap perempuan, klaim Kementerian Pemberdayaan Perempuan di Tunisia.
Pemberlakuan larangan berpergian dan keluar rumah di ibukota TunisFoto: picture-alliance/AA/Y. Gaidi

Pekan lalu Menteri Pemberdayaan Perempuan Tunisia, Asma Shiri, melayangkan peringatan tentang ancaman meningkatnya kasus kekerasan domestik sebagai buntut larangan keluar rumah yang diterapkan pemerintah buat meredam wabah corona.
Kabarnya setelah aturan pembatasan sosial diberlakukan, angka kekerasan rumah tangga meningkat lima kali lipat.

Padahal, hampir separuh negara-negara Arab sudah memiliki perangkat hukum untuk melindungi perempuan dari kekerasan rumah tangga. Namun menurut organisasi HAM, Human Rights Watch, Undang-undang tersebut gagal mengurangi angka kasus kekerasan.

“Dia mengancam membakar saya.”

Aisha, seorang perempuan Arab lain, berkisah betapa sang suami gemar memukuli dia dan anak-anaknya setiap hari. “Pernah dia mengancam akan membakar saya karena saya menolak melayani kebutuhan seksualnya,” kata perempuan yang kini menetap di Turki bersama keluarganya.

Dia khawatir pemerintah Turki akan memberlakukan larangan berpergian yang memaksanya mengurung diri di rumah bersama suami. “Saya memprediksi saya akan dipukuli dan dianiaya lebih sering ketimbang sekarang,” keluhnya.

“Saya tidak sanggup lagi.”

Perempuan Diminta Waspada

Meski bukan hal asing di kalangan masyarakat Arab, kekerasan domestik terasa lebih berat di tengah wabah corona, lantaran paradigma patriarkal menempel erat pada peran perempuan, terutama di dalam rumah tangga. 

Akibatnya kaum perempuan kian tertekan oleh struktur keluarga yang ketat dan kondisi hidup lintas generasi di ruang yang terbatas.

“Di dalam kondisi ini, perempuan terpaksa meladeni kebutuhan keluarga hingga hal-hal yang kecil,” kata aktivis sosial asal Libanon, Rania Sulaiman.

“Ini menyebabkan situasi keseharian yang sarat stres. Jika mereka tidak memenuhi kebutuhan keluarga seperti yang diinginkan suami, mereka terancam mendapat penganiayaan fisik.” 

Di Jalur Gaza yang juga mencatat kenaikan angka kekerasan domestik, perempuan diimbau untuk selalu membawa kartu identitas diri dan nomer organisasi bantuan untuk dihubungi setiap saat. Mereka juga diminta mencari orang yang bisa dipercaya untuk membantu di saat darurat. (rzn/vlz)

Peringatan Hari Perempuan di Bonn: Melawan Kekerasan Terhadap Perempuan