1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Kampanye dan Demokrasi di Taiwan

26 November 2010

Di dunia ini tidak ada banyak tempat, di mana rakyatnya berbahasa China dan pemilihan umum berlangsung demokratis. Taiwan merupakan salah satu negara dimana itu bisa terjadi.

https://p.dw.com/p/QIyE
Poster-poster para kandidat yang mengisi bangunan di TaipeFoto: Klaus Bardenhagen

Hari Sabtu (27/11) akan berlangsung pemilihan regional yang penting dan menentukan kebijakan politik negara itu sehubungan dengan Cina. Sejak berminggu-mingu, rakyat sudah tegang menanti pemilu.

Siapa yang ingin terpilih di Taiwan, harus tampil mencolok. Dedengkot politik, politisi muda, pejabat maupun pesaingnya, wajah para kandidat sudah berminggu-minggu seakan berebut, mengisi tembok dan tempat lowong di pinggir jalan-jalan kota Taipeh. Wajah-wajah itu kadang berkibar dari bendera atau umbul-umbul. Pada angkutan umum juga tampak seliweran senyuman cerah politisi perempuan atau kepalan tangan gagah politisi lelaki. Di bawah gambar-gambarnya tertera sejumlah ajektif, seperti rajin, jujur, bertanggung jawab. Sementara politisi berdompet tebal membayar kampanye teriakan slogan yang dikumandangkan lewat pengeras suara pada mobil-mobil yang sepanjang hari keliling kota.

Pilihlah saya, kandidat nomer enam sebagai anggota parlemen Taipeh. Begitu bunyi salah satu kampanye. Berbeda dengan di Cina, rakyat Taiwan bisa memilih antara beberapa partai. Inipun terlihat pada tampilan kampanye. Plakat berwarna biru-merah melambangkan partai nasional Cina Kuo Min Tang, yang memerintah kini. Partai mendiang diktator Chiang Kai Shek ini pernah bermimpi untuk mengalahkan dan menguasai kawasan Cina daratan. Sementara hijau merupakan warna kaum oposisi, Partai Kemajuan Demokratis, DPP yang dibentuk oleh kaum aktivis ketika Kuo Min Tang masih memberlakukan darurat perang. Sejak masa itu, banyak yang sudah berubah. Taiwan menjadi demokrasi sejak tahun 90-an.

"Di sini orang menghargai demokrasi serta peluangnya untuk berpartisipasi dalam prosess tersebut," begitu ungkap Su Zheng-Ping, mantan pemimpin kantor berita Taiwan yang kini menggelar talkshow politik di internet. Dalam pemilihan sela hari Sabtu (27/11), banyak yang dipertaruhkan. Kuo Min Tang yang memerintah akan melihat seberapa jauh kebijakannya mendekati Cina didukung oleh rakyat Taiwan. RRC beranggapan bahwa Taiwan tak lebih dari sebuah propinsi miliknya, padahal generasi muda merasa sebagai warga Taiwan yang independen, bukan bagian dari Cina. Pengaruh generasi tua pun semakin menciut.

Seorang pakar kampanye dan politisi partai oposisi DPP, Hsaio Bi-khim, menjelaskan perbedaan antara kedua negara itu, "Cina itu diperintah oleh sebuah rejim yang otoriter, dimana hanya satu suara saja yang ditoleransi. Di Taiwan, meski sistim politiknya tampak acak-acakan, rakyat menghargai perbedaan dan pluralisme yang dimilikinya. Rakyat menjunjung perdebatan terbuka dan tidak takut mengemukakan pendapatnya."

Pandangan politik yang berlawanan dari Kuo Min Tang dan DPP, menyebabkan masyarakat terbelah dua. Sampai kini dukungan untuk kedua kubu hampir sama kuat. Artinya, kedua partai itu harus merebut hati para pemilih yang masih ragu-ragu dan kaum muda yang hanya mengenal kehidupan demokratis.

Klaus Bardenhagen/Edith Koesoemawiria
Editor: Hendra Pasuhuk