1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Sutradara Kamila Andini: Kita Adalah Beragamnya Kita

Miranti Hirschmann | Arti Ekawati
17 Februari 2022

Sejak tayang perdana di Berlinale Palast,Film Nana dapat banyak ulasan positif. Kepada DW Indonesia, sutradara Kamila Andini bercerita tentang keberagaman dan konflik internal perempuan di film ini.

https://p.dw.com/p/477L1
Cuplikan adegan dalam film Nana (Before, Now & Then)
Cuplikan adegan dalam film Nana (Before, Now & Then)Foto: Batara Goempar/Berlinale/picture alliance/dpa

Para peraih penghargaan di Festival Film Berlin atau Berlinale ke-72 baru saja diumumkan di ibu kota Jerman pada Rabu (16/02) malam waktu setempat. Dari Indonesia, Laura Basuki yang berperan sebagai Ino dalam film berjudul Nana (Before, Now & Then) berhasil meraih penghargaan Silver Bear pada kategori Pemeran Pendukung Terbaik 2022.

Film berjudul Nana karya sutradara kelahiran tahun 1986 ini memang berhasil masuk dan berlaga di kategori Kompetisi. Kategori ini termasuk bergengsi di ajang film internasional yang digelar setiap tahunnya di Berlin. Tidak mudah untuk masuk ke dalam kategori utama ini. Sebelum film Nana, film lainnya asal Indonesia sempat masuk ke kategori ini tepat pada satu dekade lalu.

Film Nana diangkat dari kisah nyata yang diambil dari bagian sebuah buku berjudul Jais Darga Namaku. Ini adalah film ketiga Kamila Andini yang diputar di Berlinale. Sebelumnya, film Laut Bercermin atau The Mirror Never Lies diputar di Berlinale tahun 2012 dan film Sekala Niskala atau The Seen and Unseen pernah meraih penghargaan kategori Generation Kplus International Jury tahun 2018.

Sejak diputar perdana di Berlinale Palast pada Sabtu 12 Februari 2022, film ini mendapat kritik dan ulasan positif dari berbagai media Jerman. Media seperti Rundfunk Berlin-Brandenburg (RBB24) menuliskan bahwa film ini terlihat brilian.

Di tengah kepadatan jadwalnya di perhelatan Berlinale ke-72, DW Indonesia berkesempatan berbincang dengan sutradara Kamila Andini di Berlin. Berikut petikan wawancaranya:

DW Indonesia: Apa tantangan utama menceritakan sejarah dari sudut pandang perempuan dan orang biasa?

Kamila Andini: Film ini memang bicara sejarah, tetapi sejarah bukan plot utama dari film ini. Dia subplot yang hadir di film ini. Film ini juga bicara melihat sejarah lebih dari segi psikologis kita sebagai warga sipil melihat sejarah bangsa kita sendiri. Banyak hal yang bentuknya masih misterius buat saya sendiri, generasi yang lahir di tahun 80-an.

Banyak hal yang rasanya masih banyak rahasia, banyak misteri. Setelah 20 tahun reformasi saya sendiri tidak tahu sejauh mana kita bisa membicarakan sejarah kita dengan terbuka. Itu selalu jadi pertanyaan. Jadi tantangan sebetulnya ya pertanyaan-pertanyaan tersebut, refleksi-refleksi tersebut, sebagai warga sipil melihat ke belakang. 

Aksen bahasa daerah seringnya digunakan sebagai lelucon. Tapi di film Anda, seperti Yuni dan Nana, bahasa ini digunakan oleh karakter utama tokoh. Apa konsep Anda membawa bahasa daerah?

Sebetulnya dalam semua film, saya selalu menggunakan bahasa daerah. Ini adalah yang ingin saya lakukan dalam sinema. Saya ingin selalu bercerita siapa kita sebagai orang Indonesia. Saya ingin bercerita tentang kita, kultur kita, karakter-karakter kita dan cerita-cerita yang ada di Indonesia.

Kalau kita bertanya siapa sih kita? Tentu jawabannya tidak singular. Kita tidak bisa dilepaskan dari keberagaman. Kita adalah beragamnya kita. Ini yang ingin saya lihat dari sinema kita. Bukan yang Jakarta lagi, mostly Jawa sentris. Saya ingin melihat keberagaman itu. Keberagaman itu 'kan tidak hanya visual, tapi audio juga.

Saya ingin mendengar bahasa ibu kita. Dengan berbahasa ibu kita, kita menunjukkan gestur berbeda, karakter berbeda di tiap daerah. Itu tekstur yang harus tetap kita miliki tanpa menghilangkan fungsi bahwa bahasa utama kita, bahasa Indonesia. Dalam film-film saya, walaupun bahasanya bahasa daerah, tapi kita mendengar juga bahasa Indonesia, lewat radio, televisi, atau pembicaraan pembicaraan yang formal.

Sutradara Kamila Andini (kiri) bersama ibunda di karpet merah Berlinale Palast, Berlin
Sutradara Kamila Andini (kiri) bersama ibunda di karpet merah Berlinale Palast, BerlinFoto: Miranti H./DW

Penggunaan bahasa Sunda dalam film Nana menuntut para aktor dan aktris berbahasa Sunda dengan baik. Berapa lama mereka mengikuti pelatihan bahasa ini?

Lamanya relatif karena tiap pemain biasanya masuk dalam sebuah produksi dalam stage berbeda-beda. Ada yang sejak awal sudah bisa, ia sudah berlatih dan ikut workshop lebih dulu, ada yang muncul di akhir-akhir dan punya waktu yang lebih sedikit. Jadi relatif sekali di tiap pemain karena durasinya juga beda-beda. Tidak ada waktu yang general. Di Indonesia sendiri kita 'kan memang persiapan sekitar 2 hingga 3 bulan, paling cepat sebulan bahkan berapa minggu.

Buat saya bukan lamanya, tetapi seintensif apa workshop-nya tergantung kebutuhan tiap pemain. Karena ada pemain yang diajari sekali dua kali langsung dapat dan bagus sekali. Ada yang butuh tiap hari mendengarkan sebelum tidur. Sangat relatif.

Di film Anda ada leitmotiv, di mana peran utama sering menggaruk badan bagian belakang, bisa ceritakan inspirasinya dari mana dan mengapa leitmotiv itu yang digunakan?

Film ini sangat internal dan sangat psychological. Pressure, conflict, itu tidak terjadi di permukaan tetapi di lapisan kedua atau di dalam. Efek dari konflik psychological hadir dalam bentuk bentuk lain. Dalam hal ini saya mencari hal-hal yang biasanya muncul di orang yang memang unconsciously memendam sesuatu dalam dirinya. Salah satunya berdampak pada kulit. Ini yang saya tahu dari Mami atau Nana, karakter aslinya. Saya juga tahu beberapa perempuan yang memiliki rekasi fisik yang kemudian muncul. Jadi itu yang dipakai.

Mengapa tokoh utama digambarkan sebagai perokok berat? Mengapa bukan sirih?

Saya punya banyak nenek-nenek buyut orang Sunda. Semua perokok berat. Mami (tokoh Nana asli) sendiri perokok berat hingga usia 90 tahun. Banyak banget perempuan Sunda yang saya kenal perokok berat. Yang berhenti ada yang nyirih. Sirih adalah opsi setelah ia berhenti (merokok). Teksurnya berbeda. Saya melihat lebih banyak perempuan Sunda yang merokok dibandingkan di daerah lain. Ibu saya saat menonton merasa biasa saja. Karena neneknya pun seperti itu. 

Dalam sebuah wawancara, Anda pernah mengatakan dunia perfilman itu cukup berat bagi perempuan, jadwal syuting tidak menentu dan kadang hingga larut malam. Ada yang ingin disampaikan bagi perempuan muda yang ingin meniti karir di bidang film?

Saya bisa mengatakan bahwa film itu masih menjadi dunia laki-laki karena dominasi juga. Bagaimanapun bagian produksi didominasi oleh laki-laki juga. Perempuannya sedikit atau minor. Di sisi lain, perempuan-perempuan yang menikah harus berbagi peran. Sebagai ibu, kita bekerja dengan jumlah jam yang sama sekali tidak memiliki keteraturan. Sementara dalam membesarkan anak, keteraturan menjadi sangat penting.

Jadi kalau saya, ada beberapa hal. Buat industrinya sendiri saya berharap industri ini lebih ramah bagi perempuan. Mereka tidak harus menjadi laki-laki saat bekerja di industri ini, mereka bisa menjadi dirinya sendiri.

Kedua, perempuan-perempuan yang ingin ada di industri ini butuh support system. Terutama (bagi perempuan) yang memiliki anak, butuh support system yang besar. Tidak banyak orang yang mengerti mimpi ini. Bayangkan saya hamil 8 bulan harus syuting di daerah konflik. Orang tua mana yang memahami dan memberi izin? Saya sangat beruntung keluarga saya memahami mimpi saya dan menganggap pengorabanan yang saya lakukan itu worthed karena ada yang dituju. Saya juga tahu banyak orang yang tidak mengerti hal-hal seperti ini.

Sutradara perempuan merupakan isu besar di Berlinale. Tidak banyak sutradara perempuan yang bisa masuk kategori utama. Anda adalah sutradara perempuan pertama dari Asia Tenggara yang filmnya masuk kategori Kompetisi Berlinale. Bagaimana menurut Anda?

Saya senang. Saya merasa bahwa sebagai sutradara perempuan, saya tidak punya pertanyaan apakah sutradara perempuan punya pencapaian di industri film atau tidak. Karena sebetulnya sutradara film industri Indonesia banyak nama sutradara perempuan.

Di Berlinale sendiri ada Sofia W.D. Saat reformasi, film-film kita bangkit lagi oleh produser-produser dan sutradara perempuan, Mira Lesmana, Christine Hakim. Ini tidak membuat saya punya keraguan. Saya merasa saya berada di sini karena ada pintu-pintu yang sudah dibukakan oleh mereka. Jadi dengan adanya saya di sini, saya pun ingin bisa membukakan pintu lagi buat generasi-generasi selanjutnya.

Wawancara untuk DW Indonesia oleh Miranti Hirschmann dan telah diedit sesuai konteks. Arti Ekawati berkontribusi terhadap wawancara ini.