1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Potret Kehidupan Warga Yahudi di Iran

17 Mei 2017

Meski memusuhi Israel, Iran juga menampung komunitas Yahudi terbesar kedua di Timur Tengah. Buat Siamak Morsadegh, hal tersebut adalah hal lumrah. Ia adalah satu-satunya anggota parlemen Iran berdarah Yahudi

https://p.dw.com/p/2d6ZU
Juden im Iran Sukkot Shalom Synagoge
Warga Yahudi di Iran saat beribadah di sebuah Sinagoga di TeheranFoto: DW/T. Tropper

Selama bertahun Iran merawat kebijakan anti Israel yang kian memanaskan situasi. Padahal negeri para Mullah itu memiliki komunitas Yahudi terbesar kedua di Timur Tengah. Bagaimana warga Yahudi hidup di bawah kekuasaan Islam? Bersama Dr. Siamak Morsadegh, Deutsche Welle berbincang perihal kehidupan warga Yahudi di Iran.

Morsadegh adalah satu-satunya anggota parlemen yang beragama Yahudi. Selain aktif sebagai dokter di Dr. Sapir Hospital and Charity Centre yang dikelola yayasan Yahudi di Teheran, ia juga menjabat direktur Komite Yahudi Teheran. Ketika 40 warga Yahudi Iran mengungsi ke Israel tahun 2007, adalah Morsadegh yang mengklaim bahwa kaum Yahudi di Iran tidak terancam oleh kebijakan bekas Presiden Mahmoud Ahmadinejad.

DW: Bagaimana kehidupan minoritas Yahudi di sebuah Republik Islam?

Siamak Morsadegh: Jauh lebih baik ketimbang anggapan orang. Di sini Yahudi adalah minoritas yang diakui. Jadi kami bisa menjalankan ibadah sesuka hati. Ada lebih dari 20 Sinagoga di Teheran saja. Secara umum kehidupan warga Yahudi di Iran lebih baik ketimbang yang di Eropa. Dalam sejarah negara kami tidak ada satu hari pun, dimana warga Iran memiliki satu agama, satu ras atau satu bahasa. Sebab itu ada banyak toleransi. Yahudi dan Muslim saling menghormati satu sama lain, meski mengakui perbedaan yang ada. Sebab itu jarang ada pernikahan antara Yahudi dan penganut agama lain di Iran, jumlahnya kurang dari 0.1%.

Apakah warga Yahudi hidup terisolasi dengan kelompok agama yang lain di Iran?

Malah sebaliknya. Kami memiliki hubungan ekonomi yang erat dengan kaum muslim. Teman-teman terdekat saya adalah muslim. Rumah sakit, di mana saya bekerja, milik yayasan Yahudi, tapi lebih dari 95% pegawai dan pasien kami adalah muslim. Di sana kami dilarang menanyakan agama. Karena ayat paling penting dalam Torah yang selalu ada di atas pintu rumah kami berbunyi, 'perlakukan manusia lain sebaik perlakuanmu pada diri sendiri."

Menurut konstitusi Iran, kaum Yahudi tidak menikmati hak yang sama, misalnya dilarang bekerja sebagai hakim atau memangku jabatan politik. Apakah hal itu tidak mengganggu anda?

Tentu saja status kami sebagai minoritas agama menimbulkan sejumlah masalah. Lantaran krisis ekonomi, banyak warga Iran yang kesulitan mendapat pekerjaan. Dan buat warga Yahudi situasinya lebih sulit karena adanya pembatasan dari konstitusi. Kami misalnya tidak bisa bekerja sebagai perwira di militer, melainkan sebagai serdadu biasa saja. Kami berusaha sebaik-baiknya untuk mengubah hal tesebut. Tapi perubahannya berjalan perlahan dan tidak bisa dalam semalam. Salah satu kemajuan terbesar pada tahun-tahun lalu adalah bahwa anak-anak Yahudi yang belajar di sekolah negeri, bisa tinggal di Rumah pada hari Minggu untuk menunaikan Sabbat.

Setelah Revolusi Islam 1979 banyak warga Yahudi Iran yang mengungsi ke luar negeri. Anda malah menetap. Kenapa?

Dulu banyak warga Iran yang mengungsi, termasuk juga warga muslim. Saya orang Iran. Saya memang berdoa dalam bahasa Ibrani dan bisa berbicara bahasa Inggris, tapi saya hanya bisa berpikir dalam bahasa Farsi. Menurut saya ada perbedaan besar antara agama dan negara dan keduanya tidak saling bertentangan. Mengungsi ke Israel buat saya bukan pilihan. Bayangan bahwa kaum Yahudi harus tinggal di satu tempat berarti mengakui pandangan bahwa kami berbeda dengan manusia-manusia lain. Tapi menurut saya sebaliknya, kita semua sama.

Konstitusi Iran melarang penduduk melakukan kontak ke Israel. Apakah hukum tersebut mempersulit anda sebagai seorang Yahudi?

Agama kami mewajibkan untuk mematuhi aturan di negara, di mana kami hidup. Dan menjadi seorang Yahudi sama sekali berbeda dengan seorang Zionis. Selalu ada umat Yahudi di seluruh dunia yang mengritisi perilaku pemerintah dan militer Israel. Menjadi Yahudi berarti menaati Torah dan Talmud. Menyerang negara lain dan membunuh warga tak berdosa tidak termasuk ajaran Musa. Sebagai umat Yahudi kami juga tidak bisa menerima perilaku Israel. (Zionisme) bukan gerakan agama, melainkan politis. Saya pribadi meyakini kami sebagai korban genosida paling buruk dalam sejarah manusia seharusnya memiliki empati terhadap penduduk di Palestina.

Bagaimana warga Yahudi di Iran menilai mantan Presiden Mahmud Ahmadinejad yang mengingkari Holocaust?

Kami tidak menyukai perilaku Ahmadinejad dan hal tersebut juga kami ungkapkan kepadanya. Ia memang tidak mengingkari Holocaust secara langsung, melainkan mempertanyakan kebenarannya. Itu pun tidak bisa saya terima. Adalah tidak masuk akal mempertanyakan sesuatu yang sudah sedemikian jelas dan diakui di seluruh dunia. Tapi hal itu tidak berdampak pada kehidupan kami sehari-hari. Bantuan dana untuk rumah sakit Yahudi sebenarnya juga dimulai sejak masa pemerintahannya. Ahmadinejad anti Israel, bukan antisemit. 

Wawancara oleh Theresa Tropper