1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
SosialIndia

India: Jurnalis Independen Sangat Berisiko

Shakeel Sobhan
8 Juni 2022

Ketika jurnalis makin sering gunakan media sosial untuk sebarkan berita buatannya, risiko profesi pewarta harus ditanggung sendiri. Tahun lalu, India mengalami tahun paling mematikan bagi profesi jurnalis.

https://p.dw.com/p/4COYA
Seorang anak membawa bendera India
India menjadi negara yang tidak aman bagi jurnalis independenFoto: Naveen Sharma/SOPA Images/LightRocket/Getty Images

Jurnalis di seluruh India semakin kerap menjadi sasaran pembunuhan, terkait profesi mereka. Committee to Protect Journalists melaporkan, 2021 adalah salah satu tahun paling mematikan bagi jurnalis di India dalam dekade terakhir. Tahun lalu enam orang terbunuh antara tahun 2021 dan 2022.

Pada tahun 2022, India menduduki peringkat 150 di antara 180 negara dalam Indeks Kebebasan Pers yang diterbitkan oleh Reporters Without Borders, atau RSF. Kekerasan terhadap jurnalis adalah salah satu alasan yang dikutip oleh RSF untuk menurunnya kebebasan pers di India.

Pada saat yang sama, semakin banyak jurnalis membuat saluran media sosial mereka sendiri untuk membagikan berita langsung kepada pengikut mereka dan umumnya mereka berada di luar payung pelindung organisasi media besar. Wartawan independen ini sering memiliki pembaca dan pengikut yang bersemangat, tetapi mereka juga yang menanggung risiko untuk pekerjaan mereka sendiri.

Pada 20 Mei, jurnalis independen Subhash Kumar Mahto ditembak mati di Bihar. Sebelumnya ia membuat laporan tentang mafia minuman keras di negara bagian tersebut. Mahto sering memposting laporannya di platform berita ‘hyperlocal' bernama Public App.

Tidak ada sistem pendukung

"Memiliki media yang menaungi Anda akan sangat membantu," kata Anand Dutta, seorang jurnalis lepas yang berbasis di Jharkhand. "Ketika Anda tidak berafiliasi dengan organisasi media, tidak ada kartu identitas yang dapat dibuat untuk menetapkan kredensial Anda atau membuktikan bahwa Anda adalah yang Anda katakan."

Seringkali, jika terjebak dalam situasi yang mengerikan, jurnalis independen baru menyadari, mereka sendirian tanpa sistem pendukung. Dutta berbicara tentang seorang penulis muda yang menghadapi kemarahan pihak berwenang, setelah ia mempublikasikan laporan investigasinya tentang seorang kontraktor lokal yang sedang membangun sebuah sekolah. Ditinggal sendirian tanpa dukungan, reporter itu akhirnya harus membuang ceritanya.

Mengambil otoritas sebagai jurnalis independen adalah hal yang berat.

Vikas Kumar, seorang jurnalis yang berbasis di Delhi menuturkan, para pekerja lepas ini tidak punya pilihan selain bergabung dengan perusahaan media. "Ini tidak hitam dan putih seperti yang dipikirkan orang. Wartawan harus bekerjasama dengan polisi. Mereka tidak bisa mengambil risiko konflik dengan pihak berwenang," katanya.

"Pemerintahan penuh dengan kasus korupsi, dan siapa pun yang mencoba melaporkan hal ini menghadapi ancaman untuk menghentikan investigasi," kata jurnalis dan akademisi pemenang penghargaan Aheli Moitra itu, yang telah bekerja selama bertahun-tahun di Nagaland.

Pihak berwenang hanya menonton

Wisnu Narayan menjalankan portal berita online The Bihar Mail, dengan lebih dari 150.000 pelanggan di kanal Facebooknya. Pada November 2021, dia membuat Facebook Live, melaporkan kematian terkait konsumsi alkohol di Bihar, di mana semua jenis minuman alkohol dilarang. Segera setelah laporannya, diamenemukan bahwa dia telah kehilangan akses ke halaman Facebook-nya.

"Negara memiliki alat dan teknik untuk mengawasi Anda," katanya. "Bahkan media Anda tidak berada di bawah kendali Anda."

Berkarya Tanpa Batas: Kisah Seorang Jurnalis Tunanetra

Risiko makin besar ketika watawan melaporkan dari kawasan seperti Nagaland, di timur laut India di mana pasukan keamanan punya kewenangan sangat besar. Di Nagaland, Moitra mengatakan, wartawan adalah "target pasukan keamanan dan di bawah pengawasan terus-menerus dari berbagai badan intelijen."

Karena darurat militer di wilayah tersebut, "wartawan sama sekali tidak memiliki perlindungan dalam menjalankan tugas mereka," katanya.

Jurnalis sangat rentan ketika meliput jaringan kejahatan terorganisir, seperti mafia minuman keras. Mereka bisa mengalami berbagai bentuk intimidasi, kata Kumar.

Ancaman-ancaman ini bisa menjadi lebih jahat jika jurnalis bersikeras untuk melanjutkan liputan mereka. "Saat mengerjakan sebuah berita, Anda perlu mengevaluasi risiko yang terkait di sebaliknya. Sama sekali tidak ada alasan kuat untuk kehilangan nyawa demi sebuah berita," kata jurnalis Dutta yang berbasis di Jharkand. (rs/as)