1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

181109 Kinderrechtskonvention UN Kinder Bildung

20 November 2009

Juliette harus bekerja keras untuk membiayai sekolahnya. Sudah beberapa kali Juliette disuruh pulang karena tak kunjung membayar uang sekolah.

https://p.dw.com/p/Kc8W
Juliette di depan kelasnyaFoto: DW

Juliette harus bekerja lagi di rumah tetangganya, dan tidak bersekolah. Anak perempuan Uganda berusia 10 tahun itu membereskan botol-botol bir yang kosong, membawanya ke warung dan membeli yang baru. Ia lalu membersihkan rumah tetangganya, berbelanja dan memasak. "Saya rindu sekolah. Saya tidak mau jadi bodoh, sekolah bagus untuk masa depan. Saya mau giat belajar agar bisa jadi dokter.“

Dan Juliette harus bekerja keras untuk mewujudkan cita-citanya. Biaya sekolah harus ia upayakan sendiri. Uang sekolah per tahun sekitar 300 ribu rupiah, plus makan siang 150 ribu rupiah, juga per tahun. Belum lagi seragam, tas, buku dan alat tulis. Dan karena sekolah tak punya biaya, tiap murid harus membawa dua pak tisu WC dan sapu untuk membersihkan kelas. Semua itu butuh uang, dan orangtuanya kekurangan, kata Juliette.

Sekolah Juliette berbentuk barak kayu reyot dan dimakan rayap di sana-sini. Tidak ada jendela, lantainya tanah berpasir. Para murid duduk berdesakkan di bangku kayu yang jumlahnya lebih sedikit. Tak ada kapur tulis. Masalahnya, sekolah tidak menerima sepeserpun dari negara. Iuran sekolah para murid adalah sumber keuangan satu-satunya, kata kepala sekolah David Sematimba.

Dan sudah berbulan-bulan gaji para guru dan kepala sekolah tidak dibayarkan. Sematimba, sang kepala sekolah, hidup dari bercocok tanam di ladangnya. Ia memperkirakan, tak lama lagi banyak guru tak bisa mengajar karena mencari pekerjaan lain. Dan ia terpaksa harus memulangkan lagi Juliette dan teman-teman sekelasnya, bukan karena menunggak uang sekolah, tapi karena tak ada guru.

Padahal, seperti anak-anak lain di seluruh dunia, hak Juliette untuk mendapatkan pendidikan dijamin dalam Konvensi Hak Anak PBB, yang disahkan 20 tahun silam.

Simone Schlindwein/Renata Permadi

Editor: Ging Ginanjar