1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Konflik

Pertemuan Internasional Suriah: Bahas Masa Depan Pascaperang

27 Oktober 2018

Para pemimpin dari empat negara dijadwalkan akan bertemu di Istanbul, Turki, Sabtu (27/10), dalam Pertemuan Internasional Suriah untuk membahas masa depan negara itu setelah perang usai. Apa saja yang akan dibahas?

https://p.dw.com/p/37GXK
Syrien Protest gegen die Regierung
Foto: Getty Images/AFP/A. Watad

Selama pertemuan ini, Jerman diperkirakan akan lebih berfokus pada masalah-masalah yang terkait pengungsi, demikian ungkap Direktur Yayasan Heinrich Böll, Kristian Brakel, di Istanbul kepada DW.

"Bersama Turki, Jerman ingin memastikan aliran pengungsi dari Suriah ke Turki berhenti. Hingga saat ini Turki sudah mengakomodasi lebih dari tiga juta pengungsi asal Suriah. Karena alasan ini lah Turki dan juga Jerman merasa khawatir akan adanya serangan militer yang menargetkan Idlib."

Idlib terletak dekat dengan perbatasan Suriah dan Turki. Bila Idlib diserang maka akan sulit mengurangi atau menghentikan arus pengungsi ke Turki.

Lebih lanjut, Brakel mengatakan kalau Turki dan Jerman sudah berada di bawah tekanan terkait pengungsi. Di wilayah timur Turki, kerusuhan akibat masalah pengungsi terjadi berkali-kali.

Di Jerman, isu pengungsi tidak hanya berperan besar dalam pemilihan umum pada September 2017, tetapi juga menjadi faktor yang berpengaruh dalam pemilihan di negara-negara bagian.

"Kedua pihak - Jerman dan Turki - tertarik untuk menjaga situasi setidaknya cukup stabil sehingga eksodus massal orang-orang dari Suriah tidak mungkin terjadi," kata Brakel. Karena itu situasi di sekitar Idlib kemungkinan akan menjadi aspek kunci dari pertemuan internasional Sabtu ini.

Namun, hingga kini situasi di wilayah yang berada di bawah kendali kelompok jihadi ini masih rumit. Pemerintah Suriah yang didukung Rusia dan Iran sedang mempertimbangkan serangan terhadap pemberontak di wilayah tersebut.

Sejauh ini Assad dan sekutu-sekutunya telah menghentikan operasi militer yang dapat menyebabkan banyak korban sipil.

Penyusunan konstitusi baru

Salah satu hal yang akan dibahas terkait dengan krisis di Idlib adalah masalah penyusunan konstitusi baru bagi Suriah. Diskusi diharapkan akan berfokus pada pembentukan konstitusi atau pembentukan majelis konstituante untuk menyusun konstitusi tersebut.

Konstitusi ini dinilai sangat penting bagi hubungan di luar negeri maupun dalam negeri. Bentuk konstitusi ini dapat memiliki pengaruh signifikan terhadap banyak pengungsi - apakah mereka dapat pulang ke rumah pada suatu saat atau, jika memungkinkan, tinggal di tempat mereka sekarang. Kesepakatan ini juga dapat berpengaruh pada seberapa cepat keadaan Suriah dapat ditenangkan dan menjadi stabil ketika pertempuran berakhir.

Pada September lalu, tujuh negara barat dan Arab, termasuk Jerman, meminta Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) untuk secepat mungkin membuka jalan bagi rancangan konstitusi. Deklarasi menyerukan pembentukan komite dengan perwakilan dari semua pihak dalam konflik.

Salah satu tujuannya adalah untuk meletakkan dasar bagi pemilihan yang bebas dan adil di bawah pengawasan PBB di mana semua warga Suriah yang memenuhi syarat untuk memilih - termasuk mereka yang telah melarikan diri dari negara itu - diizinkan untuk berpartisipasi. 

Namun pemerintah Suriah menolak seruan untuk penyusunan konstitusi internasional ini. Menteri Luar Negeri Walid al-Moallem sebagaimana dikutip oleh media pemerintah mengatakan hal ini adalah urusan Suriah sebagai negara yang sepenuhnya "berdaulat."

Rusia rencana angkat kaki

Sekutu utama Suriah yaitu Rusia juga mendukung konstitusi baru yang disusun oleh Suriah sendiri. Tetapi ahli Timur Tengah Rusia, Taimour Dwidar, mengatakan bahwa ada kemungkinan pihak Moskow bersedia untuk berkompromi.

"Kremlin ingin mengakhiri operasi militernya di Suriah. Operasi ini adalah beban besar terhadap ekonomi Rusia. Selain itu, perang ini juga telah mengganggu hubungan yang membaik dengan Amerika Serikat dan Israel," kata Dwidar kepada DW.

Selain itu, ujar Kristian Brakel, masalah keuangan mungkin juga menjadi faktor yang membuat Rusia tidak ingin begitu terlibat dalam pembentukan konstitusi Suriah. 

"Rusia menghadapi masalah pembangunan kembali Suriah. Tentu saja mereka ingin negara lain yang memberikan kontribusi. Ini tentang menginvestasikan miliaran dolar selama sekitar 15 hingga 20 tahun. Baik orang Rusia maupun Iran tidak dapat memberikan uang sebanyak itu, dan negara-negara Teluk hingga saat ini tidak siap untuk memberikan kontribusi substansial. "

Karena itu lah Rusia mengandalkan Jerman baik untuk berkontribusi secara finansial dan mungkin membujuk sekutu Barat untuk melakukan hal serupa. "Rusia tentu ingin Jerman berada di pihaknya," kata Kristian Brakel.

ae/yp