1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Jerman: Jalan Panjang Tinggalkan Pasifisme

30 April 2022

Jerman sepakat mengirimkan persenjataan berat ke Ukraina untuk melawan invasi Rusia. Proses menuju apa yang disebut sebagai "pergantian era" itu tidak mudah karena kuatnya tradisi pasifisme. Analisa oleh Sabine Kinkartz

https://p.dw.com/p/4AcH9
Panzerhaubitze 2000 milik Jerman
Militer Jerman menggunakan Panzerhaubitze 2000 dalam sebuah latihanFoto: Klaus-Dietmar Gabbert/dpa/picture alliance

Kanselir Jerman, Olaf Scholz, sedang berada di Jepang ketika di Berlin parlemen bermufakat untuk mengirimkan senjata berat kepada Ukraina, Kamis (28/4). Tahun ini Jerman memegang kursi kepresidenan kelompok negara maju G7. Kunjungan ke negara-negara anggota merupakan kewajiban protokoler yang sudah direncanakan sejak lama.

Namun begitu, ketidakhadiran sang kanselir mendulang kritik. Sebuah "pidato kenegaraan" oleh Scholz dianggap "sebuah keharusan," kata anggota fraksi Uni Kristen Demokrat dan Uni Kristen Sosial Jerman (CDU/CSU) , Johann Wadephul. Beberapa hari silam dia menuduh kanselir Jerman "ikut bertanggungjawab atas ketidakberdayaan Ukraina."

Oleh kelompok oposisi, Scholz dituduh mengabaikan perdebatan soal pengiriman senjata berat kepada Ukraina selama berpekan-pekan. "Perilakunya itu menandakan keraguan, kebimbangan dan rasa takut," kata Ketua Umum CDU, Friedrich Merz. 

Tradisi pasifisme di Partai Sosial Demokrat

Apakah kritik Merz beralasan? Nyatanya kerumitan mewarnai proses politik yang digagas Scholz dua bulan lalu, ketika dia mengusulkan "pergantian era" dalam kebijakan luar negeri Jerman, termasuk di dalamnya adalah pengiriman senjata kepada Ukraina dan alokasi anggaran khusus bagi militer Jerman senilai 100 miliar Euro. Untuk memahami kerumitan politik di baliknya, kita perlu mengurai ideologi politik Partai Sosial Demokrat-SPD, partai sang kanselir.

Panser Jerman, Marder, sedang dikirimkan ke Lithuania, 2017
Panser Jerman, Marder, sedang dikirimkan ke Lithuania, 2017Foto: Armin Weigel/dpa/picture alliance

SPD banyak menampung politisi anti-perang di jajarannya. Di parlemen, mereka menginduk kepada Rolf Mützenich. Dia adalah seorang pasifis sejati yang, serupa dengan banyak kader SPD lainnya,  meyakini perdamaian di Eropa hanya bisa dicapai dengan bekerjasama, bukan memerangi Rusia.

Ketika Rusia menumpuk pasukannya di perbatasan Ukraina beberapa bulan silam, Mützenich menuduh "perlombaan senjata yang tidak terkontrol dan liar" sebagai penyebab eskalasi konflik. Dia mengaku bisa "memahami", bahwa Rusia merasa terancam oleh NATO.

SPD dan Rusia

Menurut Mützenich, Jerman harus membina hubungan yang baik dengan Rusia, sebagaimana dengan Amerika Serikat. Pandangan ini melandasi kebijakan eks Kanselir Gerhard Schröder yang juga kader SPD hampir dua dekade silam. Dengan moto "Perubahan melalui Perdagangan," Berlin ingin mengikat Rusia lebih erat lewat kerjasama ekonomi. Tapi hasilnya malah kebergantungan besar Jerman terhadap suplai energi dari Rusia.

Ketika Rusia mengumumkan invasi terhadap Ukraina Februari lalu, SPD harus mengkaji ulang ideologi politiknya dalam dua hal sekaligus, yakni relasi dengan Rusia dan nilai strategis militer dalam hubungan luar negeri. Tugas itu tidak mudah, terutama bagi Olaf Scholz yang menggantungkan kebijakannya kepada dukungan dari partai sendiri.

"Pergantian era" lewat kudeta politik

Scholz adalah seorang politisi pragmatis. Tapi ketika Rusia menginvasi Ukraina, dia sadar dirinya harus bertindak. Scholz memahami, kebijakannya memperkuat Bundeswehr dan meninggalkan doktrin pasifis Jerman untuk tidak menjual senjata ke wilayah perang, akan melanggar ideologi damai SPD yang menjadi haluan partai sejak Perang Dunia II.

Scholz tidak ingin mengambil risiko meletusnya perdebatan internal soal kebijakan Ukraina. Sebab itu dia harus mengejutkan partainya sendiri dan mengambil keputusan tanpa melibatkan banyak orang.

Ketua Fraksi SPD, Mützenich, misalnya tidak dilibatkan, serupa dengan banyak tokoh penting koalisi pemerintahan. Pun rekan koalisi SPD, Partai Hijau, yang merawat tradisi pasifisme yang panjang, cenderung dilewatkan dalam proses pembuatan keputusan. Ketika Scholz mengumumkan "perubahan era" di parlemen pada 27 Februari silam, tidak sedikit anggota parlemen yang terkejut dan kebingungan.

Keputusan sulit

Tapi ketika kubu pasifis di Partai Hijau bisa beradaptasi dengan tuntutan mempersenjatai Ukraina, SPD sebaliknya kesulitan menyeragamkan sikap. Terutama Rolf Mützenich selalu berupaya mengalihkan pembuatan keputusan ke arah yang berlainan. "Saya kira, diskusi dalam beberapa hari terakhir punya kecenderungan militeristik yang masif," katanya baru-baru ini. "Tidak ada jawaban yang mudah untuk pengiriman senjata berat ke Ukraina. Siapapun yang mengklaim sebaliknya, bertindak tanpa tanggungjawab."

Perilaku Olaf Scholz juga tidak memudahkan misi politiknya. Dalam beberapa pekan terakhir, sang kanselir terlihat semakin emosional, akibat derasnya tekanan internasional dan juga kritik dari koalisi sendiri.  Ketika mayoritas kader SPD berusaha mengerem, koalisi pemerintahan Partai Hijau dan Partai Demokrat Liberal (FDP) sebaliknya mulai kehabisan sabar terhadap lambatnya keputusan Jerman. Scholz berdiri di antara dua fron politik dan pemerintahan koalisi - yang dilantik dengan janji kesatuan sikap dan tindakan - tiba-tiba terlihat mulai retak.

"Karena saya tidak lakukan apa yang kalian inginkan, saya menjadi pemimpin."

Oleh Ketua Komisi Pertahanan di Bundestag yang juga kader FDP, Agned-Maria Strack-Zimmermann, Scholz diklaim "berada di tempat yang salah pada waktu yang salah." Dia sempat berkunjung ke Ukraina bersama ketua komisi urusan Eropa dan hubungan luar negeri belum lama ini. Setelah lawatan itu, Strack-Zimmermann segera menuntut pengiriman senjata.

Saat itu, Scholz menjawab dengan nada merendahkan, betapa "para laki-laki dan perempuan muda ini harus diingatkan, bahwa karena saya tidak melakukan apa yang kalian inginkan, maka saya memimpin."

Kini, dengan keputusan bulat Bundestag, Scholz bisa bernafas lega. "Selaras dengan Piagam PBB, Jerman akan mengirimkan senjata untuk pertahanan diri kepada Ukraina dan menyetujui pengiriman dari negara ketiga." Hal terpenting adalah "percepatan pengiriman senjata berat, efektif dan sistem yang rumit oleh Jerman." Namun begitu, masih banyak pertanyaan yang belum terjawab.

Akhir netralitas

Saat ini kantor Kekanseliran masih disibukkan oleh pertanyaan, seberapa jauh sebuah negara bisa membantu Ukraina tanpa dianggap sebagai musuh oleh Presiden Rusia, Vladimir Putin. Pemimpin Kremlin itu sempat mengancam negara-negara NATO dengan "serangan kilat" jika terbukti melakukan intervensi. Belum lama ini, Scholz mewanti-wanti terhadap meletusnya perang nuklir. Dalam wawancara dengan mingguan "Der Spiegel" , dia melihat prioritas utama pemerintahannya terletak pada upaya mencegah perang melebar ke negara NATO.

Tapi siapa yang bisa menebak reaksi Putin? Atau seberapa jauh Jerman bisa mencampuri perang di Ukraina tanpa memprovokasi Rusia? Skenario tersebut menempatkan angkatan bersenjata Jerman-Bundeswehr dalam posisi pelik. Menteri Pertahanan, Christine Lambrecht, baru-baru ini menghitung bahwa militer Jerman "di atas kertas" memiliki 350 panser infanteri, padahal yang siap pakai hanya berjumlah 150 buah. Sementara dari 51 helikopter tempur yang ada, hanya sembilan yang bisa terbang secara berkala.

Masalah ini mencuatkan pertanyaan, apakah anggaran khusus sebesar 100 miliar Euro akan cukup untuk memodernisasi Bundeswehr. Bagi mereka yang berpengalaman memantau proses panjang pengadaan alutsista,  pertanyaan itu akan mendesak untuk dijawab dalam beberapa tahun ke depan.


rzn/as