1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Jejak Jihadis Indonesia di Suriah

11 Januari 2014

Dari belasan ribu pejuang asing di Suriah, diperkirakan ada sekitar 50 warga Indonesia yang ambil bagian. Jumlahnya diperkirakan akan terus bertambah.

https://p.dw.com/p/1AohM
Symbolbild Syrien Freie Syrische Armee Bürgerkrieg
Foto: Salah Al-Ashkar/AFP/Getty Images

Pemuda ini dibesarkan di keluarga berlatar belakang militan dan lulus dari pesantren garis keras. Muhammad Fakhri Ihsani kemudian menuntut ilmu di Pakistan. Panggilan untuk berjihad kemudian tak terhindarkan.

Pemuda berusia 21 tahun itu tidak menyelinap ke Afghanistan atau daerah perbatasan tanpa hukum, seperti dilakukan puluhan penyelinap jihadis asing lainnya. Pihak berwenang Indonesia meyakini, setelah terbang ke Turki , ia dan tiga mahasiswa Indonesia lainnya melakukan perjalanan lewat darat ke Suriah, dan dengan rekan-rekan jihadis dari seluruh dunia, untuk berperang.

Perjalanan mereka pada bulan Agustus lalu menunjukkan kukuhnya niat beberapa orang Indonesia untuk berperang di negara yang menjadi panggung teater baru internasional, Suriah. Di Indonesia, yang mayoritasnya Sunni, konflik Suriah juga turut menyulut semangat melawan Syiah.

"Kita harus belajar dari pengalaman pahit kita di masa lalu," kata Ansyaad Mbai, kepala badan anti teror. "Setiap orang Indonesia bertandang di Suriah perlu diwaspadai. Kita harus mengantisipasi jika suatu saat mereka kembali, mereka akan memiliki kemampuan dan keterampilan baru dalam peperangan."

Ansyaad Mbai dan pejabat anti teror Indonesia lainnya memperkirakan, terdapat sekitar 50 militan Indonesia yang turut melawan rezim Bashar Assad, bersama belasan ribu pejuang asing lainnya. Jumlah tersebut kemungkinan bertambah. Kebanyakan dari mereka adalah orang-orang yang yang sudah pernah hidup atau menuntut ilmu di Timur Tengah. Perkiraan ini didasarkan pada informasi yang diperoleh dari pihak berwenang Suriah dan investigasi Indonesia di tanah air dan Turki.

Lewat organisasi kemanusiaan

Ada kelompok-kelompok kemanusiaan Indonesia yang dikelola oleh kelompok garis keras atau orang-orang yang terkait jaringan militan Islamis. Mereka disinyalir telah mengumpulkan dana di seluruh Indonesia, dengan sedikit transparansi. Beberapa dari mereka bepergian ke Suriah, di bawah kendali pihak militan, merawat pejuang dan membagi-bagikan dana bantuan kepada warga sipil dan pemerintah daerah.

Sebuah organisasi telah melakukan perjalanan setidaknya delapan kali ke garis depan di wilayah Latakia, yang merupakan basis Nusra Front, sebuah organisasi yang diduga merupakan jaringan al-Qaeda.

Indonesia, meski memiliki lebih banyak penduduk Muslim daripada negara lain, dalam prakteknya disebut-sebut berbeda dari aliran garis keras seperti di Timur Tengah dan Asia Selatan.

Militan Islam memiliki sejarah panjang di Indonesia. Mereka datang kembali ke Indonesia untuk mendapatkan pengikut.

Kemana lulusan-lulusan Ngruki?

Pondok pesantren Ngruki, di Pulau Jawa, dituding merupakan jaringan pusat militansi, sejak awal 1990-an.

Ihsani dan tiga warga Indonesia lainnya, meninggalkan Pakistan dan mengunjungi
Ngruki. Orang Indonesia pertama yang diketahui tewas dalam konflik Suriah, Riza Fardi, juga lulusan Ngruki. Kematiannya dilaporkan oleh situs jihad Arab pada akhir November –lengkap dengan fotonya yang diambil di wilayah tersebut. Ia tampak sedang tersenyum bersama dengan pejuang lainnya.

Lulusan Ngruki lainnya, Bambang Sukirno –yang merupakan rekan Abu Bakar Ba'asyir—berpartisipasi dalam misi kemanusiaan ke Latakia tahun lalu. Demikian menurut isi wawancara video yang dia berikan kepada media Islam. Sukirno pernah menerbitkan otobiografi pelaku bom Bali, Imam Samudra. Buku itu berisi pengalaman pertempuran jihadnya di Afghanistan.

"Beberapa alumni kami terlibat dalam perjuangan di Suriah, tapi sekali lagi saya tegaskan bahwa kita tidak dapat memantau atau terus mengikuti langkah siswa kami setelah mereka lulus," kata kepala pondok pesantren Ngruki, Wahyudin.

Kecemasan seorang ayah

Ayah Ihsani yang bernama Sholeh Ibrahim merupakan guru sekolah dan pemimpin organisasi Jamaah Ansharut Tauhid di Solo. JAT telah sekian lama mengkampanyekan penegakan Syariat Islam di Indonesia dan mendukung visi al- Qaeda. Sedikitnya 30 anggotanya telah diganjar hukuman karena terkait aksi terorisme selama empat tahun terakhir. Tahun 2012, Amerika Serikat menyatakannya sebagai organisasi teroris.

Ibrahim mengatakan, terakhir kali ia berkomunikasi dengan putranya tanggal 21 Agustus lalu. Ihsani tidak menyebutkan tentang rencana perjalanannya. Ia hanya bertanya tentang keluarganya di Indonesia dan berbicara tentang aktivitasnya di perguruan tinggi di Islamabad, Pakistan.

Ibrahim mengakui kecemasannya: "Jujur, sebagai ayah, saya khawatir," kata Ibrahim. “Tapi saya percaya pada Allah dan kehendak-Nya, dan saya yakin Ihsani akan memilih jalan yang diberkahi.“

Perang di Suriah merupakan kesempatan langka untuk pelatihan dan pertempuran
generasi militan Indonesia. Namun tidak jelas, di mana atau dengan siapa orang Indonesia berjuang. Sebagian besar orang asing bergabung dengan Nusra Front atau Islamic State in Iraq, dua brigade oposisi yang paling dekat dengan jaringan al-Qaeda.

AP/CP(ap/dw)