1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sosial

Jejak Ali Murtopo Pada Diri Budi Gunawan

Indonesien Blogger Aris Santoso
Aris Santoso
18 Oktober 2019

Mengingat masih kuatnya peran para jenderal dalam ranah politik, relakah Anda bila pada Pilpres 2024 kelak, para kandidat terkuatnya tetap saja tokoh militer?

https://p.dw.com/p/3RKBB
Budi Gunawan
Foto: Getty Images/Afp/Robert

Nama Kepala BIN Jenderal (Pol) Budi Gunawan tiba-tiba saja melesat di langit politik Jakarta, terkait perannya sebagai mediator atau penghubung, dalam dua pertemuan penting yang melibatkan figur Prabowo, pada Juli lalu.

Dua pertemuan itu kemudian dikenal dengan istilah populer, yakni pertemuan di Gerbong MRT (dengan Jokowi), dan juga makan siang di Teuku Umar (rumah Megawati).

Sejumlah elite parpol memberikan sanjungan tiada henti pada Budi Gunawan, karena dianggap sanggup memecah kebuntuan hubungan antara dua pihak yang bersaing keras dalam Pilpres baru-baru ini, yakni kubu Jokowi dan  kubu Prabowo.

Satu hal yang mungkin luput dari pengamatan kita adalah, tepatkah bila seorang pimpinan lembaga intelijen bertindak sejauh itu?

Disebut bertindak terlalu "jauh”, karena biasanya seorang kepala intelijen jarang sekali muncul di depan publik, sesuai dengan karakter penugasannya.

Kepala lembaga intelijen sesekali bisa muncul, bila tengah terjadi krisis skala besar di tengah masyarakat, sebagai salah satu cara untuk meredakan ketegangan atau memberikan informasi valid soal penanganan sebuah peristiwa, misalnya.

Sementara apa yang kita lihat dalam pertemuan di MRT dan Teuku Umar, sama sekali jauh dari kategori krisis, juga tidak ada krisis menjelang dua pertemuan tersebut.

Segala krisis yang terjadi terkait Pilpres 2014, sudah berakhir dengan keluarnya putasan MK pada akhir Juni lalu. Secara singkat bisa dikatakan, apa yang dilakukan Budi Gunawan tidak lazim sebagai pimpinan lembaga intelijen.

Aris Santoso, sejak lama dikenal sebagai pengamat militer, khususnya TNI AD. Kini bekerja sebagai editor buku paruh waktu.
Penulis: Aris SantosoFoto: privat

Antara Sutopo Yuwono dan Ali Murtopo

Salah satu prinsip dalam kerja intelijen pernah disampaikan Letjen Sutopo Yuwono, mantan Kepala Bakin (BIN) era 1970-an awal. Sutopo kira-kira mengatakan seperti ini: dalam mencari informasi, aparat intel dilarang keras "menyentuh” obyek.

Frasa Yuwono ini sebenarnya sebuah sindiran terhadap Ali Murtopo, salah satu Deputi Sutopo Yuwono dalam eselon kepemimpinan Bakin awal dekade 1970-an.

Dalam pandangan Sutopo, langkah Ali sudah terlalu jauh, tidak sesuai lagi dengan kaidah yang biasa berlaku pada aparat intelijen, yang serba senyap dan tertutup dalam bekerja. Ali sangat aktif berpolitik, dan terjun ke lapangan langsung.

Ketika ditegur, Ali memiliki jawaban, bahwa segala kegiatannya dilaporkan langsung pada Presiden Soeharto. Kerancuan tindakan dan hirarki inilah yang menjadi pangkal perseteruan antara Sutopo Yuwono dan Ali Murtopo, yang puncaknya terjadi pada Peristiwa Malari (Januari 1974).

Apa yang kita lihat pada Budi Gunawan (BG) pada dua peristiwa di atas, bisa dibaca sebagai duplikasi  Ali Murtopo di masa lalu. Seperti halnya Ali Murtopo dulu, BG juga rancu dalam dua aspek: tindakan dan  hirarki.

Dalam aspek tindakan, sebagaimana pernah dikatakan tokoh pendiri intel TNI AD Kolonel Zulkifli Lubis, bahwa menjadi intelijen ibarat hidup sebagai "bayangan”. Maksudnya adalah, perwira yang ditugaskan sebagai intelijen siap tidak dikenal, karena wajahnya atau identitasnya – sebagaimana bayangan --  tidak pernah diketahui. 

Konsep bayangan dalam imajinasi Lubis itulah yang menjadi hal prinsip bagi seseorang yang berdinas pada bidang intelijen:  sebagai insan yang paripurna. Idealnya, orang dimaksud sudah sampai pada  kesanggupan mengatasi problem kemanusiaan, seperti  ambisi memburu jabatan, atau hasrat duniawi lainnya.

Karena adanya nilai yang khas dalam dinas intelijen itulah, kita bisa melihat, bagi perwira-perwira yang sekiranya berbakat di bidang intelijen, dia akan dibina sejak saat masih perwira muda, dan terus diarahkan sehingga kelak benar-benar siap, ketika dipercaya sebagai pimpinan satuan intelijen, atau mengendalikan sebuah operasi intelijen strategis. Hal itu juga tampak pada pola pembinaan karier, bagi perwira tipikal intelijen, jarang ditugaskan di bidang yang lain, seperti operasi, perbekalan (logistik),  personalia, dan seterusnya.

Kemudian soal aspek hierarki, seperti halnya Ali Murtopo dulu, BG kali ini juga mendua. Ali misalnya, sebagai Deputi Kabakin, dia seharusnya melapor pada Sutopo Yuwono. Namun karena Ali juga mengendalikan lembaga intelijen sendiri yang dikenal sebagai Opsus (Operasi Khusus), dan dalam posisi ini, Ali langsung melapor kepada (Presiden) Soeharto. Dua "komandan” yang menjadi atasan langsung Ali Murtopo, bisa dijadikan rujukan dalam membaca langkah BG.

Bila Ali melapor pada Sutopo Yuwono, itu adalah sesuai dengan hierarki  dalam lembaga negara pada umumnya. Namun di luar jalur hierarki yang resmi, Ali juga melapor pada Soeharto. Gaya Ali Murtopo  yang "potong kompas” dengan langsung melapor kepada Soeharto inilah, yang coba kembali dipraktikkan oleh BG, meskipun tidak mirip benar. Bila Ali melapor pada Sutopo Yuwono, itu memang sesuai jalurnya. Namun bila melapor juga pada Soeharto, hal ini bisa ditafsirkan bahwa Ali (sebagai aparat intelijen) sudah mengabdi pada kekuasaan.

Sebagai Kepala BIN,  atasan langsung BG adalah Kepala Negara, jadi seharusnya BG hanya melapor  pada Presiden Jokowi. Namun rupanya selama ini, BG juga melapor pada figur yang lain, yakni Megawati selaku Ketua Umum PDIP. Pada titik inilah posisi BG menjadi rancu, karena BG melapor pada dua pihak. Dengan terus berkoordinasi dengan Megawati, artinya BG juga mengabdi kepada kekuasaan (mirip Ali dulu), mengingat PDIP adalah partai yang sedang  berkuasa (the ruling party).  Dengan kata lain Megawati adalah representasi dari kekuasaan, dan tidak memiliki jalur formal dengan BIN.

Jenderal sebagai backbone

Memang ada kesan BG begitu leluasanya dalam bermanuver. Namun bila dihubungkan dengan lanskap politik di Tanah Air, kita menjadi paham, bahwa perilaku BG sebenarnya merupakan kelanjutan politik militer, yang memang sudah tertanam kuat sejak Orde Baru. 

Peran politik militer yang terus lestari, merupakan warisan terbesar Suharto. Era Soeharto boleh saja berlalu, namun warisannya berupa peran para jenderal (termasuk purnawirawan) dalam politik, seolah tidak mengenal kata akhir. Sebagaimana kita lihat hari ini, bagaimana figur seperti Luhut B Panjaitan dan Hendro Priyono, diposisikan sebagai backbone pemerintahan Jokowi.

Jokowi hanyalah melanjutkan model presiden sipil sebelumnya, yang selalu memiliki hubungan dengan figur jenderal kharismatik sebagai sandaran politiknya. Pada diri Megawati misalnya, jauh hari sebelum menjadi presiden, memang sudah dikenal dekat Theo Sjafei, Hendro Priyono dan Agum Gumelar. Demikian pula dengan Gus Dur, yang sedianya dulu akan menjadikan Agus Wirahadikusumah sebagai sandarannya, namun ternyata  gagal.

Dalam pemerintahan Jokowi periode pertama (2014-2019), secara gamblang   bisa dilihat, bagaimana kuatnya peran Luhut Panjaitan. Cukup sering Presiden Jokowi memberi jawaban "tunggu Pak Luhut”, ketika ditemui awak media pada kasus-kasus yang pelik. Rasanya tidak berlebihan bila dikatakan, Luhut merupakan "presiden bayangan” periode pertama Presiden Jokowi.

Dalam periode kedua Jokowi, kemungkinan akan terjadi regenerasi para purnawirawan, karena faktor usia, figur-figur seperti Luhut Panjaitan, Hendro Priyono, Wiranto, Agum Gumelar, dan seterusnya, akan segera menepi. Untuk kemudian dilanjutkan oleh Jenderal-jenderal lain yang lebih muda dan lebih segar, seperti Moeldoko, Budi Gunawan,  Lodewijk Paulus, Hadi Tjahjanto, dan seterusnya. Nama-nama yang disebut terakhir inilah yang kelak akan menjadi backbone periode kedua Jokowi (2019-2024)

Capres 2024?

Mengingat masih kuatnya peran para jenderal dalam ranah politik, kita juga harus rela, bila pada Pilpres 2024 kelak, para kandidat terkuatnya tetap saja tokoh militer.  Dari narasi di atas, kita sudah bisa menduga bahwa Budi Gunawan, merupakan salah nama yang akan disiapkan PDIP. Nama lain yang kemungkinan juga akan maju adalah Moeldoko dan Gatot Nurmantyo.

Saya kira Gatot akan mewarisi partai koalisi yang tempo hari mengusung Prabowo, minus Partai Demokrat. Dalam kontestasi Pilpres terakhir, arah Partai Demokrat sulit dibaca, bahkan sampai hari ini, ketika Jokowi tinggal menunggu pelantikannya. Namun dari penelusuran rekam jejak sejumlah jenderal, tampaknya Partai Demokrat lebih condong pada Moeldoko, mengingat kedekatan hubungan antara SBY dan Moeldoko. Petunjuknya sejatinya terbilang sederhana.  Baik SBY maupun Moeldoko, adalah peraih Adi Makayasa (lulusan terbaik), ketika lulus dari Akmil dulu. Kita tahu, bahwa SBY sangat membanggakan status tersebut, dan menjadikan dirinya selalu memilih figur yang kira-kira capaiannya setara.

Dengan kata lain, tiga partai besar sudah memiliki bayangan siapa yang diusung kelak pada Pilpres 2024, yakni PDIP (Budi Gunawan), Gerindra (Gatot Nurmantyo), dan Demokrat (Moeldoko). Sementara Golkar kita belum tahu, walaupun di Golkar ada nama Lodewijk Paulus (Sekjen). Bila Lodewijk memiliki cukup ruang   pada Pilpres 2024, tentu Lodewijk lebih condong pada Moeldoko, sebagai sesama lulusan Akmil 1981.

Aris Santoso, sejak lama dikenal sebagai pengamat militer, khususnya TNI AD. Kini bekerja sebagai editor buku paruh waktu.

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.

*Luangkan menulis pendapat Anda atas opini di atas di kolom komentar di bawah ini. Terima kasih.