1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Jalur Zigzag Ala Ahok

29 Maret 2016

Apakah calon independen konsisten mengkritisi kegagalan parpol melakukan proses kaderisasi kepemimpinan? Terbebaskah ia dari belenggu para pemilik modal dan oligarkinya sendiri? Sukma Widyanti mencermati pilgub DKI.

https://p.dw.com/p/1IL5u
Basuki Tjahaja Purnama
Foto: Imago

Pemilihan kepala daerah di era desentralisasi di Indonesia memungkinkan warga berpartisipasi aktif untuk mencalonkan serta memilih secara langsung kandidat yang maju melalui jalur di luar partai politik, yaitu jalur perseorangan atau yang sering disebut sebagai jalur independen.

Awal proses pencalonan kandidat Gubernur Jakarta 2017 ini diwarnai dengan adanya calon perseorangan seperti halnya yang terjadi di tahun 2012 ---yang sesungguhnya bukan hal yang baru. Namun, proses pilkada kali ini menjadi menarik akibat gencarnya perdebatan mengenai keberadaan calon perseorangan yang dianggap sebagai upaya deparpolisasi, sebuah usaha untuk mengecilkan fungsi partai politik dalam kehidupan demokrasi.

Tapi, pertanyaan berikutnya adalah, apakah benar keberadaan calon perseorangan kali ini dalam kontestasi demokrasi untuk memilih Gubernur di DKI Jakarta merupakan perwujudan semangat gerakan masyarakat sipil untuk mengoreksi keseluruhan sistem demokrasi di Indonesia?

Apakah sang calon konsisten mengkritisi kegagalan partai politik saat ini untuk melakukan upaya dan proses kaderisasi kepemimpinan untuk mencalonkan kadernya menjadi kepala daerah yang mumpuni, serta konsisten terbebas dari belenggu para pemilik modal dan oligarkinya sendiri? Ini yang menurut penulis, tema yang seharusnya menjadi subyek diskusi dan pertanyaan yang bisa dijawab bersama-sama.

Mengandalkan relawan

Beberapa paradoks bisa kita lihat dalam realitas politik yang telah terjadi. Persiapan pencalonan melalui jalur perseorangan oleh Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dengan dimotori oleh kumpulan relawan yang menamakan diri sebagai #TemanAhok, pada kenyataannya komunitas ini diinisiasi oleh konsultan politik Ahok, yaitu Cyrus Network yang dipimpin oleh Hasan Nasbi.

Terbukti setelah kegagalannya sebagai “kader partai Golkar” untuk mendapatkan dukungan partai Golkar dan dilanjutkan dengan kegagalannya mengumpulkan dukungan warga di tahun 2012 lalu, kini sebagai petahana dengan seluruh sumberdaya yang melekat, dukungan sebagai calon perseorangan terlihat lebih cepat terkumpul.

Mencoreng reputasi partai

Langkah pencalonan Ahok sebagai Gubernur DKI melalui jalur perseorangan ini diperkuat oleh dukungan partai politik yaitu Nasdem dan Partai Hanura, di mana hal ini ---disadari atau tidak-- justru bisa dianggap mencoreng reputasi kedua partai politik tersebut karena telah gagal memajukan kader(partai)nya sendiri dan justru memperkuat upaya apa yang selama ini dianggap sebagai gerakan deparpolisasi.

Paradoks lainnya adalah terkait keterlibatan pemilik modal alias cukong yang diakui sendiri oleh #TemanAhok sebagai penyandang dana bagi pergerakan politik Ahok serta seluruh biaya pengumpulan dukungan KTP dan penyewaan booth di berbagai lokasi strategis. Pihaknya juga telah mengakui bahwa sekretariat #TemanAhok di Kompleks Graha Pejaten merupakan aset Pemprov DKI Jakarta di bawah pengelolaan PT. Sarana Jaya.

Belum lagi dukungan proyek pembangunan gedung parkir Polda Metro Jaya oleh Podomoro Group, yang diduga sebagai bagian timbal balik dari pemberian konsesi proyek reklamasi pantai utara Jakarta. Dengan situasi di atas, dikhawatirkan bahwa semangat untuk bebas dari sandera kepentingan modal, serta semangat bebas dari tindak korupsi (gratifikasi) menjadi tergerus dan layak dipertanyakan.

Modal awal yang diberikan oleh Hasan Nasbi sebesar 500 juta rupiah, menarik untuk dijadikan pendukung argumen bahwa komunitas #TemanAhok bukanlah sebuah komunitas organik yang berisikan orang-orang biasa, namun memang sebuah skenario gerakan politik yang disusun oleh konsultan Ahok.

Jika kita bandingkan dengan tahun 2012, kehadiran calon perseorangan telah membuktikan kekuatannya dalam mempengaruhi stuktur di dalam arena kontestasi politik elektoral, mempengaruhi pakem regulasi dan penguasaan sumberdaya. Sebagai calon masyarakat sipil, Faisal Basri - Biem Benjamin mampu memperoleh suara melebihi kandidat dari partai politik (Alex-Nono) sehingga mampu mengoreksi teori oligarki.

Pada tatanan tertentu kekuatan integritas agen melalui praktik-praktik sosialnya, menggantungkan pembiayaan politik dari uang pribadi kandidat dan dukungan publik secara luas dalam bentuk crowd funding, telah mampu sedikit banyaknya menjadi lawan dan antitesis dari kekuatan politik uang.

Apa program yang ditawarkan?

Hal lain yang juga perlu dikritisi adalah terkait program bagi warga. Di antara bakal calon Gubernur Jakarta 2017, baik dari partai politik maupun perseorangan, belum ada yang secara serius menawarkan program kerja jika terpilih sebagai Gubernur. Mereka masih saja berkutat pada isu dan tema non substantif seperti SARA dan tidak memperhatikan masalah sosial kekinian dan mendesak yang sedang terjadi dan dialami oleh warga DKI Jakarta. Padahal setidaknya ada beberapa masalah utama warga yang tak kunjung terselesaikan, yang ironisnya justru menjadi janji politik pada saat pasangan Jokowi-Ahok melakukan kampanye pada Pilgub DKI 2012. Seperti terkait dengan sistem dan pengelolaan transportasi publik yang pada prinsipnya berimbas pada proses mengurai kemacetan.

Lalu persoalan banjir, kepastian ketersediaan lapangan pekerjaan, peluang usaha kecil dan menengah, permukiman dan generasi muda. Belum ada satu bakal calonpun yang serius membicarakan tentang tawaran-tawaran program, ide-ide orisinal dan usulan solusi untuk menangani persoalan mendesak yang dihadapi oleh DKI Jakarta dan warganya.

Memilih yang terbaik

Secara ideal, pada setiap kontestasi politik elektoral, warga sebagai pemilih hendaknya diarahkan untuk mendukung para calon gubernur atas berdasarkan pilihan rasional, yang dapat memberikan manfaat lebih besar bagi kehidupan mereka. Karena dengan hanya mengandalkan opini tentang pejuang anti korupsi, bukan menjadi jaminan kepemimpinan yang baik dan bijak, apalagi jika di sisi lain, orang yang sama juga kerap melakukan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) kepada mereka yang dianggap sebagai warga miskin, melakukan kebijakan yang berorientasi keuntungan semata dengan tidak sama sekali mempertimbangkan kekuatan, daya tahan dan daya dukung lingkungan, justru merusaknya hingga bisa berpengaruh pada kehidupan generasi mendatang.

Warga juga harus bisa diberikan pandangan dan pendidikan politik, bahwa memilih seorang pemimpin bukan semata karena faktor like and dislike --- apalagi mengangkat isu SARA sebagai kelebihan sekaligus kekurangan kandidat---, tapi lebih pada tawaran-tawaran rasional yang memang bisa mempengaruhi kualitas hidup mereka dan anak cucunya menjadi lebih baik.

Blogger, Sukma Widyanti
Penulis, Sukma WidyantiFoto: privat

Maka, saat ini yang terpenting bukanlah pada opini yang diiklankan di mana-mana, khususnya di media sosial oleh para pendukung calon gubernur yang cukup militan, apakah calon itu berangkat dari jalur perseorangan atau melalui rekomendasi partai politik, melainkan tawaran program, rekam jejak dan ide-ide orisinal untuk menyelesaikan persoalan yang menggurita di DKI Jakarta. Hingga nanti saat pencalonan resmi para bakal calon ke KPUD Jakarta, nampaknya akan masih ada perubahan yang mungkin terjadi.

Bisa jadi pada akhirnya Ahok justru akan kembali dicalonkan oleh partai politik, karena mepetnya waktu yang dimiliki untuk melakukan pengumpulan dukungan ulang. Dan jika hal itu terjadi, maka dapat dipastikan bahwa partai politik akan mengambil peranan yang lebih besar dalam proses gerakan politik pemenangan Ahok dan akan mengambil sebagian besar sumberdaya (baik struktur, infrastruktur dan anggaran) yang dimiliki dan didapatkan oleh Ahok. Semoga warga pendukungnya tidak justru ditinggalkan dan kehilangan sumberdaya gerakan politik, sebagai relawan militan.

Penulis:

Sukma Widyanti, pengajar jurusan Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan ilmu Politik, Universitas Indonesia. Sukma juga merupakan aktivis Pergerakan Indonesia.

@sukma_oema

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.