1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
KonflikLaos

Siapa Diuntungkan oleh Jalur Kereta Buatan Cina di Laos?

30 November 2021

Pengelola wisata berharap jalur kereta api baru bisa tumbuhkan ekonomi. Namun, dalam pembangunannya, dilaporkan banyak tanah petani Laos dirampas. Siapa yang sebenarnya diuntungkan?

https://p.dw.com/p/43c7O
Ilustrasi pemandangan di Provinsi Attapeu, Laos
Kereta cepat yang dibangun Cina akan melewati ratusan jembatan dengan pemandangan ikonik di Laos.Foto: picture-alliance/ANN/H. McDonald-Moniz

Jalur kereta api baru di Laos senilai $6 miliar yang dibangun oleh Cina baru saja diresmikan. Jalur ini membawa harapan akan adanya peningkatan ekonomi di negara tertutup itu. Namun ada pula yang mempertanyakan manfaat dari proyek yang telah mengusir ribuan petani dari tanah mereka.

Anouphon Phomhacsar, petani stroberi asal Laos yang sehari-harinya harus berjuang memenuhi kebutuhan hidup, berharap jalur kereta api baru ini akan kembali memperlancar usahanya. Dalam setahun ladangnya biasanya menghasilkan dua ton buah cantik berwarna merah ini. Namun, pandemi telah menghantam panen tahun 2021 tanpa ampun.

Saat ini Phomhacsar harus menempuh perjalanan darat selama tiga hingga empat jam untuk mengirim stroberinya ke ibu kota Vientiane. Ia berharap jalur kereta api yang baru akan bisa memangkas waktu pengiriman menjadi hanya dua jam. Selain itu, dia juga berharap akan datang banyak wisatawan ke perkemahan di wilayahnya untuk sekadar menikmati taburan bintang di malam hari, ataupun memetik buah-buah beri. "Ke depan, turis asing yang datang ke peternakan bisa mencapai puluhan ribu," ujar Anouphon Phomhacsar.

Rute sepanjang 414 kilometer (km) yang rencananya akan mulai beroperasi pada 3 Desember dibangun selama 5 tahun dalam proyek Jalur Sutra Baru atau Belt and Road Initiative. Proyek yang keseluruhannya bernilai triliunan dolar ini mendanai proyek-proyek infrastruktur di negara miskin dan berkembang guna meningkatkan pengaruh Beijing di seluruh dunia.

Untuk mengimbangi pengaruh Cina, negara industri yang tergabung dalam kelompok G7 pun merencanakan inisiatif infrastruktur besar-besaran. Inisiatif yang disebut Build Back Better for the World senilai US$40 triliun dolar ini rencananya akan membantu memenuhi kebutuhan infrastruktur di negara-negara berkembang.

Laos, negara miskin infrastruktur

Jalur kereta api buatan Cina ini akan menghubungkan kota Kunming di Cina dan ibu kota Laos. Jalur ini juga akan dilintasi kereta api berkecepatan tinggi yang pada akhirnya akan melewati Thailand, Malaysia, terus ke Singapura.

Laos adalah negara tertutup yang miskin infrastruktur. Negara komunis berpenduduk 7,2 juta orang ini sebelumnya hanya memiliki rel kereta sepanjang 4 km. Tapi sekarang kereta peluru berwarna biru dan putih nan ramping akan segera melaju di sepanjang jalur baru dengan kecepatan 160 km per jam, melewati 75 terowongan, 167 jembatan, berhenti di 10 stasiun penumpang. 

Meskipun hanya mencatat puluhan kasus COVID-19 hingga April tahun ini, ekonomi Laos sangat terpukul oleh pandemi. Pertumbuhan ekonomi negara itu turun menjadi 0,4% pada 2020, level paling rendah dalam tiga dekade menurut Bank Dunia. Harapan untuk rebound di tahun 2021 pupus saat infeksi corona kembali meningkat.

"Kereta api baru adalah investasi besar yang memiliki potensi untuk merangsang ekonomi Laos dan memungkinkan negara ini untuk mengambil keuntungan dari posisi geografisnya di jantung daratan Asia Tenggara," ujar Sombath Southivong, spesialis infrastruktur senior Bank Dunia.

Berharap pulihkan sektor pariwisata

Industri pariwisata di Laos sangat membutuhkan suntikan bantuan akibat menurunnya jumlah turis hingga 80% di tahun 2020. Tahun sebelumnya, sekitar 4,7 juta wisatawan asing berkunjung ke negara yang terkenal sebagai tujuan para backpacker ini.

Sebelum pandemi, para muda-mudi dari berbagai penjuru dunia berdesakan di bus di Vientiane untuk menempuh perjalanan selama empat jam ke ibu kota Vang Vieng. Dengan kereta api, perjalanan ini sekarang dapat ditempuh dnegan waktu sekitar satu jam.

Kota Vang Vieng, yang memiliki lapangan terbang yang dulunya milik CIA, terkenal sebagai surga pesta para backpacker. Kota ini perlahan mengubah citranya sebagai daerah tujuan ekowisata.

Namun banyak sekali kayak, perahu rafting, zipline, dan balon udara di Vang Vieng yang akhir-akhir ini menganggur.

Inthira, hotel butik di tepi Sungai Nam Song, tadinya selalu penuh pada akhir pekan, tapi kini hanya didatangi sedikit pelancong domestik pada akhir pekan. Manajer umum hotel ini, Oscar Tality, berharap kereta api dan pengurangan waktu perjalanan akan memberikan peluang bagi industri ini. 

Wisatawan di perahu motor di Sungai Mekong, Laos
Sebelum pandemi, Laos adalah surga para backpacker yang bebas bertualang dan menikmati pesta.Foto: picture-alliance/dpa/J. Hoelzl

"Sepanjang jalan orang akan melihat pemandangan pegunungan yang indah dan akan menyeberangi jembatan dan terowongan. Ini akan menjadi perjalanan yang luar biasa bagi mereka yang berada di kereta," kata Tality.

Petani lokal terusir dari tanahnya

Terlepas dari optimisme lokal, beberapa pengamat Laos khawatir akan kelangsungan proyek jangka panjang ini. Dua pertiga orang Laos tinggal di desa-desa pedesaan dan bergantung dari hasil pertanian dengan upah minimum di kisaran Rp1,6 juta per bulan. Tarif kereta api yang dilaporkan senilai US$13,30 (sekitar Rp189 ribu) dari Vientiane ke kota perbatasan Boten dikritik di media sosial karena terlalu mahal.

"Ketika Anda melihat jukstaposisi kereta api super modern ini dan pedesaan yang dilaluinya - sangat mencolok. Akan ada pertanyaan apakah orang Laos yang akan diuntungkan?" kata dosen Universitas Nasional Australia Greg Raymond.

Proyek ini juga dilaporkan telah memaksa sekitar 4.400 petani dan penduduk desa untuk menyerahkan tanah mereka. Banyak yang sama sekali belum menerima ganti rugi atau dibayar dalam jumlah yang tidak memadai, kata organisasi hak asasi manusia Lao Movement for Human Rights dalam laporannya.

"Tingkat kompensasinya sangat rendah. Jika Anda meminta penduduk desa untuk pindah, bagaimana mereka bisa membeli tanah baru?" Anggota parlemen Laos Vilay Phommixay mengatakan kepada parlemen pada Juni tahun lalu. 

ae/pkp (AFP, dpa)