1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Iran di Bawah Rouhani: Marjinalisasi Kelas Menengah

15 Juni 2021

Hassan Rouhani awalnya dirayakan sebagai agen perubahan Iran. Keberhasilan terbesarnya adalah sekaligus kegagalan paling membekas, yakni Perjanjian Nuklir 2015 yang dipereteli bekas Presiden AS, Donald Trump.

https://p.dw.com/p/3uvjR
Seorang perempuan Iran melintasi mural di Teheran, 16 Juli 2019.
Seorang perempuan Iran melintasi mural di Teheran, 16 Juli 2019.Foto: picture-alliance/Zuma Press/R. Fouladi

Menjelang pemilihan umum Kepresidenan di Iran pada Jumat (18/6) mendatang, Hassan Rouhani menimbang warisan politiknya selama delapan tahun berkuasa. Jika prediksinya benar, maka kandidat ultrakonservatif, Ebrahim Raisi, yang akan menggantikannya di pucuk pemerintahan Iran. 

Rouhani adalah figur yang awalnya dirayakan sebagai agen perubahan Iran, pasca tahun-tahun kekuasaan Mahmoud Ahmadinejad yang dipenuhi kontroversi sebagai presiden Iran. 

"Dia, di atas segalanya, ingin meliberalisasi perekonomian Iran dan mengembangkan sektor swasta lewat investasi asing,” kata Thierry Coville, pengamat Iran di Institute for International and Strategic Relations (IRIS) di Paris, Prancis.

Tapi apa lacur, takdirnya bertaut dan bersilangan dengan masa kekuasaan Presiden AS Donald Trump, yang "menginjak-injak” harapan terbesar Rouhani. 

Presiden Iran, Hassan Rouhani
Presiden Iran, Hassan RouhaniFoto: Alexei Druzhinin/Sputnik/AFP

Tiga tahun lalu, Trump mencabut dukungan AS terhadap Perjanjian Nuklir 2015, yang menjanjikan pencabutan embargo ekonomi sebagai ganti pembatasan program nuklir Iran, dan komitmen nonproliferasi senjata nuklir oleh Teheran.

Trump tidak hanya membatalkan perjanjian, tetapi juga kembali menerapkan sanksi yang mencekik perekonomian Iran, antara lain dengan menutup keran ekspor minyak. Akibatnya perekonomian Iran anjlok sebanyak enam persen pada 2018 dan 2019, menurut analisa Dana Moneter International (IMF). 

Situasi Iran terkini diperparah dengan munculnya pandemi virus corona.

Kekecewaan kaum berpendidikan

Rouhani menyalahkan "perang ekonomi” yang dilancarkan Trump di balik lonjakan harga bahan pokok dan merosotnya daya beli masyarakat. Namun kaum reformis menilai kegagalan terbesarnya adalah menyusutnya ruang kebebasan di Iran. 

Meski polisi moral sudah jarang terlihat berpatroli di jalan-jalan kota, pemerintah Iran tidak jengah menumpas gerakan sipil yang menentang kewajiban berjilbab bagi perempuan pada 2018 silam. 

Selama masa jabatannya, Rouhani mengawasi aksi brutal aparat keamanan membubarkan dua gelombang demonstrasi massal yang menimbulkan korban jiwa. Pertama pada musim dingin 2017-2018, dan kedua pada November 2019 silam.

Aksi protes massal melawan kenaikan harga bahan bakar pada November 2019 di Iran.
Aksi protes massal melawan kenaikan harga bahan bakar pada November 2019 di Iran memicu bentrokan dengan aparat keamanan, dan menewaskan setidaknya ratusan orang.Foto: AFP

Saat ini sejumlah aktivis HAM, terutama pegiat hak perempuan, masih mendekam di penjara atau menghadapi ancaman bui. "Kelas menengah berpendidikan di kota-kota besar secara umum sangat kecewa terhadap Rouhani,” kata Coville.

"Warga memahami apa yang terjadi tapi mereka berharap Rouhani akan lebih gigih menghadang pengaruh kaum radikal,” imbuh pengamat Iran di IRIS itu merujuk kepada kaum ultrakonservatif Iran.

Adapun bagi Clement Therme, seorang pakar Iran di European University Institute di Fiorentina, Italia, "keberhasilan terbesar” sang presiden adalah menegosiasikan "kompromi diplomatis dengan Washington tanpa melanggar garis merah rezim.”

Sementara "kegagalan terbesarnya terlihat pada melemahnya kelas menengah,” dan "perlawanan” kelas buruh yang membayangi masa jabatan keduanya, pungkas Therme.

rzn/as (afp, ap)