1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Indonesia Teladan Negara Muslim

Andy Budiman25 Desember 2013

Pemilu 2014 menandai era konsolidasi demokrasi Indonesia. Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggaraan Pemilu Jimly Asshidiqqie mengatakan negara-negara muslim lain kini belajar demokrasi dari Indonesia.

https://p.dw.com/p/1AJNh
Foto: AP

Pemilu 2014 akan menjadi catatan penting perjalanan demokrasi Indonesia. Setelah melewati tiga kali pemilu legislatif bebas dan dua kali pemilihan presiden secara langsung, Indonesia kini memasuki tahap konsolidasi demokrasi.

Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggaraan Pemilu (DKPP) Jimly Asshiddiqie kepada Deutsche Welle mengatakan, setelah pemilu 2014, Indonesia akan memiliki sistem yang lebih mapan mendukung demokrasi.

Menurut Jimly, Indonesia kini betul-betul menjadi contoh bagi negara-negara demokrasi baru, terutama anggota Organisasi Konferensi Islam (OKI) yang mengalami Arab Spring.

“Negara-negara Timur Tengah misalnya Mesir, Tunisia, Irak, itu rajin sekali ke Indonesia untuk studi banding.”

DW: Orang bilang ini adalah era konsolidasi demokrasi, apa yang krusial pada tahap ini?

Jimly Asshiddiqie: Karena kita sudah melalui proses reformasi tahap pertama dengan tiga presiden. Itu adalah masa transisi pertama, meski kita melewai masa sulit dengan tiga presiden yang bergantian, tidak utuh menjabat. Akan tetapi itulah masa krusial menata sistem. Periode kedua adalah 10 tahun masa kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, di mana kita mempraktekkan sistem yang kita bangun selama tiga era kepresidenen pertama, dan kita mempraktekkan antara lain sistem pemilihan presiden langsung pertama kali tahun 2004. Periode lima tahun ke depan nanti akan mengakhiri masa penataan sistem secara keseluruhan, agar kita mempunyai sistem yang diharapakan ajeg ke depan. Dalam periode ini kita telah banyak mencapai kemajuan jika dibandingkan negara-negara new democracy lain yang tidak sepenuhnya berhasil. Misalnya negara-negara Arab Spring: Mesir hanya satu tahun dan kini mereka kembali ke rezim militer, artinya kemampuan beradaptasi dengan perubahan dengan fleksibilitas sistem tidak terjadi di sana. Indonesia lebih sukses.

DW: Menurut anda apa ancaman terbesar Pemilu 2014?

Jimly Asshiddiqie: Yang paling serius adalah membangun trust. Harusnya kita punya peluang untuk saling percaya lebih besar karena tidak ada incumbent (SBY secara konstitusional tidak bisa ikut Pemilu 2014). Sekarang persaingan bisa fair, terbuka. Tapi kepercayaan ini bisa terganggu karena kasus Mahkamah Konstitusi (korupsi terkait sengketa Pilkada yang melibatkan Ketua MK-red). Selain itu juga masih ada kecurigaan dari para politisi, terkait kasus sistem penghitungan suara melalui teknologi informasi yang terjadi tahun 2004 dan 2009.

DW: Bagaimana cara anda menyelesaikan problem trust ini?

Jimly Asshiddiqie: Memang kini orang bertanya, kalau di hilir MK seperti itu (keputusan sengketa pilkada diperjual-belikan-red) bagaimana ia bisa memberi solusi bagi sengketa hasil pemilu? Apalagi pengadilan Tipikor biasanya berlangsung lama, Akil akan diadili, dan kalau di proses persidangan ia boleh jadi meminta memanggil hakim MK lain sebagai saksi. Nah, bagaimana orang yang akan memberikan keputusan konstitusional bagi hasil pemilu 2014 nanti pada proses tahapan pemilu dipanggil jadi saksi di sana. Bahkan tanpa dipanggilpun, pengadilan mantan ketua itu akan berdampak psikologis kepada MK. Jadi ini memang masalah. Saya sudah mengingatkan bahwa ini problem serius, jika KPU (Komisi Pemilihan Umum) dan Bawaslu (Badan Pengawas Pemilu) bekerja biasa-biasa saja, mungkin tidak akan bisa menolong demoralisasi citra penyelenggaraan pemilu. Maka kita harus bekerja lebih ekstra untuk trust building. Karena itu KPU sudah beberpaa kali atas saran saya mengadakan pertemuan dengan para pimpinan partai. Tujuannya untuk trust building. Jadi saya menganjurkan KPU untuk dekat dengan partai, dengan semangat melayani semua peserta pemilu: yang penting jaraknya sama! Jadi tidak boleh lebih dekat ke satu partai. Jadi jangan mentang-mentang KPU adalah lembaga independen, lalu jauh dengan semua partai. Saya minta dekat dengan semua partai tapi dekat dengan jarak yang sama.

DW: Bagaimana anda melihat Indonesia dibandingkan negara-negara berpenduduk Muslim lainnya dalam mempraktekkan demokrasi?

Jimly Asshiddiqie: Kita harus bersukur bahwa kita lebih baik dari mereka, karena kita lebih sistemik, gradual, dan alamiah, meski butuh waktu yang sedikit lebih lama. Hal lainnya, Indonesia kini menjadi negara demokrasi ketiga terbesar dunia. Kita betul-betul menjadi contoh bagi negara-negara demokrasi baru lain, terutama anggota Organisasi Konferensi Islam (OKI), termasuk negara-negara yang mengalami Arab Spring. Semua sekarang menoleh ke Indonesia, pengamat dari berbagai negara juga melihat Indonesia sebagai model. Negara-negara Timur Tengah misalnya Mesir, Tunisia, Irak, itu rajin sekali ke Indonesia untuk studi banding. Indonesia menjadi salah satu bukti yang menunjukkan bahwa religion, modernity dan democracy bisa bekerja bersama untuk kemajuan peradaban. Semua orang melihat Indonesia sebagai contoh Islam moderat, Islam modern, Islam demokratis. Tetapi seluruh orang Indonesia hendaknya sadar, ya memang masih ada yang ekstrim kanan… ekstrim kiri… ada FPI, anti ini dan anti itu, ya banyak.

Jimly Asshiddiqie adalah Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Indonesia; Ketua Mahkamah Konstitusi 2003-2008; dan kini menjabat Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggaraan Pemilu.