1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Indonesia Semakin Panas

6 November 2017

Bumi makin panas. Apakah Anda merasakannya? Tahun 2016 adalah tahun terpanas sepanjang pencatatan data sepanjang 137 tahun, menggantikan posisi tahun 2015, walaupun tanpa efek El Nino. Opini Agus P. Sari.

https://p.dw.com/p/2mz6V
Indonesien Kinderarbeit (Bildergalerie)
Foto: picture alliance/M. Norz

Tahun 2016 adalah tahun terpanas sepanjang pencatatan data sepanjang 137 tahun, menggantikan posisi tahun 2015, walaupun tanpa efek El Nino. Suhu rata-rata permukaan bumi adalah sekitar 0,45 hingga 0,56 derajat Celsius di atas suhu rata-rata bumi pada periode 1981-2010. Ini adalah penemuan dari National Oceanic and Atmospheric Agency (NOAA). 

Selain itu, NOAA juga mencatat bahwa tinggi permukaan laut juga tertinggi, yaitu sekitar 8,2 cm dari tinggi pada 1993 (tahun dimulainya pengukuran permukaan laut). Akibatnya, tutupan es di Arktik berkurang, paling kecil selama periode 37 tahun pencatatan tutupan es Arktik. Indonesia termasuk wilayah dengan anomali suhu yang tertinggi. Penduduk Indonesia pasti merasakan betapa panasnya hari-hari di tahun itu.

Keadaan ini tampaknya akan semakin buruk. Menurut laporan tahunan World Meteorological Organization (WMO), the Greenhouse Gas Bulletin, konsentrasi CO2 pada 2016 telah mencapai 403,3 parts per million (ppm), naik dari 400 ppm pada 2015. Konsentrasi ini adalah 145 persen lebih tinggi dari level sebelum era industri (sebelum 1750) — level tertinggi sejak 800.000 tahun yang lalu. Pemanasan global akan membawa dampak yang amat sangat besar di seluruh dunia.

Penulis: Agus P. Sari
Penulis: Agus P. Sari Foto: DW/A.P. Sari

Dari Fiji ke Bonn

Pada 6 – 16 November 2017, 23rd Conference of the Parties (COP23) dari United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) berlangsung di Bonn, Jerman. Ketua COP23 sebenarnya adalah Fiji, tapi karena alasan kapasitas logistiknya maka pelaksanaannya diamanahkan ke Sekretariat UNFCCC di Bonn.

Fiji adalah sebuah negara pulau kecil di Samudera Pasifik. Fiji adalah anggota Association of Small Island States (AOSIS), yang di negosiasi UNFCCC tergabung dalam blok Small Island Developing States (SIDS).

Sebagai negara pulau kecil, perhatian terbesar dari Fiji adalah ketahanannya dalam menghadapi perubahan iklim dan pemanasan global. Sebagai pulau kecil, Fiji akan mengalami kerugian luar biasa akibat perubahan iklim.  Negara-negara pulau kecil inilah yang bersikeras untuk memperkuat ambisi target pembatasan kenaikan suhu di Perjanjian Paris dari "hanya” 2 derajat menjadi 1,5 derajat saja. Menurut blok negosiasi SIDS, bahkan pembatasan kenaikan suhu 2 derajat saja akan membawa dampak luar biasa pada mereka. Di bawah Ketua Fiji, COP23 diperkirakan akan membawa kerentanan dan adaptasi terhadap perubahan iklim sebagai agenda kunci.

Padahal, mencapai 2 derajat saja merupakan kerja yang sangat berat. Bila semua komitmen pembatasan emisi gas-gas rumah kaca semua negara yang ada di Nationally-Determined Contributions (NDC) di Perjanjian Paris dilaksanakan semua, masih kurang dari setengah komitmen yang dibutuhkan untuk membatasi kenaikan temperatur pada 2 derajat. 

Komitmen pembatasan emisi ini mutlak harus diperkuat lebih dari dua kali lipat dari yang ada sekarang. Apalagi mencapai 1,5 derajat. Banyak ahli dan pengamat yang berkeyakinan bahwa kita sudah terlambat untuk membatasi kenaikan suhu pada 1,5 derajat, dan dengan demikian adaptasi dalam menghadapi perubahan iklim telah menjadi keniscayaan. 

Pemanasan global akan cepat menghapus negara ini dari peta dunia

Padahal, sejak 1870, permukaan laut telah meningkat sekitar 20 sentimeter (cm).  Bayangkan saja Tuvalu, negara terkecil di dunia dengan luas wilayah hanya 26 km2. 

Dengan wilayah sekecil itu, tidak banyak harapan sumber daya alam di atasnya. Hampir di seluruh negara itu tidak ada tempat yang lebih tinggi dari satu meter di atas permukaan laut. Perkiraan oleh Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC, panel ilmiah paling otoritatif mengenai perubahan iklim) pada 2007 adalah bahwa permukaan laut akan terus meninggi hingga 20 – 40 cm pada 2090. Pada 2009, Akademi Ilmu Pengetahuan Nasional Amerika memperkirakan bahwa pada tahun 2100 permukaan laut akan naik setinggi 40 - 140 cm dari tingginya sekarang.

COP23
COP23

Sementara itu, beberapa pulau di negara-negara pulau kecil inipun saat ini telah mulai tenggelam. Lima pulau kecil di negara Kepulauan Solomon telah tenggelam akibat kenaikan permukaan laut rata-rata setinggi satu sentimeter yang dialami negara tersebut.

Enam pulau lagi mulai tenggelam terbawa erosi. Dua di antaranya menenggelamkan desa-desa yang ada di atasnya. Salah satunya adalah Pulau Nuatambu dengan 25 keluarga yang telah kehilangan 11 rumah dan setengah penduduknya sejak 2011.

Negara-negara pulau kecil ini telah pula melakukan tindakan yang kadang ekstrem untuk menyelamatkan diri mereka. Presiden Anote Tong dari Kiribati, misalnya, telah membeli lahan 20 km2 di kepulauan Fiji. 

Kiribati adalah sebuah negara-pulau 2000 km dari Fiji, dengan populasi 110.000 orang yang tersebar di 33 pulau-pulau kecil dengan luas sekitar 3,5 juta km2. Pada 2009, Maldives adalah negara pertama yang mengumumkan niat untuk membeli lahan di negara lain untuk mengantisipasi situasi di mana seluruh negaranya akan tenggelam, dan seluruh penduduknya harus pindah. Saat itu, opsi yang dipertimbangkan adalah lahan di India dan Sri Lanka.

Indonesia rentan

Dampak perubahan iklim di Indonesia, karena kerentanannya, bisa sangat besar. Indonesia adalah negara tropis dengan banyak pulau-pulau kecil. Negara dengan lebih dari 17.000 pulau, termasuk beberapa ribu yang sangat rentan terhadap perubahan tinggi permukaan laut, dan lebih dari 80.000 kilometer garis pantai, Indonesiapun sama rentannya dengan negara-negara SIDS. Kenaikan permukaan laut satu meter saja akan menenggelamkan wilayah seluas lebih dari 400.000 hektar (ha). Di Jakarta saja, kenaikan 50 cm akan menenggelamkan wilayah Jakarta Utara yang lumayan padat penduduk, dan mengancam kehidupan 270.000 orang di wilayah tersebut.

Semua dampak ini memiliki biaya yang tidak kecil. Baru-baru ini United States Agency for International Development (USAID) memperkirakan bahwa pada 2050 Indonesia harus menanggung kerugian paling tidak sebesar Rp 132 triliun (sekitar 1,4 persen dari pendapatan tahunan Indonesia sekarang) dari sebagian dampak perubahan iklim yang dapat dikuantifikasi. Dari jumlah itu, 53 persen disebabkan oleh penurunan produksi pertanian, 34 persen dampak kesehatan, dan 13 persen dari kenaikan muka air laut. Ini adalah dampak yang gradual. Bila dampak lain — terutama yang tidak gradual, seperti makin banyaknya badai, atau kebakaran hutan akibat kekeringan luar biasa — ikut diperhitungkan, jumlahnya akan jauh lebih besar lagi. Kebakaran hutan pada Juni – Oktober 2015 saja telah menyebabkan kerugian sebesar Rp 221 triliun, atau sekitar 2 persen dari pendapatan nasional, atau 10 persen dari anggaran pemerintah tahun itu. Kebakaran 2015 tersebut terutama disebabkan karena El Nino, dan merupakan salah satu yang terbesar di Indonesia. Pemanasan global akan memperbesar resiko kebakaran ini bahkan pada kondisi tanpa El Nino.

Ringkasnya, Indonesia adalah negara yang sangat rentan terhadap perubahan iklim. Pada COP23, dengan demikian, Indonesia mesti berjuang untuk meletakkan isu dampak perubahan iklim dan pemanasan global, adaptasi, serta pendanaan untuk meningkatkan ketahanan Indonesia menghadapi dampaknya, pada deretan isu prioritas utama.

Penulis: Agus P. Sari adalah CEO Landscape Indonesia, lembaga yang menjembatani pengelolaan lansekap lestari dengan investasi.

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWnesia menjadi tanggung jawab penulis.