1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sepak BolaIndonesia

Indonesia, Piala Dunia dan Qatar

Hardimen Koto
Hardimen Koto
3 Desember 2022

Indonesia lolos ke Piala Dunia. Bahkan repetitif, dalam 35 tahun terakhir, sejak Meksiko 1986. Benar? Benar! Tapi bukan tim sepak bolanya. Lalu? Simak kolom penulis Hardimen Koto dari Qatar.

https://p.dw.com/p/4KQyX
Jurnalis Indonesia vs Mahasiswa Indonesia di Qatar, bermain sepak bola di Al-Khor
Jurnalis Indonesia vs Mahasiswa Indonesia di Qatar, bermain sepak bola di Al-KhorFoto: Hardimen Koto/DW

"Jurnalisnya. Lebih tajam, jurnalis sepak bolanya. Buat kami, ini bak naik haji," cerita Fernan Rahardi, jurnalis Republika kepada saya di sebuah cafe di Lusail, kota masa depan di Qatar.

Naik haji, ya, ini satu istilah yang dimunculkan Fernan untuk menggambarkan titik kulminasinya sebagai jurnalis olahraga. "Indonesia boleh belum lolos kePiala Dunia, tapi jurnalisnya sudah, hahaha," ujar Fernan, yang berdomisili di Yogyakarta.

Fernan Rahardi, jurnalis Republika
Fernan Rahardi, jurnalis RepublikaFoto: Hardimen Koto/DW

Dalam ingatan saya, media-media di Indonesia sudah 'meloloskan' jurnalisnya ke Piala Dunia. Dan itu sejak Meksiko 1986 melalui, antara lain, Sumohadi Marsis (BOLA).

Sejak itu, Italia 1990,  AS 1994, Prancis 1998, Jepang-Korea 2002, Jerman 2006, AfSel 2010, Brasil 2014, Rusia 2018 dan Qatar 2022, jurnalis Indonesia silih berganti lolos.

Ada banyak jurnalis Indonesia hadir langsung di Qatar 2022. Setidaknya belasan jurnalis dari sebelas media mengirimutusan ke Qatar. Mereka dapat akreditasi meski pertandingan yang diliput langsung di stadion maksimal 30 hingga 40 persen dari total 64 laga.

Eko, jurnalis Tribun misalnya, memilih maklum. "Piala Dunia ini seksi. Marketnya dahsyat di Indonesia. Makanya kami mesti kreatif memilih tema liputan. Pastinya ada unsur kedekatan," sebut Eko.

Eko Priyono, jurnalis Tribun Timur
Eko Priyono, jurnalis Tribun TimurFoto: Hardimen Koto/DW

Misalnya, Jumat, hari libur di Qatar, mereka diundang main bola di Al-Khor, melawan IATMI, tim mahasiswa perminyakan asal Indonesia.

Nah, disitu, Eko dan sejumlah jurnalis Indonesia bertemu dengan relawan Piala Dunia dari Indonesia. Salah satunya Aida Siti Zulaeha, perempuan setengah baya yang cinta sepak bola. "Pokoknya seru. Jadi senang bisa terlibat langsung di Piala Dunia," ujar Aida. Aida adalah satu dari sekitar 12.000 orang Indonesia yang hidup di Qatar, dan sebagian kecil, terutama yang lahir di Qatar, mencintai sepak bola.

Hebatnya, dibantu faktor lingkungan, mereka tumbuh jadi pemain hebat. Dua diantaranya membela tim nasional junior Qatar: Farri Agri dan Ahmad Al-Khuwailid. Mereka jadi starter dan bahkan berperan meloloskan Qatar ke Piala Dunia U-20 dan U-17. Mereka pula yang ditemui pengurus PSSI di Doha saat pembukaan Piala Dunia agar di usia senior bisa membela Indonesia.

Farri Agri dan Al-Khuwailid, ditemui Ketua Umum PSSI di KBRi Doha.
Farri Agri (paling kiri) dan Ahmad Al-Khuwailid (paling kanan), ditemui Ketua Umum PSSI di KBRi Doha.Foto: Hardimen Koto/DW

Piala Dunia memang seksi. Saya juga ingin mengenalkan satu nama orang Indonesia yang gila bola, dan selalu hadir di Piala Dunia. Namanya Yonda Irawan, yang tak pernah melewatkan kesempatan sejak Afrika Selatan 2010.

Yonda (tengah), penggila Piala Dunia dari Indonesia
Yonda (tengah), penggila Piala Dunia dari IndonesiaFoto: Hardimen Koto/DW

"Magisnya hebat," kata Yonda. Buat dia, Qatar 2022 sebetulnya biasa saja. Kalah seksi dibanding AfSel 2010 yang keren dalam banyak hal.

Ary Wasis, orang Indonesia lain yang saya temui di Qatar, dan ini Piala Dunia ketiganya, justru terkesan dengan Rusia 2018. "Pertandingannya di manca kota. Seru," katanya.

Hmm, baiklah. Saya kok  tetap bermimpi: Indonesia lolos ke Piala Dunia. Tim nasionalnya, maksud saya.

Mungkinkah itu pada 2026, di Meksiko-AS-Kanada?

 

Hardimen Kotopengamat, analis dan komentator sepak bola

*tulisan ini menjadi tanggung jawab penulis.

Hardimen Koto
Hardimen Koto Jurnalis dengan passion hebat untuk dunia olahraga.