1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Independent Filmmaker

13 Desember 2013

Apa definisi film Indie di Indonesia? Sutradara Andibbachtiar Yusuf membagi pandangannya tentang indie dan semangat idealisme di kalangan sineas Indonesia.

https://p.dw.com/p/1AXhc
Foto: IckeT/Fotolia.com

“Jadi apa film indie itu sebenarnya?” tanya seorang penanya yang duduk tak jauh di depan saya, pada diskusi Jalur Distribusi Alternatif beberapa waktu lalu di SAE Institute. Pertanyaan yang berulang kali saya terima, dan sebaliknya berulang kali pula saya pertanyakan dengan cara berbeda “Ada gak sih sebenarnya film indie di Indonesia itu?” Agak tricky? Betul, karena pada faktanya di Indonesia semua film adalah film indie, sementara para pemula, pelajar atau mereka yang belum mendedikasikan hidupnya untuk sinema selalu merasa bahwa apa yang mereka buat adalah karya indie alias independent.

Mari kita kembalikan darimana pemahaman independent itu berasal. Di negeri asalnya Amerika Serikat, dimana sinema adalah 5 besar industri utama negeri itu, jaringan sinema dikuasai oleh para studio besar. Sebutlah sebagian diantaranya seperti Warner Bros, Universal Pictures, Paramount Pictures dll. Mereka inilah yang juga bertindak sebagai distributor-distributor utama peredaran film di Amerika Serikat maupun di seluruh dunia lewat jaringan yang dipunya.

Sebagai negeri dimana bagi karya, ide itu sendirilah batasannya. Di Amerika Serikat nyaris setiap hari—atau bahkan setiap saat—muncul nama-nama baru sineas yang baru menyelesaikan karyanya. Jumlah yang sangat banyak ini tak semuanya tertampung dalam jaringan distribusi raksasa grup utama di negeri Paman Sam. Jika bukan karena memang bukan selera industri secara umum, bisa saja karya itu memang sengaja tak masuk melalui jaringan besar karena aspek birokratis dan campur tangan studio yang relatif besar.

Nah, karya-karya yang berada diluar jaringan utama itulah yang kemudian mencoba menciptakan jalur distribusi baru. Di negara-negara yang menganggap bahwa sinema adalah bentuk seni modern, tersedia cukup banyak bioskop yang memiliki ruang dan massa untuk tontonan macam ini. Maka lahirlah distributor-distributor kecil yang tidak berafiliasi ke grup besar tadi (walau belakangan si kecil ini juga banyak yang telah bergabung ke grup besar). Inilah yang disebut sebagai ‘jaringan independen' atau jaringan yang bebas dari afiliasi terhadap studio distribusi utama.

Di Indonesia kita tidak memiliki itu. Di negeri ini tidak ada jaringan utama yang melakukan distribusi atau bahkan produksi sebuah karya sinema. Yang ada di negeri ini adalah rumah-rumah produksi memproduksi karya sinema, lalu menayangkan begitu saja di jaringan yang ada dan praktis sangat monopolistik karena ia berniaga sendirian (kalaupun ada sang pesaing tak lebih dari 3% memakan jatah pasarnya).

Tiadanya jalur utama, membuat otomatis tak ada yang namanya jalur independent di negeri ini. Orang menyebut sinema gerilya dari satu venue ke venue yang lain adalah bentuk keindepenenan seorang sineas. Bagi saya jelas itu tak bisa dikategorikan dalam jenis sinema indie. Karena perputaran ekonomi yang terjadi sungguh terlalu kecil jika dibandingkan denga rataan transaksi di sinema utama Indonesia yaitu kelompok 21. Jadi bagaimana bisa ada film indie di Republik ini, jika jaringan rumah produksi raksasa sekaligus distributor saja kita tidak punya.

Lalu apa dong film indie itu? Saya menjawabnya dengan sederhana saja, sekaligus coba menyederhanakan masalah walau pada akhirnya jadi rumit juga. Bagi saya, sikap independent di Indonesia lebih baik diartikan pada semangat yang dipunya oleh para filmmaker-nya. Bagaimana seorang filmmaker bisa tetap berada di jalurnya untuk setia pada keinginan berkarya. Tak banyak sineas yang mampu menjaga semangatnya agar punya nyala yang sama seperti saat pertama kali ia mulai berproduksi nun di masa lalu. Apalagi paksaan “industri” di negeri ini bisa dengan mudah membuat para sineas berubah menjadi penjual kacang goreng.

Itulah jawaban saya pada anak muda itu. Usianya saya kira belum mencapai 25 tahun dan saya bisa merasakan semangat yang cukup besar untuk berkarya. Sayangnya Indonesia memang tidak terlalu supportive pada orang-orang yang punya semangat tinggi karena banyak dari orang-orang ini terbentur pada apa yang terjadi di sekelilingnya, bukan terdorong pada apa yang seharusnya terjadi. Maka lahirnya sinema-sinema kacangan yang muncul di bioskop-bioskop kita.

Kisah-kisah yang mungkin tidak melecehkan akal sehat seperti logika kepahlawanan Rambo atau kemenangan Amerika di Vietnam. Tapi lebih ke bagaimana seorang sineas menghargai sistem produksi yang dia punya. Bagaimana seorang sineas bisa menghargai nilai dari produksi dan karyanya sendiri.

Menyalahkan mereka juga bukan jawaban, karena para sineas—sama seperti seniman-seniman lainnya—bekerja sendirian tanpa dukungan. Masyarakat menuntut kualitas terbaik sebaik produksi-produksi Hollywood, orang tua menuntut agar segera bisa beli mobil atau rumah bagus, pemerintah maksimal muncul di media memberi dukungan lewat kata-kata bukan lewat aturan-aturan yang tegas untuk mendukung perfilman. Negara juga tak punya mekanisme commissioning yang sudah biasa dilakukan di banyak negara di dunia ini. Daftar ini bisa panjang jika harus diteruskan di catatan ini.

Indie bagi saya adalah semangat, semangat untuk bisa terus mampu tetap berada di situasi terkini suatu masa. Saya selalu membandingkan Ridley Scott yang saat saya menulis catatan ini telah berusia 76 tahun atau Clint Eastwood yang telah memasuki usia 83 tahun namun secara kualitas masih sungguh tetap bisa disandingkan dengan sineas-sineas yang jauh lebih muda seperti Christopher Nolan atau Edgar Wright misalnya.

Tak mudah memang bagi seseorang untuk tetap berada di level semangat yang sama seperti beberapa tahun sebelumnya, apalagi ke beberapa puluh tahun sebelumnya. Namun faktanya mengapa sinema di banyak negara bisa bertahan untuk tetap berada di level yang tinggi, salah satunya adalah karena para pelakunya tetap memiliki kualitas semangat yang sama serta tentu saja tetap update pada situasi dan tren terkini….itulah bagi saya yang disebut sebagai indie untuk sinema kita.

Andibachtiar Yusuf, Filmmaker & Football Reverend @andibachtiar