1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Hubungan sulit Cina dan Jepang

Fritz Martin28 September 2012

Sejak 1972 Cina dan Jepang kembali melakukan hubungan diplomatik. Sengketa kepemilikan pulau sebabkan Cina batalkan perayaan 40 tahun hubungan diplomatik dengan Jepang.

https://p.dw.com/p/16H7C
Foto: AP

Foto-foto demonstran Cina yang mengusung poster bertuliskan “Bunuh Semua Orang Jepang”, pasti tak dengan mudah terlupakan. Juga pembakaran pabrik elektronik “Panasonic” yang sarat simbolisme. 1978, pemimpin Cina Deng Xiao Ping secara pribadi mengunjungi pendiri Panasonic, Konosuke Matsushita, untuk meminta bantuan memodernisasi ekonomi Cina. Bagi Jepang, yang dibakar bukan sekedar pabrik, melainkan satu era pragmatisme yang didorong Deng Xiao Ping. Pekan lalu, 40 tahun upaya normalisasi hubungan antara Cina dan Jepang terancam punah.

Sejak 1972, ketika kedua negara kembali berhubungan, investasi Jepang telah membuka 5 juta tempat kerja di Cina. Milyaran dolar bantuan ekonomi mengalir dari Tokyo ke Beijing. Cina saat itu menjadi mitra usaha terpenting Jepang. Setiap tahunnya ratusan pebisnis Jepang bertandang ke Cina, bertukar pendapat dan memupuk hubungan dengan pejabat dan politisi Cina. Kesepakatan perdagangan bebas secara resmi mulai dibahas.

"Tak Berbahasa Sama“

Berbeda dengan hubungan dagang, perkembangan hubungan politik kedua negara seakan tertinggal jauh. Pada Perjanjian Perdamaian dan Persahabatan 1978, kedua negara menyisihkan sengketa soal pulau. "Generasi kita tidak cukup bijak untuk mengembangkan bahasa yang sama guna mencari solusi permasalahan tersebut“, kata Deng saat itu. Lanjutnya, generasi mendatang akan lebih matang. Dugaan atau harapan ini tampaknya meleset. Terutama karena dasar hubungan kedua negara berubah.

China Japan Inselstreit
Demo di BeijingFoto: Reuters

40 tahun lalu Cina masih miskin dan butuh bantuan. Meskipun kalah dalam perang dunia kedua, Jepang bisa tampil murah hati. Namun kemajuan pesat Cina, menempatkan negara itu sejajar dengan Jepang. Untuk pertama kalinya dalam sejarah, kekuasaan kedua negara itu setara.

"Cina dan Jepang belum pernah punya hubungan seperti itu“. Tegas Michael Yahuda, mantan Professor hubungan internasional di London School of Economics. Karenanya, tak ada pengalaman sejarah maupun bentuk kelembagaan yang bisa diacu untuk mengembangkan konstelasi baru ini. "Hasilnya adalah hubungan yang sama sekali tidak nyaman“. Begitu menurut Yahuda.

Dari Imperialisme ke Pasifisme

Sampai masa tertentu, Jepang masih menganggap Cina sebagai pusat kebudayaan dan masyarakat. Namun pertengahan abad ke 19, setelah Restorasi Meiji, Jepang mengalami modernisasi dan pada 1985 mampu mengalahkan Cina dalam sengketa mengenai Korea.

Hal ini memicu rasa unggul di pihak Jepang, jelas Yahuda. Apalagi Jepang kemudian berhasil merebut wilayah Manchuria dari Cina dan menduduki separuh Asia. Pembantaian Nanking atau eksperimen terhadap manusia yang dilakukan oleh pasukan rahasia „731“menunjukkan kepada bangsa Cina, bahwa mereka dianggap manusia kelas dua oleh Jepang.

Japan Tokio, Demonstration, Senkaku Inseln Demonstrant
Demo di TokyoFoto: REUTERS

Kekalahan di perang dunia kedua, mendorong Jepang untuk mengubah sikapnya dari negara yang imperialis menjadi pasifis. Pasukan kaisar dialihtugaskan menjadi pasukan keamanan, konsitusi Jepang melarang segala bentuk agresi. Sejarawan AS, John Dower mengatakan "Kebencian etnis pun diredam".

Di pihak lain, Jepang bungkam soal rangkaian pelanggaran perangnya. Buku pelajaran sejarah Jepang menyebut pembantaian Nanking sebagai insiden. Praktek perbudakan perempuan Korea sebagai pelayan di bordil-bordil tentara kaisar Jepang, jarang diungkit.

Rasa Malu vs Rasa Bersalah

Sikap bungkam itu terutama karena alasan budaya. Di Jepang, rasa malu lebih kuat dari rasa bersalah. Selain itu, ada keterkaitan dengan akhir dari perang dunia kedua. Bom atom yang dijatuhkan pada Hiroshima dan Nagasaki membantu Jepang dalam melupakan kesalahannya. „Di Jepang, berbicara tentang pembantaian Nanking merupakan tabu, karena bisa merusak cara pandang banyak orang banyak, bahwa mereka bukan saja pelaku perang, melainkan juga korban perang“, begitu ungkap penulis Yoshikazu Kato.

Kepada negara tetangganya Jepang memang mengakui kesalahannya. Namun secara resmi, Jepang hanya pernah satu kali meminta maaf. Yakni di tahun 1993, permintaan maaf itupun tidak didukung semua partai.

Gefecht mit Wasserwerfern zwischen Schiffen aus Taiwan und Japan
Foto: dapd

Bagi masyarakat Asia lainnya, hal itu merupakan bukti bahwa Jepang hanya menggunakan sikap pasifis sebagai tameng. Dan inilah yang menjadi akar permasalahan sekarang.

Melejitnya Cina mendorong Nippon untuk membuktikan kemampuannya. Sementara sikap pasifis dan kesalahan perang menghambat langkahnya. Kubu konservatif Jepang tampak sigap menegaskan, bahwa sudah cukup meminta maaf.

Walikota Osaka, Toru Hashimoto, ingin agar konsitusi Jepang yang pasifis dihapus. Trend ini akan lebih meyakinkan negara tetangga bahwa Jepang selama ini memang hanya berpura-pura pasifis. Namun dari kacamata Jepang, semua ini merupakan salah paham. Pasalnya, imperialisme itu muncul dari pihak Cina, dan Jepang hanya membela diri.