1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

HRW: Indonesia Merugi 2 Milyar Dollar AS Pertahunnya Akibat Korupsi di Sektor Kehutanan

1 Desember 2009

Setiap tahun, perilaku korupsi di sektor kehutanan menyebabkan Indonesia merugi sebesar dua milyar dollar AS.

https://p.dw.com/p/KnC7
Human Rights Watch

Lembaga pemantau hak asasi manusia Human Rights Watch menyimpulkan Indonesia tidak dapat dipercaya dalam menjaga hutan tropisnya, sebagai bagian dari skema perdagangan karbon, selama korupsi di sektor perdagangan kayu masih merajalela.

Korupsi dan Mismanajemen di Sektor Kehutanan

Dalam laporan terbarunya, Human Rights Watch melaporkan praktik korupsi dan mismanajemen dalam industri kehutanan telah mengakibatkan kerugian senilai kurang lebih dua milyar dollar AS per tahun. Situasi ini menyebabkan negara semakin jauh dari upaya memanfaatkan sumber daya yang ada untuk memenuhi kewajibannya memberikan hak atas ekonomi dan sosial bagi masyarakat.

Di samping itu, banyaknya konflik kepentingan dan lemahnya pengawasan, menurut HRW, menjadi pertanda tidak baik atas kemampuan Indonesia menjadi mitra perdagangan karbon yang dapat diandalkan. Padahal skema ini merupakan poin penting dalam konferensi iklim yang digelar pekan mendatang di Kopenhagen, Denmark.

Penelitian HRW yang disajikan dalam laporan berjudul „Dana Liar: Konsekuensi Pembalakan Liar dan Korupsi di Sektor Kehutanan Indonesia pada Hak Asasi Manusia“, menemukan fakta bahwa antara tahun 2003 hingga 2006, setengah hasil kayu tebangan di Indonesia merupakan hasil pembalakan liar dan luput dari pajak.

Waldzerstörung auf Sumatra, Indonesien - freies Format
Hutan di RiauFoto: AP

Subsidi Siluman dan Harga Transfer

Laporan setebal 75 halaman itu mengungkapkan bagaimana subsidi siluman, dengan taktik memperendah harga kayu dan nilai tukar mata uang dari yang ditetapkan pemerintah dan menghindari pajak oleh eksportir yang disebut „harga transfer“, kerap dipraktikan oleh mereka yang terkait di sektor kehutanan. Wakil direktur program HRW Joseph Saunders mengungkapkan: „ini tidak termasuk penyelundupan. Kami yakin bahwa angka yang kami sampaikan jauh lebih kecil dari kondisi sebenarnya. Data yang kami pakai dari Departemen Kehutanan dan International Timber Organization, kami bisa memastikan bahwa kerugian sebesar 2 milyar dollar AS dalam tahun 2006. bagi kami angka itu sangat menonjol kalau melihat keperluan Indonesia. Lebih besar dari dana yang dikeluarkan pemerintah untuk kesehatan.“

Dana yang Dikorupsi Lebih Besar dari Anggaran untuk Kesehatan dan Pendidikan

Masyarakat – terutama yang tinggal di wilayah terpencil - menjadi korban dari keganasan korupsi ini, karena uang korupsi sebesar dua milyar dollar AS per tahun itu seharusnya digunakan untuk atas layanan kesehatan, pendidikan dan perumahan.

Angka dua milyar dollar AS yang hilang ke kantung-kantung koruptor ini tak jauh berbeda dengan perhitungan Bank Dunia atas jumlah kebutuhan anggaran layanan dasar bagi 100 juta penduduk miskin di Indoensia. Wakil Direktur Program HRW Joseph Saunders mengatakan sangat tidak adil warga yang tinggal di pinggir hutan yang dirusak oleh koruptor, justru harus berjalan kaki sangat jauh hanya untuk mendapat perawatan dokter. Joe Saunders menggambarkan:

„Dari penelitian kami, di prov. Kalbar saja tahun 2006, dimana ada data terakhir, kerugiannya 130 juta dollar per tahun. Itu jauh lebih besar dari pengeluaran provinsi itu, dan 20 kali lipat lebih besar dari dana yang dianggarkan provinsi itu untuk pendidikan dan kesehatan.“

Rekomendasi HRW

Untuk itu HRW mendesak pemerintah menegakan hukum atas korupsi di bidang perkayuan, termasuk dalam pelaksanaannya. Transparansi publik juga sangat diperlukan. HRW juga menghimbau agar mitra dagang Indonesia, harus menjamin agar kayu yang mereka peroleh tidak terkait dengan korupsi di sektor perkayuan. Negara konsumen wajib mengeluarkan aturan yang melarang perdagangan hasil pembalakan liar. Uni Eropa sampai saat ini misalnya, masih belum mengeluarkan undang-undang kewajiban sertifikasi keabsahan produk kayu untuk memasuki pasar Eropa.

Ayu Purwaningsih

Editor : Hendra Pasuhuk