1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

HRW: Brunei Kembali ke Abad Pertengahan

30 April 2014

Kesultanan Brunei yang kaya minyak mengumumkan bahwa pelaksanaan hukum Islam yang keras akan mulai diberlakukan pada hari Kamis (1/5), meski rencana itu mendapat kecaman dunia dan di dalam negeri.

https://p.dw.com/p/1BrDB
Foto: Reuters

”Saya yakin dan saya bersyukur kepada Allah yang Mahakuasa untuk mengumumkan bahwa besok, Kamis 1 Mei 2014, kita akan melihat penegakan hukum syariah fase pertama, yang akan diikuti oleh fase-fase berikutnya,” demikian pernyataan kesulatan yang punya kekuasaan mutlak lewat dekrit kerajaan hari Rabu.

Hukuman syariah – yang termasuk diantaranya berupa hukuman cambuk, potong tangan dan rajam hingga mati – telah memicu kecaman di sosial media dari warga kesultanan tersebut awal tahun ini.

Kebingungan telah merebak seputar pelaksanaan hukum Islam tersebut menyusul penundaan tanpa penjelasan atas pemberlakuannya yang awalnya diperkirakan bakal dimulai pada 22 April, sehingga orang bertanya-tanya apakah kesultanan Islam itu masih memiliki keraguan untuk memberlakukan aturan tersebut.

Namun, Sultan Hassanal Bolkiah yang berumur 67 tahun – yang merupakan salah satu orang terkaya dunia – mengatakan langkah itu adalah ”sebuah kewajiban” di bawah Islam, sambil menolak ”teori yang tak pernah berakhir” bahwa hukuman syariah bengis, lewat komentar yang jelas ditujukan kepada para penentang hukum Islam.

“Teori menyatakan hukum Allah itu bengis dan tidak adil, tapi Allah sendiri yang mengatakan bahwa hukuman itu memang adil,” kata dia.

Kekayaan raja – yang tiga tahun lalu diperkirakan sekitar 20 milyar dollar oleh majalah Forbes – legendaris dengan berbagai laporan mengenai koleksi kendaraan mewah dalam jumlah besar, dan istana yang dihiasi emas.

Kerajaan itu sangat malu dengan perseteruan di dalam keluarga yang sensasional diantara Hassanal dan adik laki-lakinya Jefri Bolkiah atas dugaan penggelaman 15 milyar dollar, selama adiknya itu menjadi menteri keuangan pada tahun 1990-an.

Pertempuran di pengadilan dan pengungkapan rinci kelakuan Jefri yang cabul, jet set dan jauh dari Islami, termasuk tuduhan harem mahal yang diisi para perempuan barat serta sebuah yacht mewah miliknya yang ia beri nama “Tits“ atau buah dada.

Dukungan publik, kegelisahan pribadi

Warga Brunei menikmati standar hidup yang tertinggi di Asia karena kekayaan energi yang dimiliki negara itu, dengan pendidikan, kesehatan dan berbagai pelayanan sosial lainnya mendapat subsidi besar dari pemerintah.

Sultan telah bertahun-tahun mendiskusikan pengenalan hukum pidana syariah, karena ia diperingatkan mengenai naiknya tingkat kejahatan dan pengaruh luar yang dianggap merusak seperti internet. Ia mengumumkan rencana itu pada Oktober lalu.

Brunei dikenal mempraktekkan bentuk Islam yang lebih konservatif dibanding dua tetangganya yang juga berpenduduk mayoritas Muslim yakni Indonesia dan Malaysia.

Etnik Melayu Muslim, yang merupakan 70 persen dari total penduduk, secara luas mendukung langkah Sultan.

Namun sejumlah warga Melayu dan non-Muslim secara pribadi mengungkapkan kegelisahan. Sekitar 15 persen dari populasi Brunei berasal dari etnik Tionghoa non-Muslim.

Awal tahun ini, banyak pengguna sosial media Brunei – satu-satunya tempat masyarakat untuk mengkritik kerajaan – mencela hukum pidana ini sebagai sesuatu yang barbar dan keluar dari karakter nasional Brunei yang lemah lembut.

Sejumlah teori muncul mengapa sultan mendorong syariah, mulai dari kisah raja yang semakin relijius seiring umurnya yang makin tua, hingga keinginan untuk mengontrol masyarakat di hadapan dunia yang sedang berubah.

Sultan Hassanal Bolkiah menyebut Islam sebagai sebuah ”tembok pembatasan” terhadap globalisasi.

Hukuman abad pertengahan

Fase awal syariah yang akan dimulai Kamis pekan ini akan memperkenalkan hukuman termasuk denda atau hukuman penjara bagi para pelanggar mulai dari prilaku tidak senonoh, tidak sholat Jumat, dan kehamilan di luar pernikahan.

Para pejabat mengatakan fase kedua akan meliputi tindak pelanggaran seperti pencurian dan perampokan yang akan dimulai akhir tahun ini dan akan memasukkan hukuman yang lebih berat seperti hukum potong tangan dan cambuk.

Akhir tahun depan, hukuman seperti rajam hingga mati bagi para pelanggar seperti sodomi dan perzinahan akan mulai diberlakukan.

Kantor hak asasi manusia PBB awal April mengatakan ”sangat prihatin” atas langkah itu, sambil menambahkan bahwa hukuman-hukuman seperti rajam diklasifikasikan di bawah hukum internasional sebagai “penyiksaan atau kekejaman, tidak manusiawi atau tindakan atau hukuman yang merendahkan kemanusiaan”.

Mereka menyatakan bahwa studi PBB menunjukkan bahwa perempuan yang akan berpotensi mendapat hukuman rajam hingga mati, karena stereotip dan diskriminasi yang telah mengakar.

“Ini kembali ke abad pertengahan,” kata Phil Robertson, wakil direktur Human Rights Watch untuk kawasan Asia.

ab/ml (afp,ap,rtr)