1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Homo Dramatikus Jadi Presiden

29 November 2016

Donald J. Trump. Apakah kepanjangan “J” pada nama tengah presiden terpilih Amerika Serikat tersebut? Konon katanya, “Jekyll.” Sebagaimana nama tokoh novel karangan Robert Louis Stevenson, Dr. Jekyll. Opini Geger Riyanto.

https://p.dw.com/p/2TMRR
USA Donald Trump designierter Präsident
Foto: picture-alliance/dpa/M. Reynolds

Kita mengenal Trump sebagai sosok yang mengemban segenap predikat buruk yang tak kita bayangkan akan pernah dimiliki seorang pejabat publik. Ia rasis, intoleran, seksis, temperamental, picik, tak berpikir panjang, bebal, fanatik, tak tahu adat, pongah, anti ilmu pengetahuan, dan seterusnya. Ia secara terang-terangan menyerang sejumlah figur publik dengan cercaan fisik yang tak pantas. Ia menuding para pendatang dari Meksiko garong dan pemerkosa. Ia mengampanyekan akan melarang umat Muslim memasuki Amerika Serikat.

Namun, pernahkah Anda membayangkan orang dengan daftar kelakuan tidak terpuji yang tak habis-habisnya ini ternyata pengusaha yang santun, perhatian, bersahabat, ramah? Sejumlah petinggi Partai Republik menggambarkan, seperti inilah sosok yang akan Anda temui bila Anda menjumpai Trump secara langsung. Kalau-kalau Anda tak percaya pengakuan orang-orang yang akan ditunjuk menjadi kabinetnya, beberapa orang dari luar Partai Republik, bahkan yang berseberangan pandangan politik dengan Trump, menyampaikan pandangan serupa. Trump adalah orang yang akan menanyakan terlebih dulu kepada rekannya apakah ada yang bisa dibantunya, membumi dengan orang-orang, memutuskan dengan matang, dan seterusnya...

Penulis: Geger Riyanto
Penulis: Geger Riyanto Foto: Privat

Ada satu kesempatan di mana seseorang, yang mengaku mengajak perusahaan Trump bekerja sama, sadar, ide bisnis yang dipresentasikannya kepada Trump tidak terlalu menarik. Trump baru datang di tengah-tengah presentasi dan ini gelagat yang biasa ditunjukkannya kala ia mendapati konsep bisnis yang nampak menguntungkan namun tak memikatnya dengan kuat. Apakah Trump lantas dengan lantang melucuti presentasinya secara bombastis sebagaimana yang biasa ditampilkan personanya di televisi? Tidak. Trump terus mendengarkannya dengan seksama. Kendati Trump jauh lebih lama malang-melintang di dunia bisnis dan ia punya segala alasan untuk tidak menghabiskan waktunya mendengarkan presentasi sang pengusaha, ia tetap berada di sana dan mendiskusikan dengan pengusaha bersangkutan konsep bisnisnya secara antusias.

Kenyataan bahwa Trump merupakan sosok yang bisa diajak berdiskusi dan, lebih jauh lagi, peduli, tak membenarkan perbuatan-perbuatannya di masa silam, tentu. Ia pernah melecehkan wanita. Ia pernah memperlakukan orang-orang dari etnis lain secara diskriminatif. Tetapi, setidaknya, di sini kita menemukan Trump bukanlah seorang maniak yang dengan sendirinya akan mengorbankan semua agenda riil yang lebih mendesak hanya demi mengusir setiap pendatang, menerapkan aturan-aturan rasis di satu negara. Ia, setidaknya, bukan orang yang tampak cukup gegabah akan menghancurkan sendi-sendi kehidupan sipil di negaranya sekadar guna memuaskan hasrat pribadinya.

Trump menjadi Mr. Hyde, kepribadian Dr. Jekyll yang liar, tak terkendali, pada waktunya. Pada waktu kamera televisi terbidik kepadanya. Pada waktu khalayak pendukung mengerumuninya dan mengelu-elukannya sebagai sosok penyelamat—mesias.

Menjadi insan lain

Namun, saya percaya, kendati kita mungkin tak akan lagi dalam satu usia hidup menemukan seseorang yang demikian kentara terpilah kepribadiannya terpilih menjadi presiden negara adidaya, fenomena Trump bukanlah fenomena yang benar-benar asing. Trump hanyalah sebuah pembenaran lebih jauh—dan lebih akbar dibanding kebanyakan kasus lain, tentu—bahwa manusia merupakan homo dramatikus. Ia akan menjadi insan lain kala menemukan panggungnya dan, di atas panggungnya, insan ini akan melakukan segalanya untuk memukau penontonnya.

Anda tak sulit menemukannya dalam wujud lain di dekat Anda. Tetapi, agar kita mempunyai rujukan bersama, kita sebut saja satu nama yang relatif dikenal khalayak. Ahok. Ahok adalah sosok yang tak keliru untuk dikatakan identik dengan kontroversi. Orang-orang bersimpati sekaligus membencinya karena emosinya dan pernyataan-pernyataannya yang tajam, menyinggung, tak tedeng aling-aling. Namun, orang-orang yang bertatap muka pribadi dengan Ahok dengan harapan aneh akan memperoleh pengalaman disemprot olehnya biasanya kecewa. Mereka akan menemukan sosok yang sopan dan berpembawaan tenang.

Ada yang bilang, Ahok adalah sosok yang menguasai dirinya sampai dengan para wartawan menghampirinya dengan pertanyaan-pertanyaan pancingan yang provokatif. Sampai dengan panggung digelar untuknya. Sampai dengan ia diadu dengan politisi-politisi lain dalam sebuah drama yang dibayangkan para pembaca media melibatkannya selaku pemeran utamanya. Di sanalah ia menjelma menjadi Ahok yang kita kenal.

Drama tak pernah semata soal aktor belaka

Tetapi, kendati homo dramatikus tak selalu memaksudkan apa yang disampaikannya, permasalahannya, drama tak pernah semata soal aktornya belaka. Ia, toh, digelar hanya karena ada yang mau menontonnya. Ia, pada dasarnya, ada karena penonton yang mendamba-dambakan bergulirnya sebuah cerita yang mencengangkan, menakjubkan, dan memuaskan mereka.

Para pengecam, artinya, tak seyogyanya berlega hati seandainya Trump, yang memang jauh lebih terlatih mencuri perhatian alih-alih merumuskan kebijakan, ternyata tak percaya dengan kata-katanya sendiri. Perkaranya, para pendukungnya mempercayainya. Semua racaunya, sejak awal, adalah komitmen politik yang dipegang pendukungnya. Siapa yang bisa menerka apa yang akan dilakukan Trump bila ia sewaktu-waktu di masa depan membutuhkan dukungan politik? Ia bisa mengalihkan kegagalannya menyejahterakan kelompok-kelompok masyarakat yang memerlukan dengan mengambinghitamkan para pendatang, toh, pendukungnya, sedari awal, memandatinya memimpin negerinya karena narasi yang diecernya ini.

Boris Johnson, lagi pula, politisi pendukung getol Brexit yang sebelumnya jelas terlihat ragu dengan faedah Brexit, kini tak jemu-jemunya menyampaikan ke depan publik bahwa Brexit akan menjadi kemenangan besar Inggris. Tulisan lama Johnson memperlihatkan ia sadar meninggalkan Uni Eropa berarti meninggalkan pasarnya yang menguntungkan perekonomian Inggris. Namun, Brexit telah terjadi dan Johnson tak punya pilihan. Ia kini harus percaya dengan kata-katanya sendiri. Sebagaimana Trump nanti, kala menahkodai negerinya, harus percaya dengan kekonyolan-kekonyolan yang pernah dicetuskannya sendiri. The show must go on? Ya.

Jadi, apakah Anda masih bingung mengapa dunia politik diliputi dengan hal-hal surealistis belakangan? Seharusnya tidak. Karena ia pada dasarnya adalah drama. Dimainkan oleh homo dramatikus. Disaksikan oleh mereka yang menginginkan hidup, yang sejatinya fana dan tak menarik, setidaknya sedikit lebih berbumbu.

Penulis: Geger Riyanto (ap/rzn)

Esais dan peneliti sosiologi. Mengajar Filsafat Sosial dan Konstruktivisme di Universitas Indonesia. Bergiat di Koperasi Riset Purusha.

@gegerriy

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWnesia menjadi tanggung jawab penulis.