1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Hoegeng yang Dinistakan Revolusi

Geger Riyanto27 Juni 2016

Almarhum Gus Dur pernah berkelakar, hanya ada tiga polisi jujur di Indonesia. Mereka adalah polisi tidur, patung polisi, dan Hoegeng. Berikut kisahnya dalam ulasan Geger Riyanto.

https://p.dw.com/p/1JEIs
Foto: gemeinfrei

Saya percaya, nama Hoegeng setidaknya pernah terselenting ke pendengaran sebagian kita. Nama dan kejujuran Hoegeng sohor tak kurangnya cerita rakyat. "Siapa Kapolri paling miskin di dunia?" salah satu koleganya, Permadi, mengenang. "Jawabnya cuma satu: Hoegeng!"

Dan David Jenkins, yang menggambarkan banyak jenderal Orde Baru sebagai sosok yang lihai dan licin, tak pernah menyiratkan penilaian miring ketika ia sampai ke nama Hoegeng. Dalam buku Jenkins Soeharto dan Barisan Jenderal Orba, Hoegeng beberapa kali disinggung dan uraian Jenkins hanya meninggalkan satu kesan. Hoegeng adalah sosok yang lurus dan tulus.

Tak disenangi Cendana

Kendati demikian, Hoegeng tak pernah dikenal sebagai sosok revolusioner. Meski sebagian karier Hoegeng selaku polisi dirintis serta dijalaninya pada masa kepresidenan Sukarno, ia tak pernah dikenal dekat dengan partai tertentu. Kekeraskepalaannya menjadikannya tak disenangi rekan sejawat dan keluarga Cendana tapi tak serta-merta menjadikannya seseorang yang menghendaki perubahan tatanan menyeluruh.

Penulis: Geger Riyanto
Penulis: Geger RiyantoFoto: Privat

Sembilan tahun selepas pensiun, lucunya, ia sekonyong-konyong menjadi sosok yang bukan dirinya. Tepatnya, kala kedua kalinya kepala batunya membikin penguasa naik pitam bukan kepalang.

Dicopot sebagai Kapolri

Hoegeng pertama kali menggasak batas toleransi rezim ketika ia hendak membongkar penyelundupan ratusan mobil mewah. Pengusutan Hoegeng menemukan penyelundupan yang akan merugikan negara ratusan miliar ini berujung di Ibu Tien Soeharto. Dan apa yang terjadi selanjutnya mudah diterka. Hoegeng, tentu saja, tak memperoleh penghargaan. Ia dicopot dari jabatannya sebagai Kapolri.

Penentangan besar kedua dilakoninya dengan menandatangani Petisi 50. Petisi ini berisi pernyataan keprihatinan dengan Suharto yang menggunakan Pancasila untuk membungkam apa-apa yang tak disukainya.

Sang Presiden, dalam kata-kata dokumen ini sendiri, "memberikan kesan bahwa dia adalah personifikasi Pancasila sehingga desas-desus apapun tentang dirinya akan ditafsirkan sebagai anti-Pancasila."

Dilucuti dan dihabisi

Hoegeng, penggemar lagu Hawaiian, mengampu program musik-musik Hawai di TVRI, dan acaranya ini tetiba dihentikan setelah dua belas tahun tayang. Hoegeng dilarang untuk tampil di media massa maupun publik. Acara bincang televisinya tak boleh disiarkan lagi. Dan sebagaimana para penandatangan Petisi 50, ia tak bisa lagi memperoleh kredit bank, mengikuti tender, maupun pergi keluar negeri.

Hoegeng dihabisi secara sosial. Alasannya, dalam kata-kata Sudomo yang menjabat Pangkopkamtib saat itu, "Jangan memandang Hoegeng hanya sebagai seorang pemain gitar atau penyanyi Hawaiian yang tak berdosa. Kita tidak boleh menafikan kemungkinan suatu hari ia akan mendendangkan lagu revolusioner dan menghasut rakyat untuk melakukan kerusuhan."

Hoegeng adalah seseorang yang, bisa saja, revolusioner. Ia, karenanya, perlu dilucuti dari segala hak dan keleluasaannya.

Polisi menjalankan tugas
Polisi menjalankan tugasFoto: picture-alliance/dpa

Tak masuk akal?

Tentu. Namun, hal ini pun seharusnya tidak asing. Hal ini bukan hanya terjadi pada masa yang belum terlampau silam, ia juga mengingatkan dengan apa yang nampaknya masih dicoba diulang di Indonesia beberapa waktu terakhir. Di luar erupsi sesaat sentimen antikomunisme tempo hari, pun banyak warga yang sekadar memperjuangkan lahannya dari serobotan korporat dan aparat dibuat tak berkutik dengan tudingan "komunis."

Pembungkaman Hoegeng di sini mengajarkan kita, bagaikan taktik sepak bola, menyerang merupakan pertahanan terbaik rezim penguasa. Penistaan tak masuk akal, pada waktu-waktu tertentu, menjadi cara telanjang penguasa mengamankan diri.

Dan secara ironis, sejarah bersaksi pula, fitnah semacam dapat menerpa figur yang sangat dihormati di militer sekalipun. Jenderal besar A. H. Nasution adalah korban pembelejetan hak-hak sipil bersama Hoegeng, Ali Sadikin, Burhanuddin Harahap, Mohammad Natsir. Sebagai salah seorang penandatangan Petisi 50, ia dituduh hendak membunuh para pemimpin dan merampas kekuasaan. Nasution, jelas, tersinggung.

"Pada pemakaman Jenderal Yani, saya katakan kaum komunis telah melakukan fitnah kepada kami para pimpinan militer dengan menuduh kami berencana menggulingkan pemerintah," ungkap Nasution. "Kini mereka [pemerintah] melakukan hal yang sama. Persis sama. Mereka menuduh kami yang menandatangani Petisi 50 sedang berkomplot akan membunuh para pemimpin dan mengambil alih pemerintahan."

Nasution bukan seseorang yang punya simpati dengan PKI, jelas. Membandingkan rezim dengan PKI, Nasution terang-terangan sudah muak. "Bahkan PKI saja," tandas Nasution, "tak menuduh kami hendak membunuh Sukarno."

Disadari atau tidak, banyak hal rupanya yang kita pelajari dari Orde Baru. Termasuk bagaimana menuduh secara tidak berdasar dan menegakkan keamanan dengan cara ini—keamanan bagi penguasa, tentunya. Dan, bila kita mau mendengar juga bagaimana caranya membela pembunuhan hak-hak sipil para disiden, Suharto menyampaikannya di bukunya Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya.

"Pada 1980 muncul apa yang menyebut dirinya Petisi 50. Sesungguhnya saya gembira jika ada oposisi terhadap saya, dengan syarat ia adalah oposisi yang loyal," ujarnya. "[Tapi Petisi 50] mengira seolah-olah pendapatnya benar dewe, benar sendiri."

Oposisi yang loyal? Seolah-olah pendapatnya benar dewe?

Suharto mungkin sudah berkilah sebaik-baik kemampuannya untuk membela represi rezimnya. Namun, tak ada yang tidak akan terasa mengada-ada pada saat seseorang membela apa yang memang salah. Kita cukup mengingat bahwa apa yang terjadi adalah sesosok penguasa, yang merenggut segalanya, merasa dizalimi oleh mantan polisi yang bersahaja dan tak punya apa-apa.

Dan bila penistaan-penistaan ini terjadi kembali saat ini, kita tahu apa yang perlu dilakukan—selain merasa tergelitik tentunya. Lihat siapa yang dituduh. Lihat siapa yang menuduh.

Karena preseden historis yang ada membenarkan sebuah ungkapan klise. Tiga jari tangan yang menunjuk tertunjuk kepada diri sendiri. Penulis: Geger Riyanto

Penulis:

Geger Riyanto, esais dan peneliti sosiologi. Mengajar Filsafat Sosial dan Konstruktivisme di UI. Bergiat di Koperasi Riset Purusha.

@gegerriy

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.