1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Hidup di Bawah Laut: Amblasnya Pesisir Perkuat Krisis Iklim

27 Oktober 2021

Kenaikan muka air laut dan kerusakan lingkungan kelak menenggelamkan kota-kota di kawasan pesisir. Solusinya beragam dan tidak bersifat tunggal, menurut Panel Iklim PBB. Tapi waktu untuk bertindak sudah lewat.

https://p.dw.com/p/42EBs
Tembok laut Jakarta
Tembok laut JakartaFoto: Getty Images/E. Wray

Selama ribuan tahun, umat manusia sudah mendiami kawasan pesisir, mewariskan gemerlap metropolitan di tepi laut, dilatari cakrawala tak berbatas, di balik perlindungan teluk atau limpahan kenyamanan delta, dengan keyakinan tinggi telah berhasil menguasai siklus pasang-surut air laut.

Dominasi terhadap samudera lepas, mencuatkan kota-kota di pesisir sebagai pusat perdagangan dunia dan wadah percampuran budaya. Tapi apa yang dulu menjadi kekuatan, kini menjelma menjadi kelemahan, seiring krisis iklim yang perlahan mengubah lanskap Bumi.

Peringatan itu dipublkasikan dalam studi yang dibuat panel ilmu iklim PBB, yang mengungkap ancaman terhadap iklim Bumi secara detail dan terperinci.

Kenampakan dari atas, kota terlihat kian menyatu dengan laut. Menara-menara menyembul tinggi di atas lahan reklamasi, jalan-jalan meliuk mengikuti bibir pesisir dan landasan bandar udara yang membentang hanya selemparan tangan dari gulungan ombak di tepi pantai.

Kota-kota ini adalah "medan terdepan” dalam perang melawan perubahan iklim, tulis Panel Antarpemerintah untuk Perubahan Iklim (IPCC) dalam laporannya pertengahan tahun 2021.

"Kita harus membuat keputusan sulit jika permukaan air laut terus meningkat, banjr dan badai menjadi lebih sering dan intensif, kenaikan suhu ikut meningkatkan keasaman air laut, serta memperparah gelombang panas.”

Ranking perlindungan iklim di dunia
Ranking perlindungan iklim di dunia

Di banyak tempat, kenaikan muka air laut dan perubahan pada lanskap pesisir seperti penurunan muka tanah akan memaksa migrasi massal, dan membuat kota-kota menjadi tak ramah kehidupan. Saat ini pun gejalanya sudah terlihat.

"Dulu keluarga kami punya segalanya, hewan ternak, rumah yang cantik dan lahan perkebunan. Tapi sungai mengambil semuanya,” kata Yasmin Begum kepada AFP, saat ditemui di sebuah gubug seng di tepi ibu kota Bangladesh, Dhaka.

Kemakmuran yang dinikmati keluarga Begum tergolong lumrah di tengah kesuburan Delta Ganga, salah satu kawasan basah paling padat di dunia. Tapi pada suatu malam 12 tahun silam, luapan Sungai Meghna melahap semua yang mereka punya, termasuk Bumi tempat berpijak.

Begum, kini berusia 30 tahun, menghidupi tiga anaknya dengan bekerja sebagai pembantu rumah tangga di Dhaka, sementara sang suami menjadi pengayuh becak di ibukota Bangladesh itu, untuk mencari nafkah tambahan. 

Mereka mengungsi dari satu banjir dahsyat, untuk hidup di bawah ancaman serupa di tempat lain. Kediaman mereka saat ini, terletak di kawasan kumuh dan padat yang berdiri hanya beberapa meter dari tepi sungai.

Kenaikan air laut

Diperkirakan, sekitar sepersepuluh penduduk Bumi saat ini hidup kurang dari sepuluh meter di atas permukaan laut. "Secara struktural, ada banyak kota yang dibangun di tempat yang salah untuk dunia dengan permukaan laut yang tinggi,” kata Ben Strauss, Direktur Climate Central.

Kebiasaan manusia membangun di dataran rendah menjadi bumerang di era krisis iklim. "Permukaan laut dulu stabil,” kata Strauss. "Sekarang tidak lagi.” Menurut penelitiannya, kawasan pesisir yang kini dihuni sekitar 300 juta orang akan terendam air laut secara permanen pada 2050.

Terutama kelompok warga yang paling miskin yang akan terkena dampak paling besar.

Kenapa Dunia Terancam Menghadapi Krisis Pasir?

Nantinya, kawasan urban diyakini akan kian tercekik oleh pencemaran udara dan gelombang panas ekstrem. Sementara air laut mengintrusi tanah serta merusak sawah dan kebun. 

Pada 2100, IPCC memperkirakan permukaan air laut akan naik setinggi 60 sentimeter atau lebih. Skenario muram ini tetap berlaku bahkan jika umat manusia berhasil menahan laju pemanasan global sebesar maksimal dua derajat Celcius.

"Kita menjalani hidup meski tahu akan mati, tapi kita tidak berpikir demikian soal kota,” kata Strauss. "Sebagian besar kota di pesisir punya tanggal kematian. Kebanyakan akan berakhir tenggelam dalam jangka waktu panjang.”

Penurunan tanah

Meski begitu, kenaikan air laut bukan menjadi ancaman paling besar bagi sejumlah kawasan. Di Pulau Jawa misalnya, sebagian besar pesisir utara mengalami penurunan muka tanah dengan laju yang cepat

Menurut kajian penurunan muka tanah oleh Institut Teknik Geodesi ITB, penurunan tanah terjadi paling cepat di sejumlah kota di Jawa Tengah, terutama Pekalongan, Semarang dan Demak. Kota Semarang misalnya tercatat amblas sedalam 19 cm per tahun

Adapun dalam skenario iklim, kenaikan permukaan air laut di Pulau Jawa ditaksir hanya berkisar 3,6 milimeter per tahun, demikian kajian Institut Iklim dan Meteorologi di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).

"Kenaikan air laut memang tidak signifikan, dibandingkan penurunan muka tanah", kata Dr. Heri Andreas, peneliti kepala di Teknik Geodesi ITB. Menurutnya, penyedotan air tanah secara besar-besaran berdampak secara langsung terhadap fenomena tersebut.

Ragam solusi untuk masalah elusif

Saat ini kota-kota besar di Indonesia banyak bergantung pada air tanah untuk memenuhi kebutuhan dasar. Kecendrungan tersebut menguat akibat lonjakan populasi yang diperparah polusi sumber air dan sungai. 

Ketika cadangan air yang memenuhi ronga-rongga lapisan akuifer alami di perut Bumi menyusut, tanah akan memadat dan permukaan ikut amblas. Skenario ini tidak hanya mengundang banjir rob, tetapi juga menghilangnya kapasitas penyimpanan air tanah secara permanen.

Saat ini solusi universal yang diadopsi di banyak negara untuk menghadang air laut adalah membangun tanggul dan mengoperasikan pompa air. Kendati murah dan cepat, metode ini diyakini akan menciptakan kerugian jangka panjang berupa rusaknya ekosistem pesisir.

Di Jawa, pembangunan tanggul laut dibarengi dengan penyediaan sumber air selain air tanah, antara lain dengan memindahkan air dari sungai atau bendungan. Meski demikian kecepatan pemerintah mengerjakan proyek infrastruktur berskala besar ini tidak sebanding dengan laju penurunan tanah.

Akibatnya skenario tenggelamnya sebagian kawasan di pesisir utara pada 2030 akan menjadi kenyataan. Di Pekalongan, menurut Teknik Geodesi ITB, luasnya mencapai 5.000 hektar.

Rehabilitasi ekosistem pesisir diyakini lebih ampuh melindungi daratan dari abrasi dan banjir rob. Program bisa berupa pemulihan hutan mangrove atau ladang rumput laut, pemeliharaan terumbu karang dan pemberdayaan warga.

Meski begitu, IPCC mewanti-wanti bahwa "tidak ada solusi tunggal” untuk melindungi diri dari kenaikan permukaan air laut, dan tenggelamnya kota-kota di pesisir.

"Kita harus bertindak sekarang karena kita sudah sangat terlambat,” kata John Verlnde dari LSM, Climate Adaptation Plan di Rtterdam, Belanda.

rzn/as (AFP/DW)