1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

050809 Xinjiang Lage

5 Agustus 2009

5 Juli 2009 kerusuhan berdarah pecah di Provinsi Xinjiang, Cina. Ratusan tewas dalam bentrokan antara warga Uigur dan warga Han serta aparat keamanan Cina. Sebulan setelahnya situasi di ibukota Urumqi masih mencekam.

https://p.dw.com/p/J43a
Seorang perempuan Uigur berhadapan dengan aparat keamanan CinaFoto: AP

Karoseri mobil yang hangus terbakar, tembok-tembok hitam - di seberang jalan berdiri polisi yang membawa perisai pelindung dan senapan mesin. Suasana di sebuah showroom dealer mobil di Urumqui. Duan Zongcheng yang berusia 18 tahun bekerja sebagai tukang mesin di tempat ini.

Pemuda keturunan Han Cina ini ketakutan: "Awalnya, segerombolan warga Uigur datang dari jalan, mereka melempari toko warga Han Cina dengan batu. Setelah itu, mereka mulai membunuh, mereka menarik orang-orang dari mobilnya. Saya takut sekali, waktu itu kami berlima di sini, kami bersembunyi di ruang bawah tanah. Kasihan sekali para korban, mereka tidak dapat membela diri. Saya tidak menyangka, ini bisa terjadi di kota saya. Sekarang saya merasa ada jurang pemisah yang dalam. Dulu, saya biasa menyapa tetangga yang warga Uigur, sekarang rasanya munafik kalau saya melakukannya."

Duang Zongcheng tinggal di seberang jalan, di salah satu kawasan kumuh kota yang dipadati rumah-rumah mungil. Sebagian besar tetangganya adalah warga Uigur. Tapi, sejak peristiwa berdarah sebulan yang lalu, jalanan sempit di daerah tempat tinggal Duan Zongcheng sepi. Rukun warga Uigur berpatroli di kawasan itu, para wartawan harus siap untuk menunjukkan kartu identitas diri. Kadang, para jurnalis dibuntuti selama berhari-hari. Padahal, dinas berwenang secara eksplisit mengizinkan para jurnalis untuk meliput di ibukota Urumqi. Pengawasan terus-menerus ini menyebabkan sangat sulit untuk berbicara dengan warga Uigur. Tapi kadang ada juga yang berani angkat suara.

"Warga di daerah ini kebanyakan berasal dari selatan Provinsi Xinjiang, dari Aksu, Hotan dan Kashgar. Waktu saya sampai di sini, saya tidak bisa berbahasa Mandarin. Seorang teman membantu saya, sekarang sudah jauh lebih mudah. Di tempat asal saya warga tidak memiliki tanah yang bisa digarap, karena itu kami datang ke sini untuk mencari kerja. Tapi sejak kerusuhan berdarah itu banyak orang ketakutan dan meninggalkan kota ini. Saya ingin tetap tinggal di sini. Apa yang bisa saya lakukan? Pemerintah tidak membantu, penjualan tersendat-sendat dan saya hanya punya uang pas-pasan untuk hidup sehari-hari."

Saat wartawan menanyakan apa sebenarnya pemicu aksi kekerasan tanggal 5 Juli lalu, laki-laki itu hanya mengangkat bahu dan bergegas pergi. Helet Niyaz, seorang jurnalis Uigur mengamati perkembangan menjelang kerusuhan berdarah bulan lalu. Menurutnya, situasi memang meruncing sejak akhir Juni, saat dua warga Uigur dipukuli sampai mati di sebuah pabrik mainan. Kabarnya, melihat hal ini, sejumlah ektremis Han Cina bertepuk tangan dan mengunggah sejumlah komentar rasis di internet. Komentar-komentar itu diterjemahkan ke dalam bahasa Uigur. Kongres Dunia Uigur lalu menyerukan warga Uigur untuk menggelar aksi unjuk rasa. Menurut Helet Niyaz, situasi di Xinjiang memang sudah buntu sejak 30 tahun lalu.

"Politik pemerintah pusat hanya menguntungkan bagis ekitar sepuluh juta warga Han Cina di Xinjiang, termasuk tiga juta pasukan penjaga perbatasan. Warga minoritas tidak merasakan manfaatnya. 95 persen bisnis di Xinjiang berada di tangan warga Han Cina. Mereka tidak mau memperkerjakan warga Uigur karena mereka yakin, warga Uigur sulit diatur. Banyak iklan lowongan kerja sudah mencantumkan: kami tidak menerima warga Uigur."

Sebaliknya, warga Han Cina menganggap warga minoritas Uigur lah yang tak tahu diri. Warga Cina hanya boleh memiliki satu anak, tapi bagi warga Uigur pembatasan ini tidak berlaku. Warga Uigur juga mendapat akses lebih mudah ke perguruan tinggi. Pan Zhiping dari Akademi bagi Ilmu Sosial di Urumqui berpendapat bahwa pemerintah Cina harus mengubah politik minoritasnya:

"Dalam suatu masyarakat modern, kita perlu menguatkan pemikiran bahwa semua orang adalah warga Cina. Tidak perlu menekankan keanggotaan etnis seseorang. Bagaimana dengan Jerman? Apakah dalam paspor seseorang tertera juga etnis warga Jerman? Itu kan ilegal, hampir bersifat rasis. Yang harus kita capai adalah, jika seseorang adalah anggota etnis tertentu dan ingin dihormati karena itu, maka orang tersebut harus dihargai. Itu yang terpenting. Tapi bila orang itu tidak terlalu mementingkan asal usulnya maka tidak perlu lagi kita memusingkan dia etnis apa."

Astrid Freyeisen/Ziphora Robina
Editor: Ayu Purwaningsih