1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Hentikan Kekerasan Terhadap Buruh Migran

25 Oktober 2014

Kondisi kerja buruh migran di Uni Emirat Arab dikritik organisasi hak asasi. Terutama para pembantu rumah tangga dari Asia dan Afrika kerap disiksa majikan dan tidak mendapat perlindungan hak. Tajuk Grahame Lucas.

https://p.dw.com/p/1Dbbj
Symbolbild Menschenhandel Zwangsprostitution
Foto: picture-alliance/dpa

Sedikitnya 146.000 buruh migran perempuan bekerja di Uni Emirat Arab, mayoritasnya dari Asia dan banyak yang berasal dari Indonesia. Bekerja di luar negeri sebagai pembantu rumah tangga, adalah sebuah jalan keluar termudah dari masalah pengangguran kronis dan upah rendah di negara masing-masing.

Buruh migran tertarik dengan iming-iming pekerjaan tetap dan upah reguler. Hampir semua mengirim sebagian besar upah mereka ke keluarga di negara asal. Tapi tudingan penyiksaan bahkan pelecehan seksual sejak bertahun-tahun daftarnya makin panjang. Otoritas di Uni Emirat Arab sejauh ini juga nyaris tidak melakukan apa-apa untuk menanggapi permasalahan.

Aturan perlindungan buruh di negara Teluk itu adalah masalah intinya. Sistem sponsor dari majikan yang mengikat buruh migran, adalah prasyarat bagi izin masuk ke negara itu. Sistem ini membuka peluang bagi perlakuan kejam majikan, karena buruh tidak bisa pindah kerja. Ditambah lagi, aturan lokal mendukung hukuman terhadap buruh yang dituduh melarikan diri. Efektifnya para buruh ini adalah budak dari majikannya.

Pengaduan menyangkut perilaku buruk majikan yang dilontarkan buruh yang berhasil kabur, dalam beberapa tahun terakhir makin gencar. Mulai dari penyitaan paspor, menahan atau tidak membayarkan upah, memaksa bekerja terus terusan, tidak memberi makan hingga buruh kelaparan sampai pemerkosaan. Siksaan fisik dan psikis terus dilakukan.

Human Right Watch, organisasi pembela hak asasi menyebutkan, buruh kerap dipukul atau ditempeleng oleh majikan, untuk memaksa mereka bekerja keras. Majikan beralasan, tindakan berkaitan dengan "harga mahal" yang mereka keluarkan untuk mendatangkan buruh migran. Sebuah alasan yang tidak bisa dimaafkan.

Sampel responden yang diambil HRW mungkin terlalu kecil untuk dianggap representatif. Tapi berbagai indikasi sebelumnya, mendukung gambaran dari kondisi umum yang sebenarnya dari buruh migran di Uni Emirat Arab. Memang harus dicatat, pemerintah di negara Teluk itu beberapa bulan lalu telah mengambil tindakan untuk memperbaiki situasi.

Misalnya menetapkan kerja hanya 6 hari seminggu maksimal 16 jam sehari bagi para pembantu rumah tangga. Tapi aturan ini tidak efektif, karena jika tidak ditaati juga tidak bisa dijadikan landasan untuk aduan di pengadilan.

DW 60 Jahre Grahame Lucas
Grahame Lucas pimpinan redaksi South-East Asia DW.Foto: DW/M. Müller

Selain langkah di negara pemberi kerja, untuk mengkaji lebih teliti isu penyiksaan serta sistem sponsor, kita juga harus menelaah lebih serius kondisi di negara asal para buruh migran. Negara inilah sebetulnya yang bertanggung jawab untuk kondisi kerja buruk dan kekerasan terhadap para buruh migran.

Petugas biasanya meminta sogokan cukup tinggi untuk jasanya meloloskan calon buruh migran dan memberikan informasi yang tidak benar terkait prospek kerja yang akan dilakukan. Inilah saatnya bagi negara-negara pengirim buruh pembantu rumah tangga seperti Indonesia, India, Bangladesh, Sri Lanka, Nepal dan Ethiopia untuk mulai meregulasi dengan benar perekrutan buruh migran di negaranya.

Filipina sudah memulai proses tersebut, dengan menolak mengirimkan buruh migran, jika pejabat Uni Emirat Arab menolak verifikas kontrak buruh oleh petugas di Filipina. Ini langkah pertama yang patut dipuji. Negara lain harus segera menyusul menirunya. Sinyal ini harus dikirim ke Uni Emirat Arab dan negara-negara Teluk lainnya yang juga dilaporkan melakukan hal serupa, untuk menghentikan praktek perekrutan buruh migran dengan sistem tersebut.