1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sosial

Hari Solidaritas LGBTIQ Nasional

29 Februari 2020

Tanggal 1 Maret diperingati sebagai Hari Solidaritas LGBTIQ Nasional. Komnas HAM menilai eksistensi LGBTIQ di Indonesia semakin sempit. Sudahkah Indonesia menjadi rumah aman bagi setiap warga negaranya?

https://p.dw.com/p/3YaZM
USA San Francisco Gay Pride Parade
Foto: Getty Images/AFP/J. Edelson

Sejak tahun 2000, Hari Solidaritas Lesbian, Gay, Bisexual, Transgender, Intersex, and Questioning (LGBTIQ) Nasional diperingati setiap tanggal 1 Maret. Peringatan ini pertama kali dideklarasikan oleh organisasi Indonesian Gay Society (IGS) di Lembaga Indonesia-Prancis, di Yogyakarta. Tanggal 1 Maret dipilih karena di tahun 1982 pada tanggal tersebut berdiri organisasi gay pertama di Indonesia, yakni Lambda Indonesia.

Koordinator Subkomisi Pemajuan HAM, Beka Ulung Hapsara menilai eksistensi LGBTIQ di Indonesia semakin sempit. Stigma bahwa LGBTIQ adalah penyakit kejiwaan dan menyimpang terus bermunculan di kalangan masyarakat. Keadaan diperburuk dengan kebijakan-kebijakan, baik lisan maupun tulisan yang dikeluarkan oleh pemerintah atau pembuat kebijakan, sehingga keberadaan LGBTIQ semakin terdiskriminasi.

Perilaku seksual berbeda dengan orientasi seksual

Menurut Beka, tidak seharusnya ada perbedaan antara LGBTIQ dengan masyarakat lainnya. Beka menempatkan relasi antara hak dan posisi mereka sebagai sesama warga negara.

‘‘Artinya dari soal perlindungan atas diri mereka, penghormatan atas jati diri mereka sampai kemudian soal bagaimana mereka memenuhi atau kemudian negara mampu melindungi, memenuhi dan menjamin pemenuhan hak sosial budayanya,’’ ujar Beka kepada DW Indonesia.

Beka mencotohkan persamaan hak itu dalam konteks pekerjaan, akses pendidikan dan rasa aman di lingkungan sosial. Namun perjuangan persamaan hak bagi LGBTIQ tentu tidak mudah. Lebih lanjut Beka menambahkan di Indonesia perjuangan LGBTIQ akan terbentur dengan komunitas-komunitas agama, bukan hanya agama Islam tetapi semua pemahaman umat agama di Indonesia.

Beka mengatakan harus ada pembahasan seputar hal paling mendasar tentang bagaimana masyarakat bisa memahami bahwa LGBTIQ itu berkaitan dengan orientasi seksual bukan perilaku seksual.

‘’Artinya apa? Ini juga tidak ada bedanya dengan misalnya yang laki-laki suka dengan perempuan atau yang perempuan menyukai laki-laki. Saya kira itu yang harus dipahamkan kepada masyarakat terlebih dahulu,’’ jelasnya.

Bukan penyakit kejiwaan

Sejak tahun 1982, Badan Kesehatan Dunia (WHO) telah mengeluarkan LGBT dari daftar penyakit kejiwaan. Di Indonesia pada tahun 1983, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) juga telah mengeluarkan LGBT dari penyakit kejiwaan melalui PPDGJ No.3.

‘’Saya kira memang butuh diskursus yang sangat panjang soal bagaimana teks-teks agama itu menempatkan teman-teman LGBT. Teks-teks agama dalam pengertian apakah memang dalam konteks LGBT harus diperangi, maksudnya diperangi seperti apa, atau kemudian dalam konteks kewarganegaraan bagaimana teks-teks agama menempatkan teman-teman LGBT itu ke dalam soal relasi antara individu dengan negara atau indivu dengan individu lain,’’ ujarnya.

Maraknya tindak represi

Beka menekankan perlu ada pendekatan kepada masyarakat tentang eksistensi LGBTIQ di Indonesia. Ia menambahkan penegakan hukum juga harus ditingkatkan dan berlaku bagi dua belah pihak.

‘‘Kalau memang teman-teman LGBT itu melanggar hukum ya harus dihukum, ditegakan. Sama juga dengan ketika sekelompok massa yang memang membenci teman-teman LGBT kemudian melakukan tindakan melawan hukum ya penegakan hukum harus berjalan,‘‘ sebutnya.

Lebih lanjut menurutnya perlu ada pemahaman bagi para pejabat atau para pembuat kebijakan untuk mengerti bahwa Indonesia sejak awal berdiri, dicitakan sebagai rumah aman bagi semua warga negara, apapun latar belakang apapun perbedaan orientasi seksualnya.

Lantas apakah LGBT menyalahi aturan?

Beka menegaskan tidak ada aturan negara yang mendiskriminasi LGBTIQ hingga saat ini. Menurutnya yang ada adalah tentang perilaku seksual menyimpang. Beka menekankan siapapun bisa melakukan kejahatan seksual terlepas dari orientasi seksualnya.

‘‘Misalnya melakukan kekerasan seksual, ada pedofil, ini kan bagian dari perilaku seksual itu juga mengandung unsur pidana, unsur kejahatan, maka itu harus dihukum. Tapi sampai saat ini baik di konstitusi ataupun KUHP ya tidak ada kejahatan yang dilakukan sebagai LGBT,‘‘ katanya. (pkp/yp)