1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Hari Bumi: Empat Kota Terdepan untuk Netral Iklim

22 April 2022

Pemerintahan nasional sering lambat memfasilitasi ekonomi rendah karbon. Di beberapa kota, pemerintah lokal sudah lebih dulu mengambil insiatif. Inilah empat kota terdepan dalam target netral iklim.

https://p.dw.com/p/4AEyK
Kopenhagen, Denmark
Bersepeda di tengah kota Kopenhagen, DenmarkFoto: Jochen Tack/picture alliance

Pada Hari Bumi tahun ini, seharusnya pemerintahan memperkenalkan agenda-agenda ekonomi hijau yang ambisius, demi meredam dampak perubahan iklim. Namun sejauh ini, pemerintahan nasional yang menandatangani Perjanjian Iklim Paris sering lambat dalam memfasilitasi ekonomi rendah karbon.

Prakarsa menjanjikan justru muncul di tingkat pemerintahan lokal, ketika kota-kota mulai menggagas berbagai proyek dan memulai tindakan-tindakan untuk menurunkan emisi karbon. Inilah empat kota yang berhasil menetapkan agenda ambisius netral ilklim:

1. Kopenhagen: Kota netral iklim pertama di dunia?

Tahun 2012, pemerintah kota Kopenhagen meluncurkan Rencana Iklim 2025 dengan tujuan menciptakan kota netral karbon pertama di dunia. Ibu kota Denmark itu kelihatannya akan berhasil mencapai target emisi nol-bersih pada tahun 2025, artinya 25 tahun lebih dulu daripada target pemerintah nasional, yaitu tahun 2050.

Sekitar 66% dari emisi Kopenhagen dikaitkan dengan energi dan 34% dengan transportasi. Karena itu, salah satu strateginya adaIah mereduksi konsumsi dan produksi energi serta meningkatkan mobilitas hijau. Tujuannya adalah untuk mengurangi emisi sebesar 100% dibandingkan tahun 2005, dan pada saat yang sama meningkatkan pertumbuhan ekonomi hampir 25% melalui investasi yang lebih besar dan penciptaan lapangan kerja. Pada tahun 2020, Kopenhagen hanya perlu mereduksi 20% lagi emisinya untuk mencapai tujuan itu.

Karena produksi listrik dan panas adalah sumber emisi CO2 yang terbesar, pemerintah Kopenhagen lalu mengganti batu bara, minyak, dan gas dengan energi terbarukan. Energi sekarang datang dari tenaga angin, tenaga matahari, dan biomassa. Namun, 50% reduksi CO2 dicapai dari efisiensi energi. Kota telah memasang jaringan energi pintar untuk mengurangi limbah besar di perumahan, ritel, dan produksi. Dalam hal transportasi, pemerintah Kopenhagen menginginkan setidaknya 75% perjalanan di kota dilakukan dengan berjalan kaki, bersepeda, atau angkutan umum pada tahun 2025. Kendaraan dengan bahan bakar fosil akan dilarang di kota itu pada 2030.

2. Mumbai: Pemimpin kebijakan iklim Asia Selatan

Ketika Perdana Menteri India Narendra Modi berkomitmen untuk mencapai netralitas karbon pada tahun 2070 di konfrensi iklim COP26, hal itu dipandang sebagai langkah yang menjanjikan dari penghasil emisi CO2 terbesar ketiga dunia itu.

Namun, Mumbai sebagai kota terpadat di negara itu dengan lebih dari 20 juta penduduk, ingin target yang lebih ambisius dan berjanji akan mencapai emisi karbon nol-bersih pada 2050, 20 tahun lebih cepat. Rencana aksi iklim pertama kota ini diresmikan pada Maret lalu dan dibuat dengan kerja sama dengan lembaga nirlaba Amerika Serikat, World Resources Institute (WRI), dan aksi iklim perkotaan global C40 Cities.

Sektor energi bertanggung jawab atas 72% dari total emisi di Mumbai, dengan jaringan energi yang hampir seluruhnya ditenagai oleh batu bara. Dengan meningkatkan sumber energi tenaga surya, Mumbai sekarang ingin mencapai target 50% energi terbarukan pada tahun 2050. Mumbai juga akan fokus pada efisiensi energi di gedung-gedung yang menghasilkan sebagian besar emisi energi.

Fokus utama lainnya adalah transportasi. Sebagai langkah awal, pemerintah kota akan menempatkan lebih dari 2.000 bus listrik di jalan pada tahun 2023. Mumbai juga membuat rencana pengelolaan sampah tanpa tempat pembuangan akhir, dan menanam hutan kota di seluruh kota untuk mengurangi hampir 10% emisi yang dikaitkan dengan sampah, terutama tempat pembuangan sampah yang memuntahkan metana.

3. Paris: Konsep kota 15 menit

Emisi karbon dapat dikurangi secara signifikan dengan menciptakan kota yang lebih padat, di mana orang bisa berjalan kaki dan bersepeda. Itulah yang diwujudkan dalam konsep kota Paris: Kota 15 menit. Berbagai eksperimen sudah dilakukan setelah pandemi untuk mengurangi waktu perjalanan dan memungkinkan orang tinggal dan bekerja secara lokal, tidak di tempat yang berjauhan.

Kota 15 menit adalah isu utama pada kampanye pemilihan ulang wali kota Paris pada 2020. Ibu kota Prancis yang macet memasang jalur sepeda di setiap jalan, sebagian dengan merebut kembali 70% lahan parkir mobil di badan jalan. Tujuannya adalah untuk mengurangi polusi udara, kebisingan, dan emisi karbon sebagai bagian dari target netral karbon Paris 2050. Penduduk diharapkan dapat mengakses semua yang mereka butuhkan hanya dalam 15 menit dengan berjalan kaki atau bersepeda dari rumahmya.

4. Seattle: Komunitas akar rumput yang ramah iklim

Di Seattle, sebuah firma arsitektur dan urbanisme, Larch Lab, berfokus pada bangunan perkotaan berenergi rendah dan "ekodistrik" , kelompok bangunan yang ramah lingkungan. Dikembangkan oleh penduduk dan bukan pengembang, idenya adalah bahwa distrik berkelanjutan ini akan mencapai efisiensi bangunan yang unggul dengan menggunakan standar bangunan yang disebut Passivhaus, dengan emisi energi nol bersih.

Hal ini sudah dilakukan dan sedang diujicoba di distrik Vauban, sebuah model lingkungan di kota perintis hijau, Freiburg. Berada di garis depan target iklim yang ambisius, Freiburg merencanakan pengurangan emisi 60% pada tahun 2030, terutama dengan pembangunan Passivhaus.

(hp/ha)